Mosaik Kain Goni Kho
Pandemi Covid-19 memberi hikmah. Ingatan masa lalu perupa Antonius Kho (62) selama studi dan berkarya di Jerman kembali terpanggil.
Pandemi Covid-19 memberi hikmah. Ingatan masa lalu perupa Antonius Kho (62) selama studi dan berkarya di Jerman kembali terpanggil. Lalu, meluncurlah karya-karya lukisan mosaik kain goni yang terinspirasi dari teknik ”glass painting” yang ditekuninya selama berada di Jerman.
Pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, yang kini menetap di Ubud, Bali, ini berdamai dengan Covid-19 yang mewabah. Covid-19 membuatnya kian produktif dan memberi hikmah dengan panggilan masa lalunya.
Sebelum pandemi ini, semangat melukis didapatinya hanya di pagi hari. Ia biasanya melukis hanya satu atau dua jam. Ketika ada pandemi Covid-19, durasi melukis di pagi hari itu terus merambat hingga siang, bahkan sore hari. Kho melukis dan merenung. Akhirnya, itu menggali kenangan di masa studinya di Academy of Fine Art, FH Cologne, Cologne, Jerman, 1985 sampai 1991.
Waktu itu Kho memilih jurusan studi Glass Painting. Istilah glass painting itu akan lebih pas disepadankan pada melukis dengan kaca, bukan melukis di kaca.
Melukis dengan kaca itu menggunakan potongan-potongan kaca yang selama di Jerman bisa diberi warna sendiri sesuai selera. Warnanya lebur di dalam kaca, bukan hanya di permukaan kaca. Kemudian potongan-potongan kaca penuh warna sesuai kreasi dan selera seni sendiri itulah yang digunakan untuk membentuk sebuah karya lukisan.
Beda dengan teknik atau gaya melukis di kaca. Melukis di kaca memanfaatkan kaca sebagai media untuk melukis. Tekniknya menggunakan cara melukis terbalik. Pola ini banyak diterapkan di beberapa tempat di Indonesia.
”Di Jerman memungkinkan untuk membentuk kaca dan mewarnai kaca itu sendiri. Saya belum bisa menemui teknik seperti itu di sini,” ujar Kho ketika dihubungi di Ubud, Rabu (10/6/2020).
Baca juga : Tetes Embun Pekerja Seni
Kho kadang ingin melukis dengan kaca di Ubud. Namun, Kho harus membeli kaca-kaca yang sudah berwarna. Sering kali selera warna kaca yang diinginkan berbeda dengan yang diperolehnya di pasaran. Niat itu pun sering urung terjadi.
Di masa pandemi Covid-19 sekarang ini hasrat itu kembali membuncah. Kho tidak bisa membendungnya. Ia menyadari tak bisa mewujudkannya dengan mudah. Lalu, ia mengalihkan dengan media kain goni. Kain goni dikolase seperti menyusun potongan kaca untuk membentuk lukisan.
Dipamerkan
Karya Kho dari kenangan masa lalunya itu akan dipamerkan di Bene Biennale yang bakal berlangsung di Benevento, Italia, 25-31 Agustus 2020.
Karya mosaik kain goni yang diserahkan Kho kepada penyelenggara Bene Biennale itu ternyata menarik perhatian seorang kurator asal Inggris, Lily Furstenow. Lily kemudian menghubungi Kho di Bali dan mengundangnya memamerkan karya serupa lain bersama perupa dari negara lain.
”Karya lukisan saya untuk Bene Biennale itu hanya diperbolehkan satu. Karena itulah kurator asal Inggris ingin memamerkan karya serupa lain secara terpisah,” ujar Kho, yang juga pernah belajar melukis dari maestro Barli di Bandung sekitar 1977 itu.
Baca juga : Seni I Wayan Suja yang Membumi
Lily membuat pameran secara daring. Platform yang dipakai berupa sebuah blog E-Merging Artists, bukan platform lain, seperti Youtube atau situs web. Di situ terlihat semangat kesederhanaan. Ada kesahajaan untuk memanfaatkan teknologi blog yang sudah ada dan kini mulai dilupakan itu.
