Melalui Media Sosial, ”Prank” Pun Merambah ke Ranah Politik
Lelucon atau ”prank” kini ditujukan untuk Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Media sosial berperan besar dalam mendiseminasi ide lelucon itu.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
AFP/NICHOLAS KAMM
Dalam foto yang diambil pada 20 Juni 2020 Presiden AS Donald Trump datang ke reli kampenyenya di BOK Center Tulsa Oklahoma. Trump menyalahkan kerumunan massa kampanye yang mengecewakan di Tulsa atas para pemrotes yang menciptakan suasana bermusuhan dan menghalangi para pendukungnya masuk ke arena. Padahal, Trump kena prank para penggemar K-Pop dan Tiktok.
OKLAHOMA, KOMPAS — Kejahilan atau lelucon (prank) tidak lagi sekadar untuk lucu-lucuan. Salah satu contohnya prank terhadap Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Prank itu ”sukses” dengan amplifikasi di media sosial.
Para pengguna TikTok dan penggemar K-Pop mengklaim sebagai dalang dari prank yang terjadi Sabtu (20/6/2020) waktu AS. Mereka menyabotase kampanye Trump di BOK Center, Tulsa, Oklahoma, dengan memesan tiket dalam jumlah banyak tanpa niat untuk hadir. Ada 19.000 kursi di sana, tetapi kurang dari 6.200 kursi yang terisi.
Seorang mahasiswa dan pendukung partai demokrat di AS mengatakan, dirinya punya alasan khusus berpartisipasi pada prank. Hal itu karena Tulsa punya sejarah kelam terhadap rasisme dan kekerasan terhadap orang berkulit hitam di AS 100 tahun lalu.
Padahal, warga AS sedang menyoroti kasus rasisme setelah kematian lelaki berkulit hitam George Floyd di bawah lutut polisi. Sorotan itu berubah menjadi gerakan nasional bertajuk Black Lives Matter.
”Saya mendengar prank itu dari penggemar BTS. Begitu saya melihatnya di TikTok, saya rasa ini akan jadi besar,” katanya seperti dikutip dari Reuters.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Seorang warga memainkan ponsel pintarnya di Jakarta, Selasa (18/2/2020). Keamanan data pribadi di dunia maya menjadi perhatian sejumlah warga. Mereka mengaku harus melakukan langkah-langkah mandiri untuk melindungi datanya.
Menurut AP, prank terhadap Trump disebut berasal dari ide seorang perempuan paruh baya di Iowa. Laman politik Iowa Starting Line menemukan sebuah video TikTok yang diunggah pada 11 Juni oleh akun Mary Jo Laupp (51).
Laupp berwacana agar orang-orang memesan tiket dan membiarkan kursinya kosong saat kampanye. Di video itu, Laupp mengajak orang-orang berhenti menerima pesan singkat dari tim kampanye Trump. Video itu mendapat lebih dari 700.000 tanda suka.
Beragam isu
Selain prank terhadap Trump, TikTok juga menjadi sarana amplifikasi gerakan Black Lives Matter. Platform berbagi video yang mulanya dipandang untuk senang-senang kini meluas maknanya.
General Manager TikTok AS Vanessa Pappas mengatakan kepada CNN, TikTok merupakan wadah bagi para pengguna untuk berekspresi. Ekspresi negatif yang diperlihatkan pengguna akhir-akhir ini merupakan refleksi atas beragam kejadian yang terjadi di AS saat ini.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Salah satu akun TikTok membagi suasana kampanye Presiden Amerika Serikat Donald Trump di BOK Center, Tulsa, Oklahoma, Sabtu (19/6/2020) waktu setempat. Lebih dari setengah kursi di gedung itu kosong. Para penggemar K-Pop dan pengguna TikTok mengklaim sebagai orang yang ”mengerjai” Trump dengan memesan tiket kampanye, tetapi mereka tidak datang.
”Ekspresi itu biasanya menyenangkan. Namun, komunitas kami sedang melewati masa yang penuh derita dan kemarahan. Konten di platform kami pekan ini menunjukkan hal itu,” kata Pappas.
Di Indonesia, media sosial juga menjadi bahan menyampaikan aspirasi dan kritik kepada pemerintah, seperti demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR, September 2019. Sejumlah demonstran menulis ”Entah Apa yang Merasukimu DPR” di papan yang mereka usung, mengikuti lagu ”Salah Apa Aku” yang tren di TikTok.
Ekspresi itu biasanya menyenangkan. Namun, komunitas kami sedang melewati masa yang penuh derita dan kemarahan. Konten di platform kami pekan ini menunjukkan hal itu.
Mahasiswa kala itu menolak Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Komisi Pemberantasan Korupsi, RUU Pertanahan, dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Aksi ini merambat ke sejumlah daerah di Indonesia.
Menciptakan kerumunan
Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga dan Internasional Dewan Pers sekaligus pengamat media sosial Agus Sudibyo mengatakan, media sosial pada hakikatnya merupakan campuran antara ruang privat dan publik. Dalam beragam konteks, media sosial bisa didesain untuk menciptakan kerumunan, termasuk untuk kampanye politik.
”Pengumpulan massa politik dengan internet bukan hal baru dan ini dilakukan di beberapa negara. Istilahnya ialah propaganda komputasional. Artinya, media sosial dapat berfungsi untuk melakukan kampanye dan propaganda. Apa yang dialami Trump pun termasuk dalam kampanye,” kata Agus saat dihubungi, Senin (22/6/2020).
Media sosial berfungsi mengamplifikasi pesan kampanye agar tersebar luas dan cepat. Untuk itu, diperlukan kerja dari mesin robot dan manusia. Agus menambahkan, propaganda komputasional dilakukan secara lintas negara.
Kendati demikian, media sosial juga bisa menjadi media menghimpun suara massa untuk isu universal, seperti perubahan iklim dan kesetaraan. Untuk mencapai tujuan universal itu, pengguna media sosial harus menggunakan etika bermedia sosial yang baik dan benar.
”Bicaralah sesuai fakta. Jangan menghakimi dan langsung melompat ke kesimpulan. Ketika berbicara di ruang publik, semua orang bertanggung jawab untuk beretika. Kebebasan berpendapat kita dibatasi oleh hak orang lain,” ucap Agus.