Pandemi Covid-19 bahkan mengubah cara orang beramal dan menjalankan program filantropi.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 mengubah tren kegiatan derma dan filantropi. Penggalangan dana kini lebih banyak dilakukan di ruang-ruang virtual. Program-program filantropi yang terstruktur dan jangka panjang mau tidak mau juga dilakukan secara virtual.
Tren baru kegiatan derma dan filantropi dibaca oleh Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin dan Direktur Komunikasi Tanoto Foundation Haviez Gautama. Mereka berbicara kepada Kompas secara terpisah.
Hamid melihat, sebelum pandemi, kegiatan filantropi bersifat langsung melalui tatap muka, pertemuan, dan presentasi antara pemberi bantuan dan penerima bantuan. Selain itu, kegiatan filantropi banyak melibatkan platform media massa.
”Tetapi, Covid-19 mengubah semuanya karena ada larangan bertemu (secara fisik). Platform digital seperti crowdfunding seperi BenihBaik.com dan Kitabisa.comkini juga menjadi pilihan masyarakat untuk berdonasi dan bertemu di dunia maya,” tutur Hamid, Rabu (17/6/2020).
Menurut dia, keberadaan platform seperti itu membangkitkan solidaritas bukan hanya dari yayasan pemberi bantuan, melainkan juga dari komunitas-komunitas akar rumput di masyarakat. Berbagai inisiatif dari kalangan akar rumput pun tumbuh pesat, misalnya kemunculan Lumbung Pangan untuk mereka yang terdampak pandemi.
Covid19filantropi.id, hingga Rabu (17/6/2020), mencatat 470 inisiatif dan 314 penggalangan bantuan untuk penanggulangan Covid-19 yang melibatkan 416 lembaga/komunitas. Sementara itu, jumlah dana yang terkumpul telah mencapai Rp 702 miliar.
”Tren menarik lainnya yang muncul adalah peran influencer yang tidak mewakili lembaga. Mereka mampu menggalang donasi dari masyarakat. Contohnya adalah almarhum penyanyi campursari Didi Kempot yang menggelar Konser Amal dari Rumah bersama Kompas TV,” tuturnya.
Charities Aid Foundation dalam World Giving Index pada 2019 menyebutkan, Indonesia menduduki posisi kesepuluh sebagai negara paling dermawan di dunia selama 10 tahun terakhir. Indonesia tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan skor terbaik, yakni 50 persen, beda sedikit dengan Amerika Serikat di peringkat pertama dengan skor 58 persen.
Secara terpisah, Direktur Komunikasi Tanoto Foundation Haviez Gautama berpendapat, konsep beramal di Indonesia sudah bagus. Ini bisa dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, yakni filantropi. Filantropi merupakan konsep yang sudah lama muncul di AS dan berkembang di Asia, termasuk Indonesia 10-15 tahun terakhir. Berbeda dengan kegiatan amal yang bersifat insidental, filantropi biasanya bersifat jangka panjang sehingga menuntut komitmen filantrop sebagai sumber dana. Selain itu, filantropi memiliki program terstruktur dan dampak lebih luas.
Menurut Haviez, di masa pandemi seperti ini yang perlu diwaspadai adalah adanya tren penurunan bantuan dana dari lembaga filantropi. Hal ini mungkin terjadi lantaran kegiatan usaha pemilik lembaga filantropi juga terdampak pandemi.
Mengutip riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Haviez menjelaskan, pandemi Covid-19 berdampak terhadap penghimpunan dana di lembaga sosial. Menurut dia, jumlah pengumpulan dana bisa turun sebanyak 20-25 persen.
Ketika dana filantropi turun atau setidaknya tetap, orang yang membutuhkan bantuan justru melonjak akibat pandemi. ”Jadi potongan kue yang dibagikan ke masing-masing penerima berpotensi mengecil,” ujar Haviez dalam KompasTalk, Selasa (16/6/2010), bertema ”Filantropi di Era Normal Baru, Apa yang Baru?”.
Perubahan pendekatan
Tren lainnya, lanjut Haviez, lembaga filantropi tampak beradaptasi dengan pandemi ini. Apabila sebelumnya mereka memiliki program jangka panjang, sebagian lembaga filantropi menyalurkan dana bantuan untuk membantu penanganan pandemi. Hal ini wajar karena memang kebutuhan untuk menangani pandemi dan dampaknya sangat nyata.
Tanoto Foundation yang fokus pada pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui program penurunan angka stunting dan pendidikan, lanjut Haviez, saat pandemi terjadi juga mesti ikut turun tangan. Tanoto Foundation berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyumbangkan 1 juta masker, 1 juta sarung tangan, 100.000 alat pelindung diri, dan 3.000 google atau kacamata pelindung. Meskipun tidak mudah akibat pembatasan lalu lintas udara dan mobilitas manusia, bantuan-bantuan ini akhirnya bisa didatangkan dari Nanchang, China, menggunakan pesawat sewaan.
”Tidak mudah untuk menyalurkan bantuan tersebut. Kami lalu berkoordinasi dengan pemerintah dan rumah sakit untuk mendistribusikan bantuan seperti ke Jakarta, Medan, dan Pekanbaru,” kata Haviez.
Ia menjelaskan, pandemi ini juga mengubah pendekatan Tanoto Foundation dalam mengimplementasikan program-program jangka panjangnya. Seleksi pemberian beasiswa dilakukan secara daring, begitu pula program pelatihan pendidik dari berbagai sekolah di lima provinsi dan 30 kabupaten di Indonesia.
”Formatnya macam-macam. Ada platform untuk konferensi, meeting, atau broadcast. Pelatihan kepemimpinan anak muda bisa dilakukan seperti sesi Instagram Live,” ujarnya.
Program-program jangka panjang itu, lanjut Haviez, tidak boleh berhenti ketika semua pihak memfokuskan perhatian pada penanganan pandemi. ”Program untuk mengurangi stunting, misalnya, itu program silent, yang hasilnya terlihat belakangan. Tapi, kalau dilupakan, berapa juta anak yang akan stunting,” ujar Haviez.