Paradoks Interaksi Virtual
Wabah Covid-19 mendorong jutaan orang memindahkan banyak aktivitas ke ruang-ruang virtual. Jika ini terus berlangsung, interaksi sosial manusia akan makin terikat pada layar kecil gawai dan komputer.
Wabah Covid-19 mendorong jutaan orang memindahkan banyak aktivitas ke ruang-ruang virtual. Jika ini terus berlangsung, interaksi sosial manusia akan makin terikat pada layar kecil gawai dan komputer. Apa konsekuensinya bagi kehidupan sosial kita?
Wabah Covid-19 mendorong jutaan orang memindahkan banyak aktivitas ke ruang-ruang virtual. Jika ini terus berlangsung, interaksi sosial manusia akan makin terikat pada layar kecil gawai dan komputer. Apa konsekuensinya bagi kehidupan sosial kita?
Jaga jarak fisik! Itu salah satu ”doktrin” terpopuler saat pandemi Covid-19. Kesadaran itu dibangun bersamaan dengan kesadaran untuk sering-sering mencuci tangan sebagai cara terampuh melawan virus korona baru.
Ketika kesadaran untuk menjaga jarak ditanamkan di kepala publik, secara bersamaan kesadaran kolektif untuk memasuki ruang-ruang virtual digemakan. Maka, aneka aktivitas yang lazim digelar dengan pertemuan fisik, seperti bekerja, belajar, rapat, seminar, menonton konser, menggelar pesta pernikahan, silaturahmi berlebaran, berolahraga, dan beribadah, dipindahkan ke ruang virtual, seperti Zoom, Google Meeting, atau WA video call.
Tentu, interaksi virtual bukan barang baru. Lebih dari satu dekade sebelum pandemi Covid-19, sebagian masyarakat Indonesia sudah akrab dengan media sosial untuk beragam kepentingan, mulai dari ngobrol, mencari artikel, jual beli, membangun jaringan, menikmati hiburan, atau bekerja. Namun, interaksi virtual di era pandemi berlangsung dalam konteks yang berbeda. Ia bukan lagi pilihan, melainkan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi masalah pembatasan sosial.
Teknologi digital punya pesona besar untuk menarik banyak orang ke dalam ruang-ruang virtual, serta mempermudah nyaris segala hal dalam relasi, edukasi, dan komunikasi manusia. Tak heran jika anjuran dan kebijakan untuk memindahkan aneka aktivitas ke ruang-ruang virtual, seperti bekerja dan belajar, disambut antusias jutaan orang yang memiliki akses terhadap internet.
Monika Tedjo (30), misalnya, merasa mendapatkan kemewahan dengan bekerja secara virtual dari rumah. Sambil bekerja, ia bisa menyeruput kopi yang dipesan dari kafe favoritnya atau mengikuti kelas-kelas virtual. ”Aku merasa lebih fokus bekerja dan punya banyak waktu mengeksplorasi diri,” kata pekerja di sebuah LSM di Jakarta, Minggu (21/6/2010).
Pengakuan serupa disampaikan Taufan Silitonga (25), pekerja di perusahaan teknologi informasi. Ia merasa bekerja di rumah membuatnya menjadi lebih produktif, dan pada saat yang sama bisa menikmati waktu luang. Bahkan, di sela-sela bekerja ia bisa berolahraga.
Penerimaan warga atas kampanye bekerja dari rumah secara lebih luas terungkap dalam survei Litbang Kompas pada 16-22 Mei, dengan 1.007 responden berusia 17 tahun ke atas di 17 kota besar. Sekitar 80 persen responden memakai aplikasi rapat daring, medsos, dan e-mail saat bekerja di rumah. Kebijakan belajar di rumah juga diterima sebagai keniscayaan. Sebanyak 28,1 persen responden memanfaatkan video dan 43 persen medsos untuk belajar dari rumah.
Budaya baru ini kemungkinan akan terus berlanjut pada era normal baru dan pasca-pandemi. Survei Litbang Kompas menemukan, 31 persen responden yang bekerja di rumah ingin budaya baru ini terus dipertahankan. Sementara itu, lebih dari separuh responden ingin sistem belajar virtual dari rumah juga dipertahankan.
