Sunyinya geliat kesenian di pusat kultur Betawi Setu Babakan atau tempat-tempat fisik lainnya bukan berarti warisan nenek moyang ini tidak punya kesempatan untuk tetap hidup.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·5 menit baca
Setu Babakan menjadi bagian dari sedikit benteng tersisa penjaga tetap hidupnya kebudayaan Betawi beserta segala kekayaan keseniannya di tengah segala gempuran kebudayaan perkotaan modern. Setelah tertidur berbulan-bulan karena pageblug, geliatnya kini dirindukan, terutama oleh para seniman penjaga warisan leluhur.
Sabtu (20/6/2020) siang yang rindang di tepi Setu Babakan dilindungi dedaunan dari pohon-pohon. Asri (38) bersama suami dan dua anaknya menikmati santap siang sambil memanjakan mata dengan pemandangan setu atau danau buatan seluas 30 hektar tersebut, ditingkahi becak-becak air yang lalu lalang digenjot sesama wisatawan.
Lahir dan besar di Jakarta, Asri baru kali ini berekreasi ke Setu Babakan yang masuk kompleks Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Lokasinya di pinggiran Ibu Kota, bersisian dengan wilayah Kota Depok, Jawa Barat.
”Kami sering jauh-jauh ke Bogor, kadang ke Katulampa, hanya untuk melihat yang seperti ini. Padahal, di Jakarta ada danau,” ujar pekerja bank ini.
Namun, tujuan utama ia sekeluarga menyambangi Setu Babakan adalah menikmati atraksi kesenian khas Betawi. Sayang, meski Sabtu itu Setu Babakan buka perdana setelah vakum sejak 14 Maret demi mencegah penyebarluasan virus korona baru, aktivitas berkesenian belum terlihat di sana.
Asri berharap mereka bisa menyaksikan warga yang berlatih tari sehingga kedua putrinya mendapat pengalaman berinteraksi dengan kebudayaan asli Jakarta. Bahkan, pedagang kerak telor, salah satu makanan yang identik dengan Betawi, pun tidak mereka temukan. ”Kalau tidak sedang pandemi, ya, kecewa. Namun, karena pandemi, kami memaklumi,” ujarnya.
Secara keseluruhan, PBB Setu Babakan memiliki luas 289 hektar, tetapi lahan milik Pemerintah Provinsi DKI hanya 30 persennya. Sebanyak 70 persen merupakan lahan milik masyarakat berupa permukiman yang tersebar di RW 006, 007, 008, dan 009 Srengseng Sawah.
Masyarakat di sana wajib menerapkan arsitektur bercorak Betawi pada rumah-rumah mereka. Secara sekilas, karena sudah memiliki ekspektasi rumah yang sepenuhnya berlanggam Betawi, kediaman-kediaman warga Setu Babakan terlihat seperti rumah biasa, apalagi banyak yang sudah melengkapi rumah dengan pintu terali tinggi agar antimaling. Supaya sentuhan kebetawian tetap ada, kebanyakan warga memasang gigi balang, ornamen khas berbentuk segitiga dan bulatan berjajar, atau mewarnai pintu dengan kelir hijau dan kuning.
Supaya sentuhan kebetawian tetap ada, kebanyakan warga memasang gigi balang, ornamen khas berbentuk segitiga dan bulatan berjajar, atau mewarnai pintu dengan kelir hijau dan kuning.
Atraksi kesenian biasa dipusatkan pada zona A yang memiliki amfiteater terbuka. Lenong, pertunjukan palang pintu, ondel-ondel, tari-tarian, hingga seni musik, seperti gambang keromong, biasa disuguhkan di sana setiap akhir pekan. Sejak 14 Maret, segala aktivitas berkesenian di Setu Babakan pun terpaksa rehat.
Pemimpin sanggar seni Betawi Bunga Cempedak, Aat Sudrajat (50), mengatakan, pada kondisi normal, kesempatan tampil di Setu Babakan sangat langka karena begitu banyaknya sanggar di Jakarta Selatan. Kelompoknya biasa mendapat jatah dua kali manggung per tahun di sana.
Meski demikian, kesempatan di Setu Babakan bukan satu-satunya yang diandalkan. Bunga Cempedak punya peluang diundang menjadi pengisi acara beragam kegiatan di luar, termasuk tentunya hajatan orang Betawi.
Namun, kevakuman Setu Babakan karena Covid-19 turut mencerminkan tertutupnya banyak pintu rezeki para pelaku seni Betawi. Acara-acara yang mengundang kerumunan, sumber pendapatan para seniman ini, dilarang keras selama PSBB.
