Jalan Terang Museum
Pandemi Covid-19 menyuburkan ranah pameran seni secara virtual. Ini jalan terang bagi museum-museum untuk membongkar koleksi artefaknya, lalu menyuguhkan kepada khalayak.
Pandemi Covid-19 menyuburkan ranah pameran seni secara virtual. Ini jalan terang bagi museum-museum untuk membongkar koleksi artefaknya, lalu menyuguhkan kepada khalayak.
Pada dasarnya, fungsi museum adalah untuk memamerkan sesuatu. Jadinya, ini mirip-miriplah dengan pameran seni.
Lagi pula, selama ini bukan pekerjaan mudah untuk mengiming-imingi publik agar mau singgah ke museum. Sebagian publik harus berpikir panjang atau justru seketika itu menolak ketika ditawari untuk singgah ke museum.
Dalam hal ini, museum bisa menempuh hal sama dengan pameran-pameran seni. Pameran seni virtual merebak di tengah pandemi virus korona jenis baru ini. Bahkan, pada perkembangan seni rupa kontemporer, materi yang disajikan bisa sama dengan koleksi museum.
Pameran seni rupa kontemporer kadang menyuguhkan artefak masa lampau layaknya sebuah museum, disertai pemaknaan kekinian. Ambil contoh, dipamerkannya sebuah mumi atau jasad tubuh manusia mati yang diawetkan selama ribuan tahun.
Baca juga : Tak Perlu Khawatir Berkunjung ke Museum
Tidaklah salah kemudian jika museum menempatkan diri seperti pameran seni rupa kontemporer. Pameran virtual menjadi jalan terang bagi museum.
Mikke Susanto, dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, memetik hikmah pandemi tersebut. Pada sepanjang bulan ini, 1-30 Juni 2020, Mikke menjadi kurator Pameran Bung Karno: Budaya/Seni untuk Museum Kepresidenan Republik Indonesia Balai Kirti di Istana Kepresidenan Bogor.
Dia memilih 30 koleksi foto dengan kenangan sejarah Presiden Soekarno yang mengakrabi seni rupa. Kemudian, ditampilkan 15 karya seni di antaranya sebagai karya para seniman Basoeki Abdullah, Dullah, Lee Mang Fong, Srihadi Soedarsono, Dukut Hendronoto, F Sigit Santoso, Galam Zulkifli, Galuh Tajimalela, Maspoor Ponorogo, dan pelukis kaca Rina Kurniyati.
”Untuk menjadi kurator pameran sekarang harus dilandasi pengetahuan ragam virtual,” ujar Mikke ketika dihubungi di Yogyakarta, Rabu (17/6/2020).
Jatuhlah pilihan pameran virtual Museum Balai Kirti dalam rangka ”Bulan Soekarno” ini di media sosial Instagram. Alasan Mikke, selain mudah, Instagram juga menjadi aplikasi media sosial paling banyak digandrungi anak muda sekarang.
Kontekstual
Sebuah poster bergambar wajah Soekarno, karya Srihadi Soedarsono di era revolusi fisik kemerdekaan, turut dipajang. Poster itu dibuat atas pesanan Tim Penerangan Tentara Divisi IV Solo kepada Srihadi menjelang perundingan Linggarjati tahun 1946.
”Untuk pameran ini, saya berhasil mewawancarai Srihadi Soedarsono yang membuat poster ini pada tahun 1946. Ingatan Soedarsono luar biasa,” kata Mikke, yang mewawancarainya pada 14 Juni 2020.
Srihadi Soedarsono menyebutkan, poster tersebut dikerjakan dengan teknik sablon. Ia menggambarnya di atas kertas karton, kemudian menggunting gambaran itu untuk pola cetakan sablon di kertas lainnya.
Srihadi menggunakan semua bahan yang sudah disediakan. Cat kaleng warna merah dan hitam kemudian dicampurkan untuk mendapatkan warna coklat. Cat ditorehkan dengan kuas tumpul ke pola cetakannya.
Baca juga : Perpustakaan Nasional Terima Pengunjung Lagi
Srihadi, dibantu dua orang lainnya, berhasil mencetak poster itu lebih dari satu rim kertas atau lebih dari 500 lembar. Kemudian poster itu menyebar, terutama di kota-kota di Jawa Tengah.
Pada poster itu semula ada kutipan ”Hindarkanlah Perang Saudara”. Menurut Srihadi, kata ”Perang Saudara” dinilai terlampau provokatif sehingga saat itu kemudian diubah dengan kata ”Perselisihan”.