Sebagai catatan, survei ini hanya menangkap aspirasi warga urban, tetapi tidak mencakup aspirasi dari warga yang tinggal di pelosok negeri.
Penerimaan konsep bekerja dan belajar dari rumah bisa menjadi justifikasi bagi pengambil keputusan melanjutkan sebagian atau seluruhnya dengan motif yang berbeda. Sejumlah pebisnis belakangan ini, misalnya, mulai melihat kebijakan bekerja dari rumah sebagai peluang mengefisienkan pengeluaran kantor dan mempercepat otomasi.
Paradoks
Terlepas dari banyaknya kemudahan teknologi digital, teknologi ini ada masalahnya sendiri. Para ahli sejak awal melihat adanya paradoks teknologi virtual. Medsos dan aplikasi-aplikasi pertemuan di satu sisi membuat orang terhubung dan berinteraksi. Di sisi lain, menyabotase banyak dimensi dan aspek yang cuma terwujud dalam interaksi fisik, seperti kehangatan dan keintiman.
Di dunia virtual, miliaran pesan berseliweran supercepat. Alih-alih mencerahkan, tsunami pesan justru membingungkan. Orang makin sulit membedakan informasi dan disinformasi, kebenaran dan kepalsuan, berita dan hoaks, realitas dan simulasi. Semua campur aduk dan lepas dari konteks.
Oleh karena itu, bagaimanapun interaksi yang dimediasi layar gawai dan komputer (face to screen) tidak akan bisa menggantikan interaksi dengan kehadiran fisik (face to face). Ruang-ruang virtual terlalu kering sebagai arena relasi manusia.
Di ruang rapat virtual, misalnya, hanya ditemukan poin- poin problem dan solusi di layar, tanpa pendalaman. Diskusi kadang diganti instruksi, proposisi diganti presentasi. Rapat virtual menghilangkan memori ruang rapat, tentang serunya diskusi, tentang mana atasan yang memotivasi, mana yang mendemotivasi.
Di ruang belajar virtual, guru dan murid muncul di layar seukuran dada ke atas, proses pembelajaran berlangsung monolog dan tergesa-gesa lantaran dikejar waktu. Tiada memori yang bisa direkam dari suasana kelas, memori guru ideal seperti Muslimah di film Laskar Pelangi, dan kehangatan proses belajar serta persahabatan.
Kesenjangan
Idi Subandy, pakar komunikasi dan media, berpendapat, kebijakan yang mendorong warga memindahkan aktivitas fisik ke ruang digital, seperti belajar dan bekerja di rumah, mengandung bahaya karena mengabaikan kesenjangan di masyarakat, yakni kesenjangan ekonomi dan akses teknologi, kesenjangan pengetahuan, serta kesenjangan demografi.
”Bagaimana dengan warga yang tidak memiliki akses internet? Bagaimana dengan warga senior yang sulit mengikuti perkembangan teknologi digital? Bagaimana dengan mereka yang pekerjaannya tidak bisa dikerjakan secara virtual? Mereka menjadi kelompok yang terabaikan,” katanya.
Meski pengguna internet di Indonesia terus tumbuh secara signifikan dalam satu dekade terakhir seiring membaiknya infrastruktur internet, jumlah warga yang belum terlayani akses internet juga besar. Survei We Are Social menemukan, pengguna internet di Indonesia 2020 mencapai 175 juta atau lebih dari 64 persen penduduk Indonesia.
Artinya, masih ada 36 persen atau sekitar 96 juta penduduk Indonesia yang belum terlayani internet. Kelompok berjumlah besar ini terabaikan dalam kampanye dan kebijakan yang mendorong warga memanfaatkan ruang-ruang virtual.
