Sejumlah milenial membuktikan bahwa mereka bisa mengatur keuangan dengan baik, termasuk untuk menabung. Kedisiplinan pada setiap pos pengeluaran menjadi kunci keuangan sehat.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stigma hidup konsumtif yang sering disematkan pada generasi milenial tidak sepenuhnya tepat. Sebagian di antara pekerja milenial malah sangat ketat dalam mengatur keuangan mereka.
Karyawan di lembaga riset swasta, Anissa Dini (26), misalnya, memiliki catatan keuangan. Dia mencatat pengeluaran setiap hari dan membuat pos anggaran untuk tabungan serta investasi.
Setiap menerima gaji sebesar Rp 7 juta per bulan, dia membaginya ke dalam tiga rekening. Sebesar Rp 4 juta ia transfer ke rekening utama. Di rekening ini, ada enam pos anggaran rutin, yaitu zakat, dana darurat, uang muka rumah, pensiun, biaya nikah, dan kurban.
Di rekening ini pula, lulusan Universitas Indonesia ini mengeluarkan biaya untuk OVO dan Go-Pay sebesar Rp 500.000. Dia juga menyisihkan uang untuk orangtuanya. Belanja daring pun ia anggarkan sebesar Rp 250.000. ”Ketika pandemi, belanja di online shop membengkak jadi Rp 500.000,” katanya ketika dihubungi Rabu (24/6/2020).
Sisa gaji, yakni Rp 3 juta, ia transfer ke dua rekening lain. Rekening pertama untuk tabungan dan untuk membayar les bahasa Perancis. Rekening terakhir dialokasikan untuk membeli saham dan tabungan jalan-jalan.
”Intinya, aku selalu menabung dulu. Pas gajian, langsung aku transfer ke pos tabungan, bukan kalau ada sisa baru menabung,” ucapnya.
Perempuan yang masih tinggal bersama orangtua di Depok, Jawa Barat, ini sempat optimistis bisa membeli rumah sendiri. Belakangan, niat itu ia urungkan karena harga properti yang terus menanjak. Kini, untuk sementara, ia hanya menargetkan tinggal di tempat yang dekat dari kantor.
”kalau naik KRL terus, sayang saja sama waktunya. Tetapi, Mama masih melarang karena, menurut dia, mengontrak rumah itu sama saja dengan memperkaya orang lain,” katanya.
Tabung separuh pendapatan
Pekerja milenial lainnya, Gina Mardani Cahyaningtyas (24), bahkan bisa menabung separuh dari pendapatannya per bulan. Dia sudah dua tahun bekerja di organisasi nonpemerintah (NGO) yang bergerak di bidang kemanusiaan.
Selama bekerja, pekerja dengan pendapatan Rp 8 juta per bulan ini sudah menabung sebesar Rp 76 juta. Sebagian uang itu ia investasikan ke emas.
Pengeluaran terbesarnya selama ini untuk transportasi. Selama pandemi Covid-19, perempuan yang tinggal bersama orangtua ini bisa menghabiskan Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta untuk ulang-alik saban hari kerja. Kantornya berada di Jakarta Selatan, sedangkan rumahnya berada di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten.
”Saya naik taksi daring gitu, ongkosnya bisa minimal Rp 60.000. Duh, aku rindu Transjakarta beroperasi lagi,” tuturnya. Yang dimaksud bus Transjakarta oleh Gina adalah bus pengumpan yang biasanya lalu lalang di dekat rumahnya. Dengan bus pengumpan ini, Gina bisa mengakses Transjakarta yang bertarif Rp 3.500 hingga ke kantornya.
Pengeluaran Gina lainnya adalah untuk membeli rangkaian perawatan kulit dan sabun wajah. Dia menganggarkan Rp 1 juta untuk biaya itu. ”Bisa bertahan untuk enam bulan hingga satu tahun,” jelasnya.
Gina bisa menekan biaya pulsa karena lebih sering menggunakan internet yang disediakan kantor. Dalam satu bulan, Gina hanya mengeluarkan biaya pulsa untuk internet sebesar Rp 50.000.
Lulusan Universitas Deponegoro ini menjelaskan, tabungan berguna untuk dua hal, yakni melanjutkan kuliah dan biaya pernikahan. Ia bertekad untuk tidak membebani orangtuanya dalam membiayai dua hal itu.
Gina pun berencana membeli rumah. Akan tetapi, hal ini baru akan dipikirkannya setelah menikah. ”Kalau sekarang. kan. belum tahu juga mau nikah sama orang mana dan tinggalnya di mana. Aku kepikiran untuk mencari rumah di luar Jakarta, seperti di Jawa Tengah atau Yogyakarta karena harga di sana sudah tentu lebih murah,” tuturnya.
Danai hobi
Pekerja milenial Arif Sadikin (26) menjelaskan, anggapan bahwa milenial bersifat konsumtif itu tidak sepenuhnya salah. Ada kecenderungan milenial memberikan atensi lebih terhadap hobi. Dia sendiri, misalnya, hobi bermain basket dan tidak keberatan untuk membeli sepatu basket yang harganya ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Kendati demikian, karyawan bank swasta ini tetap memperhatikan likuiditas keuangan. Dia tetap menyisihkan pendapatan Rp 3 juta per bulan. Uang itu untuk membayar biaya kuliah S-2 dirinya serta untuk menyiapkan uang muka membeli rumah.
Sebagai pekerja milenial migran atau yang bukan berasal dari Jabodetabek, Arif bertekad tinggal lama di jakarta. Oleh sebab itu, rumah menjadi penting. Selain sebagai hunian, rumah juga berguna sebagai instrumen investasi.
Penasihat keuangan Prita Hapsari Ghozie menjelaskan, survei yang diterbitkan beberapa literatur menunjukkan, kalangan muda memiliki beberapa karakteristik, seperti punya perilaku konsumtif dan mudah terbawa pengaruh gaya hidup yang tinggi. Dia mengingatkan, tingkat kenaikan harga atau inflasi biaya kebutuhan hidup akan terus merangkak naik. Dalam jangka panjang, risiko terberat yang sangat ingin dihindari adalah tidak mampu pensiun dengan nyaman (Kompas, 26/11/2019).