Dilema Eksistensi untuk Popularitas atau Konten Berkualitas
Sejumlah youtuber merasa sistem di media sosial itu kini lebih mendukung konten dengan jumlah penonton, ”like”, komentar, dan pengikut atau ”subscriber” terbanyak. Sementara konten itu kerap tidak berkualitas.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
Kompas
Salah satu video terpopuler secara global yang berasal dari tayangan televisi adalah Lip Sync Battle Will Ferrell.
Popularitas seorang kreator konten di media sosial selayaknya sejalan dengan kualitas konten yang dibuat. Namun, seperti lagu lama, dua hal tersebut bisa saling bertentangan dan mempertaruhkan eksistensi para kreator.
Realita tersebut diungkapkan kreator konten Youtube atau Youtuber, Andovi da Lopez (26) dan Jovial da Lopez (30). Pada 24 Juni 2020, pemilik kanal SkinnyIndonesian24 dengan 2,3 juta pengikut itu memublikasikan video berjudul ”Tahun Terakhir di Youtube | Maaf & Terima Kasih”.
Dalam video tersebut, mereka menyampaikan pesan untuk menyudahi karier mereka setelah genap sepuluh tahun menjadi kreator di Yotube. Beberapa alasan diungkapkan Andovi, seperti motivasi untuk hidup dengan jalan lain. Alasan lain juga diungkapkan Jovial.
Ia merasa usahanya untuk membuat konten kini kurang dihargai karena sistem Youtube kini lebih mendukung konten dengan jumlah penonton, like, komentar, dan pengikut atau subscriber terbanyak.
Setidaknya 1.000 remaja memadati auditorium di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta untuk menunggu giliran temu sapa dengan youtuber atau istilah dari pembuat konten di layanan video Youtube di sela Youtube Fan Festival, Jumat (23/10).
Dengan sistem tersebut, konten yang dibuat tokoh populer, seperti artis televisi, atau konten arus utama yang kurang berkualitas, menjadi lebih terangkat. ”Sekarang suara orang-orang seperti kita mati karena semua spotlight ke suara-suara besar. Youtube was cool, now it’s just a business,” ujarnya.
Suara SkinnyIndonesian24 pun direspons youtuber lainnya, seperti Raditya Dika, Sacha Stevenson, dan Kevin Hendrawan, yang memiliki jutaan pengikut.
Kevin menilai mudahnya konten untuk populer terjadi karena jumlah penonton Youtube semakin banyak. Adapun popularitas itu juga didukung preferensi penonton.
”Misalnya, aku termasuk youtuber yang dikenal dengan konten cukup berat. Kalau tiba-tiba aku bikin video prank, enggak akan ada yang nonton karena penontonku berbeda dengan penonton video yang cuma buat prank atau kasih giveaway,” ujarnya.
Pengguna bertambah
Pengamat telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai, perdebatan mengenai popularitas konten di Youtube terkait dengan meningkatnya jumlah pengguna di media sosial tersebut.
”Youtube berkembang seiring dengan pemanfaatan media baru,” katanya saat dihubungi Kompas, Selasa (30/6/2020).
Survei Konsumen Digital Nielsen 2019 di sembilan kota di Indonesia mencatat, pengguna internet menghabiskan sebagian besar waktu mereka di internet untuk mengakses media sosial.
Youtube adalah platform yang paling banyak digunakan netizen (68 persen) untuk menikmati konten acara TV atau film dan musik. Presentasi itu terus mengejar jumlah pemirsa televisi yang menurut survei Nielsen masih mencapai lebih dari 90 persen penduduk Indonesia.
Grafis pertumbuhan jumlah kreator di platform Youtube dari tahun ke tahun.
Pada pertengahan 2019, Youtube Indonesia melaporkan, ada 71 juta penonton usia 18 tahun ke atas. Jumlah itu hampir menyamai jumlah pengguna internet untuk media sosial yang, menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia ( APJII), mencapai 79 juta orang pada 2019.
Jumlah penonton tersebut berkembang didorong perkembangan jumlah kreator. Jika pada 2016 hanya ada dua youtuber dengan 1 juta pengikut, pada Juni 2019 jumlahnya mencapai 340 youtuber.
Integritas
Dengan semakin banyaknya penonton di Yotube, Heru tidak menampik adanya fenomena menarik penonton dengan pendekatan pemasaran sebagai upaya menambah penghasilan. Seperti diketahui, Youtube dapat memberikan penghasilan kepada kreator dari sejumlah kunjungan konten.
Fenomena ini, menurut dia, tidak jarang menurunkan integritas kreator, terlebih jika kualitas konten diabaikan. Pendapat mengenai fenomena ini juga diakui oleh aktivis Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran, Muhammad Heychael.
Menurut dia, youtuber yang mengutamakan integritas konten sebaiknya menjaga orisinalitas dan integritas mereka agar tidak mengikuti arus kreator yang mereka kritik.
”Dasarnya, algoritma Youtube selalu mengutamakan konten yang populer. Kalau youtuber itu hanya ada untuk membuat konten yang orisinal, lebih baik bertahan, buat konten bagus untuk mengkritisi konten sampah dan Youtube kalau dinilai hanya mencari untung,” tuturnya.
Menurut Heychael, strategi bertahan dan melawan seperti itu baik dilakukan para youtuber berkualitas. Publik harus mengingat bahwa media sosial, termasuk Youtube, adalah sarana demokrasi yang bisa ditonton dan diisi siapa saja. Pada akhirnya, kualitas dan popularitas hanya akan menjadi pilihan untuk dijalani bersama atau tidak.