Tentang hasil pembuatan poster itu, Srihadi mengatakan tidak terpikir bisa menyimpannya. Ketika itu pecah perang kemerdekaan kedua, tentara NICA masuk Kota Solo.
Sebelum NICA memasuki Kota Solo, gedung yang digunakan Tentara Divisi IV Solo terlebih dahulu dibumihanguskan rata dengan tanah. Semua peralatan serta dokumen habis tidak tersisa.
”Untung produksi pertama sempat difoto,” ujar Srihadi.
Foto poster hasil produksi pertama ini yang kemudian dipamerkan untuk Museum Balai Kirti sekarang. Di foto itu masih tertera kata ”Hindarkanlah Perang Saudara”.
Mikke menanyakan pula, mengapa di dalam poster perjuangan itu ada gambar Soekarno. Srihadi menjawab, itu adalah perintah. Ada makna kontekstual di balik koleksi ini. Peristiwa apa pun yang terjadi pada bangsa ini, ”Hindarkanlah perang saudara”, seperti termaktub di poster itu.
Hal lain disampaikan Mikke tentang pilihan gambar Soekarno pada poster buatan Srihadi tahun 1946 itu. Soekarno kemudian tumbuh menjadi patron seni.
Baca juga : Wajah Museum Perlu Dikemas Lebih Segar
”Bahkan sampai sekarang, kenangan presiden yang paling banyak dipajang foto atau lukisannya oleh rakyat adalah figur Soekarno,” ujar Mikke.
Sisi humanis
Pesan pameran ini, menurut Mikke, tentang Soekarno sebagai patron seni sekaligus figur presiden yang menampakkan sisi humanis melalui kecintaannya terhadap karya seni. Mikke kemudian memperlihatkan foto Soekarno di Istana Merdeka sekitar tahun 1950.
Soekarno seperti hendak bersimpuh di lantai ketika bersama Dullah menelaah sebuah lukisan karya Basoeki Abdullah yang kebetulan sedang ditaruh tegak di lantai. Lukisan itu tentang perkelahian Jatayu melawan Rahwana yang menculik Shinta.
Baca juga: Museum Masih Dijauhi Generasi Muda
Mikke menggambarkan Soekarno yang tak segan-segan dengan posisi tubuh merendah sebagai sisi humanisnya. Kala itu Soekarno tanpa mengenakan peci pula seperti kebiasaannya.
”Seperti figur Diponegoro yang selama ini dikenal lewat gambar yang bersurban. Begitu pula, Soekarno selalu dikenal mengenakan peci,” ujar Mikke.
Dari sisi humanis, kita bisa melihat sosok Soekarno sebagai pahlawan dan juga sebagai manusia. Ada kelebihan, ada kekurangannya pula.
Mikke juga memilih patung diri Soekarno karya Isamu Noguchi, pematung Amerika Serikat yang berdarah Jepang. Karya patung buatan tahun 1950 ini menarik karena Isamu sendiri merasa gagal dalam menghadirkan imaji Soekarno lewat patungnya itu.
Disertakan koleksi foto proses Isamu mematung di hadapan model Soekarno. Dari foto itu memang terlihat beda antara patung yang dibuat Isamu dan modelnya, Soekarno. Tetapi, di situ terlihat wajah Soekarno yang terus berbinar ceria.
”Soekarno memandang karya patung itu sebagai ekspresi seniman yang tidak harus betul-betul mirip dengannya,” ujar Mikke, yang menyebut pula ini sebagai sisi humanis Soekarno terhadap ekspresi seni.
Karya seni lain, sebuah lukisan karya Galuh Tajimalela ditampilkan. Ini karya baru pada tahun 2020 ini. Galuh meraih konteks di masa pandemi Covid-19. Ia melukis foto Presiden Soekarno dengan mulut tertutup masker.
Soekarno memandang karya patung itu sebagai ekspresi seniman yang tidak harus betul-betul mirip dengannya.
Karya berikutnya, lukisan dengan teknik iluminasi karya Galam Zulkifli tahun 2014 menggambarkan figur enam presiden RI. Dengan teknik iluminasi itu, citra gambar yang diperoleh membentuk citra ganda.
Galam menggunakan pigmen fluoresen. Ketika lukisan tersebut berada di ruang gelap, akan tampak warna-warni cat menyala dan menggambarkan peta kepulauan Indonesia serta teks Bhinneka Tunggal Ika.
Karya-karya seni selebihnya tentu tidak kalah menarik. Di sinilah pameran virtual Museum Kepresidenan RI Balai Kirti sudah menempuh jalan terang akibat pandemi Covid-19.