Di Provinsi Papua, misalnya, 54 persen dari total 608.000 pelajar di Papua ternyata tidak dapat belajar dari rumah secara optimal lantaran jaringan internet, televisi, atau radio nyaris tidak ada (Kompas.id, 3 Mei 2020). Situasi yang lebih baik, tetapi tetap menyedihkan dialami para pelajar di Dusun Petir B, Gunung Kidul, DIY. Mereka harus naik ke bukit sekadar guna mendapatkan sinyal internet demi mengunduh materi pelajaran sekolah dari guru (Kompas.id, 9 Juni 2020).
Di banyak kampus, mahasiswa sulit berkuliah daring bukan karena tidak terlayani internet, tetapi tak mampu beli kuota. ”Setiap kuliah daring paling tidak perlu kuota Rp 10.000-Rp 20.000. Kalau tidak punya kuota, ya tidak bisa kuliah,” kata Fauzi, mahasiswa Universitas Bina Sarana Informatika Cengkareng, Jakarta.
Dalam dunia digital, kemampuan dan ketidakmampuan mengakses internet secara langsung membelah publik ke dalam dua kelompok besar. Sebuah situasi yang oleh para teorisi disebut sebagai digital divide. Mereka yang mampu mengakses internet akan mendapatkan manfaat dari pengetahuan, peluang ekonomi, dan posisi sosial di lingkungan sekitarnya hingga dunia global.
Sebaliknya, yang tidak mampu mengakses dunia digital berarti tidak berkesempatan merengguk pengetahuan dan peluang ekonomi dari teknologi digital. Mereka tidak bisa belajar dan bekerja dari rumah, mendaftar sekolah secara daring, berdagang daring, apalagi tampil di webinar.
Terkait bekerja dari rumah, kebijakan ini mengabaikan kelompok warga yang tidak bisa memindahkan aktivitas bekerjanya secara virtual, seperti tukang ojek, sopir angkot, dan buruh bangunan.
Idi juga melihat, bekerja dan belajar dari rumah mengandung bahaya lain, yakni penyeragaman (homogenisasi) konten, mekanisme mengajar, dan cara mengajar di tengah situasi warga yang beragam.
Pemindahan interaksi fisik ke ruang-ruang virtual memang keniscayaan di tengah pandemi. Namun, konsekuensinya, kesenjangan melebar. Kelompok yang tak mampu mengakses internet akan menjadi kelompok marjinal dalam jejaring digital.
Sebaliknya, kampanye dan kebijakan memperkuat posisi kelompok-kelompok yang dominan dalam relasi ekonomi-politik baik di tingkat lokal maupun global. Kebijakan belajar dan bekerja dari rumah, misalnya, menggiring jutaan orang masuk ke ruang-ruang pertemuan digital.
Laman Busineeofapps.com melaporkan, pengguna aplikasi Zoom sejagat naik 3.000 persen April 2020 menjadi sekitar 300 juta dibandingkan Desember 2019. Pendapatan perusahaan pada kuartal II-2020 mencapai 2,2 juta dollar AS. Padahal, pada 2018, Zoom merugi sekitar 4,1 juta dollar AS.
Interaksi virtual yang menguat juga menggiring miliaran orang memanfaatkan situs-situs hiburan, percakapan, dan lain sebagainya secara lebih intens. Di luar itu, posisi tawar perusahaan penyedia jasa internet menjadi semakin kuat di tengah konsumen yang semakin bergantung pada internet.
Apa yang bisa dilakukan untuk meminimalkan proses marjinalisasi akibat perpindahan interaksi fisik ke ruang-ruang virtual selama pandemi?
Alih-alih menyeragamkan mekanisme belajar atau bekerja virtual, pemerintah semestinya memberi ruang bagi cara-cara alternatif di tengah pandemi. Selain itu, perwujudan aktivitas strategis, seperti bekerja dan belajar daring, seharusnya tidak diserahkan sepenuhnya pada ruang-ruang virtual komersial.
Jika problem-problem terkait homogenisasi ini tidak segera diatasi, bisa saja kita akan menatap dunia baru yang makin kehilangan kehangatan dan keintiman. Fakta yang tersaji di depan mata: menipisnya kadar manusia sebagai makhluk sosial. (DNA)