Kurator Lily melalui pameran itu menajamkan analisis para perupa terhadap krisis yang tercipta selama pandemi Covid-19. Kho satu-satunya perupa asal Indonesia dan berhasil menyuguhkan apa yang dimaui kurator Lily.
Nama-nama selain Kho di pameran daring itu adalah Dag Przybilla, Claudio Parentela, Pati Kakhniashvili, Eriko Yamazaki, Olaf Schirm, Ute Faber, Ia Kochinashvili, dan Zazulete. Mereka perupa asal Jerman, Italia, Spanyol, dan Jepang.
Kho memang berada dalam jejaring para perupa dunia. Ia pernah meraih penghargaan bergengsi 1st Prize ”Mask in Venice” di Italia dan ”Malen auf Liegestuehien” di Jerman. Kho juga dikenal lewat karya-karya bersama pembimbingnya di Jerman, Prof Schaffmeister dan M Brinkhaus.
Karya itu bukan hanya untuk kepentingan studi, Kho juga banyak dilibatkan untuk pekerjaan-pekerjaan glass painting di Jerman. Karya banyak digunakan untuk bangunan gereja. Di Indonesia, karya serupa banyak ditemui pula di bangunan-bangunan gereja. Di sini kita mengenalnya sebagai seni patri kaca.
”Kunci keindahan teknik glass painting pada pembiasan sinar matahari yang menembus kaca-kaca berwarna itu,” ujar Kho.
Garis
Garis adalah kekuatan dan wujud ketegasan sikap. Mosaik memancarkan pesona-pesona itu. Ini mewakili pernyataan sikap Kho, manifesto Kho, melalui karya-karya mosaik kain goninya.
Simak karya seri lukisan bertemakan ”Social Distancing” karya Kho dengan media campuran di atas kanvas berukuran 135 sentimeter kali 135 sentimeter yang akan dihadirkan di Bene Biennale nanti. Di situ Kho melukis wajah-wajah perempuan dan laki-laki dewasa sedang terpana.
Wajah-wajah mereka seperti tersusun dari serpihan. Garis-garis hitam menjadi pembatas tegas di antara serpihan-serpihan itu. Lalu, Kho memberi kejutan untuk figur-figur di bagian atas dengan sentuhan teknik kolase kain goni.
Tak terelakkan pesona magis gadis korona karya Kho itu kuat mencuat.
Kain-kain goni sebagai serpihan. Kain-kain itu ditempelkan dan menjadi mosaik pada figur wajah. Tersirat imaji magis di situ.
Melalui karya berjudul ”Corona Girl” dengan media campuran di atas kanvas berukuran 50 sentimeter kali 40 sentimeter, pesona imaji magis kuat menyeruak dari figur wajah seorang gadis. Sekujur tubuh dipenuhi garis putih yang membatasi rongga. Di rongga-rongga itu terisi potongan kain goni.
Wajah gadis sepenuhnya dibentuk dari kolase kain goni. Mulutnya menganga terbuka. Kho menorehkan warna hitam pekat untuk rongga mulutnya yang terbuka itu. Selain itu, seperti yang dilakukan perupa almarhum Jeihan, Kho menorehkan mata hitam.
Tak terelakkan pesona magis gadis korona karya Kho itu kuat mencuat. Ketakutan dan kepanikan masyarakat dalam menghadapi wabah korona terefleksi di sini.
Karya-karya mosaik kain goni lainnya yang diberi judul ”Spreading Love” tak kalah magis. Kho memainkan kain goni berwarna kecoklatan itu sebagai kulit tubuh manusia. Namun, ia memotong-motong dan menempelkan untuk membentuk kulit tubuh manusia yang menyerpih. Kerapuhan manusia tebersit dengan lugas.
Manusia seantero bumi kini terlihat begitu rapuh. Virus korona membungkam kepongahan manusia selama ini. Kho pun bersaksi lewat karya lukisan mosaik kain goninya itu.