”Alhamdulillah, sebagian ada yang punya gawe (pekerjaan) lain. Ada yang ngojek, ada yang ngewarung juga. Seperti saya juga punya sambilan. Kan, kita makan enggak sebulan sekali,” ujar Uut, sapaan karib Aat.
Uut bukan hanya penggerak seni. Ia juga anggota staf Unit Pengelola Kawasan (UPK) PBB Setu Babakan yang bertanggung jawab pada kebersihan Museum Betawi di Zona A. Selain itu, ia juga aktif siaran setidaknya di dua radio, yaitu Bens Radio dan BHI Radio.
Namun, meski berkesenian bukan satu-satunya sumber pemasukan keluarga, terlelapnya jadwal manggung tetap membebani Herna Parlina (37), penyanyi gambang keromong, dan keluarganya. Sebab, 70 persen pendapatan berasal dari undangan-undangan manggung, sedangkan sisanya, antara lain, dari profesi ojek daring yang dilakoni suami, Sain Romli (50).
Romli dan kedua putranya jago memainkan kendang, tetapi bisa juga diminta memegang alat musik lain, termasuk keromong dan gong. Karena itu, saat memenuhi undangan pentas, Herna dan Romli biasa mengajak dua anak laki-laki mereka turut serta. Setiap orang rata-rata menerima honor Rp 350.000 per pentas, dan mereka bisa dipanggil 10-12 kali per bulan. Jika hanya menghitung dari keikutsertaan Herna dan Romli saja, dalam sebulan keluarga ini sudah bisa mendapatkan total Rp 7 juta sebulan dari menggeluti kesenian.
Jika menghitung dari keikutsertaan Herna dan Romli, dalam sebulan keluarga ini sudah bisa mendapatkan total Rp 7 juta sebulan dari menggeluti kesenian.
Pandemi pun menghantam pendapatan keluarga Herna. ”Sampai-sampai anak saya yang SMP bayarannya tertunggak terus, tetapi alhamdulillah sudah teratasi,” ujarnya saat ditemui di rumahnya di Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji, Kota Depok, Sabtu siang.
Bagi putra kedua Herna, M Fathir Sidiq (11), pentas gambang keromong menjadi penyaluran hobi seni tradisional yang sudah mendarah daging. Kelihaiannya menderapkan jemari di kulit kendang diturunkan dari engkong atau kakeknya.
Ia pun unjuk kebolehan di teras rumahnya pada Sabtu lalu. Meski sudah tiga bulan kehilangan kesempatan pentas, kemampuannya tak berkurang barang sedikit. Ketukan-ketukan jarinya menciptakan bunyi yang menggugah semangat.
Bagi penggerak seni Betawi dan kerajinan ondel-ondel dari sanggar Citra Argawana, Jazuri (52), beragam kesulitan bagi seniman di kala pandemi ini sekaligus menjadi pelecut daya kreatif. Pelestarian budaya saja tidak cukup untuk memampukan seni Betawi dan pelaku-pelaku seninya bertahan hidup. Pengembangan juga dibutuhkan.
”Contoh ondel-ondel. Dulu untuk pesta panen. Nah, sekarang Jakarta mau panen apa,” ujar pria yang akrab dipanggil Bang Jaxc itu. Namun, nyatanya, seni ondel-ondel tetap hidup hingga kini karena ruang tampilnya tidak terbatas. Acara peresmian di suatu perusahaan pun bisa jadi peluang.
Kebudayaan adalah hasil olah pikir masyarakat yang tidak dilarang untuk berkembang sesuai perubahan zaman. Sunyinya geliat kesenian di pusat kultur Betawi Setu Babakan atau tempat fisik lainnya bukan berarti warisan nenek moyang ini tidak punya kesempatan untuk tetap hidup. Kemajuan teknologi informasi, misalnya, menyediakan kesempatan bagi kesenian tradisional untuk berkembang, tidak hanya lestari.
Sunyinya geliat kesenian di pusat kultur Betawi Setu Babakan atau tempat fisik lainnya bukan berarti warisan nenek moyang ini tidak punya kesempatan untuk tetap hidup. Kemajuan teknologi informasi, misalnya, menyediakan kesempatan bagi kesenian tradisional untuk berkembang, tidak hanya lestari.
Mungkin inilah saatnya para penjaga warisan kesenian Betawi menggali kreativitas lebih dalam untuk melegakan kerinduan.