Merek-merek ternama di dunia berbondong-bondong menghentikan iklan mereka di platform media sosial, terutama Facebook. Aktivisme di dunia maya makin kencang. Apa yang harus pemilik merek lakukan?
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Hingga pekan ini sudah lebih dari 400 merek yang bergabung dalam gerakan boikot memasang iklan di media sosial, khususnya Facebook. Para aktivis yang berkampanye dengan tagar #StopHateForProfit mengajak korporasi untuk tidak memasang iklan di platform yang menjadi persinggahan ujaran kebencian dan rasisme sejak dua pekan lalu.
Selama ini publik menghukum merek-merek yang bermasalah melalui media sosial. Kali ini tidak ada yang salah dari konten yang dikeluarkan oleh para pemilik merek.
Akan tetapi malah platform media sosial yang dikritik karena membiarkan unggahan bernada kebencian bercokol di platform itu tanpa ada niat untuk mencopotnya. Publik dan korporasi bersatu menekan pengelola platform media sosial untuk membersihkan “ruang maya” dari ujaran kebencian dan misinformasi.
Para pemilik merek harus berpikir ulang menempatkan merek di berbagai media, secara khusus media digital. Mereka berhadapan dengan kecenderungan aktivisme (social activism) yang digerakkan kelompok sipil di dunia maya.
Kasus di Amerika Serikat di atas menjadi pelajaran bagi para pemilik tentang kapan mereka harus mengambil keputusan secara tepat untuk menempatkan merek di sebuah media, ketika gerakan sosial bermunculan di dunia maya yang bisa berpengaruh terhadap citra perusahaan.
Perusahaan penyedia sarana aktivitas luar ruang, yaitu Patagonia, REI, dan North Face, adalah pihak-pihak pertama yang menyambut seruan boikot yang digerakkan oleh aliansi sejumlah kelompok sipil. Aliansi ini menyerukan agar korporasi menghentikan pemasangan iklan di media sosial yang gagal mencegah penyebaran ujaran kebencian dan rasisme.
Gaung bersambut. Sejumlah perusahaan bergabung dan menarik iklan mereka dari sejumlah platform media sosial. Patagonia selama ini dikenal sebagai perusahaan yang menyerukan berbagai isu etis, baik bisnis namun non bisnis.
Aksi ini memperlihatkan kepada kita tentang kecenderungan aktivisme di dunia maya. Penyedia platform yang selama ini tidak banyak tersentuh, kali ini mendapat hujatan dari publik karena tidak cepat bereaksi terhadap keluhan publik.
Para pemilik merek tentu tidak mau terciprat terkena masalah. Oleh karena itu mereka menarik iklan dari platform. Aktivisme di dunia maya menemukan jalan yang tepat untuk menekan pemilik platform.
Pesan merek
Aktivisme di dunia maya sudah lama dibahas, tetapi lebih banyak menyentuh kegiatan politik praktis seperti di Timur Tengah. Belakangan aktivisme ini juga menyentuh dunia bisnis.
Dua tahun lalu seorang penulis bernama Teresa Litza di salah satu laman menyebutkan, ada beberapa alasan mengapa kampanye pemasaran perusahaan menyerap berbagai aktivisme di masyarakat seperti aktivisme sosial, politik, hukum, dan lingkungan, menjadi aktivisme merek. Meski demikian, pesan dari merek masih muncul dalam aktivisme itu.
Belakangan aktivisme lebih banyak menyentuh kepentingan kehidupan masyarakat. Keterlibatan korporasi dalam aktivisme relatif tak membawa pesan merek secara langsung. Mereka bahkan mengikuti pergerakan di publik.
Beberapa aktivisme sebelum #StopHateForProfit yang menonjol antara lain #metoo, #resist, dan #blacklivesmatter. Penulis Steven van den Haak di laman Startlingbrands mengatakan, saat ini kita melihat aktivisme yang cenderung naik untuk mencapai sebuah tujuan.
Para pemilik merek mungkin beralasan pragmatis bahwa mereka tidak mau berada di platform yang menggunakan bahasa kebencian. Namun sesungguhnya boikot kali ini memperkuat kecenderungan aktivisme di dunia maya. Publik ingin nyaman dan aman berada di dunia maya. Keberhasilan aliansi sipil mengajak perusahaan untuk melakukan boikot menunjukkan arus aktivisme di dunia maya makin kencang.
Bagaimana pemilik merek bersikap di tengah kecenderungan itu? Den Haak menyarankan agar para pemilik merek memahami aktivisme yang tengah menyebar ke berbagai belahan dunia. Tim pemasaran perlu mampu mengendus moral dari setiap aktivisme.
Mereka disarankan mampu berselancar di tengah aktivisme itu untuk meletakkan merek di posisi yang tepat berdasar etika. Etika menjadi penting karena merek bisa dihukum oleh publik ketika mereka diketahui berbuat curang atau malah melukai orang.
Para pemilik merek bisa mengapresiasi langkah para penggerak aktivisme namun jangan sekali-kali berpikir untuk mendapatkan keuntungan ekonomis di balik gerakan-gerakan itu ketika mereka mulai merespons. Aktivisme mempunyai lingkungan tersendiri yang bersifat altruistik yang bertujuan membantu orang lain dan bebas dari kepentingan tertentu.
Salah satu yang mungkin bisa dilakukan pemilik merek adalah mendaur ulang tema kampanye seperti Diesel yang mendaur ulang "Make Love Not War" menjadi "Make Love Not Wall". Itu pun harus hati-hati agar tidak memukul balik.
Meski disarankan tidak berpikir mendapatkan keuntungan ekonomi secara langsung, pada kenyataanya sekitar sepertiga konsumen ternyata memilih produk yang terlibat dalam perbaikan sosial atau lingkungan. Para pemilik merek tidak perlu latah ikut dalam aktivisme, tetapi mereka harus memiliki koneksi yang dekat antara nilai-nilai aktivisme yang diusung dengan pesan yang hendak disampaikan.
Ketika menimbang sebuah gerakan yang sedang berlangsung, pemilik merek harus yakin bahwa saat mereka mendukung sebuah gerakan, di sisi yang lain mereka harus yakin banyak konsumen juga mendukung merek mereka.