Jam Kerja di Kantor Tidak Harus Sama
Pandemi Covid-19 memaksa warga mencari solusi atas persoalan yang dihadapinya. Kepadatan lalu lintas yang terjadi setiap pagi dan sore semestinya dapat dihindari dengan mengelola jam kerja menjadi lebih luwes.
Pandemi Covid-19 ini mengajari kita untuk mengatur pola kerja. Pengaturan ini utamanya untuk menjaga jarak antarwarga agar terhindar dari risiko penularan virus korona baru. Langkah ini sekaligus juga berimplikasi pada berkurangya kemacetan lalu lintas kendaraan. Namun, mengatur pola kerja ini ternyata tidak mudah meskipun aturan ke arah sana sudah ada.
Meskipun Pemprov DKI sudah mengaturnya, kepadatan tetap terjadi di banyak tempat pada Senin (8/6/2020) hingga Jumat (12/6/2020). Kepadatan penumpang itu terjadi hampir di semua stasiun kereta rel listrik (KRL) di wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Tempat-tempat itu merupakan titik pemberangkatan pekerja ke Jakarta. Foto halaman depan harian Kompas pada Selasa (9/6/2020) memuat antrean panjang penumpang KRL di Stasiun Bogor yang terjadi Senin (8/6/2020).
Kepadatan warga ini memunculkan kekhawatiran karena pandemi belum reda, bahkan angka penambahan kasus menembus angka di atas 1.000 per hari. Hal ini wajar, posisi antarwarga nyaris tidak bisa dijaga pada jarak ideal minimal 1 meter.
Agus Rahmat (35), warga Citayam, Kota Depok, Jawa Barat, tidak berani naik KRL meski sehari sebelumnya menggunakan moda angkutan itu. Senin lalu, dia menggunakan KRL dari Stasiun Citayam menuju Jakarta. Setelah merasakan desak-desakan dengan penumpang lain, dia tidak mau mengulangi lagi.
”Saya tidak naik KRL karena faktor keamanan saja. Kalau memaksakan diri, kita seperti bertaruh dengan virus,” kata Agus kepada Kompas. Agus rela menghabiskan waktu lebih lama di jalanan demi menghindari kerumunan. Dia dan istrinya yang juga pekerja di Jakarta menggunakan kendaraan sendiri ke tempat kerja. Dengan cara ini, dia merasa lebih tenang.
Baca juga : Pembagian Jam Kerja bagi Pekerja Disiapkan guna Mengurangi Penumpukan Penumpang
Senin lalu, merupakan hari pertama masuk kerja setelah masa transisi diberlakukan sejak 5 Juni. Pada hari itu, ada penambahan kapasitas angkutan publik, misalnya KRL, dari 60 persen menjadi 70 persen. Warga yang selama dua bulan lebih mengisolasi diri di lingkungan perumahan mulai kerja kembali. Meski tidak semuanya masuk, kepadatan masih terjadi di ruang publik dan angkutan umum.
Pola lama
Di hari itu pula, tampak pola kerja warga masih pola lama, mengejar jam masuk kantor pukul 09.00 dan pulang pukul 18.00. Pola ini tergambar pada puncak kepadatan lalu lintas di laman tomtom.com pada Senin (8/6/2020) terjadi pukul 08.00. Pada laman itu tercatat puncak kepadatan lalu lintas meningkat 20 persen dibandingkan pada situasi normal. Puncak kepadatan ini terjadi pada jam yang sama, setidaknya tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. Artinya, pola aktivitas warga menuju tempat kerjanya di pagi hari hampir tidak berubah, baik pada masa transisi menuju normal baru maupun pada masa sebelum pandemi.
Begitu pun dengan jam pulang kerja. Pada Senin (8/6/2020), puncak kepadatan lalu lintas kendaraan pada sore hari terjadi pada pukul 18.00 dengan peningkatan kepadatan 47 persen dibandingkan situasi rata-rata harian. Tren serupa terjadi pada Selasa (9/6/2020) hingga Rabu (10/6/2020). Bahkan, tren tiga hari itu, sama polanya dengan data tahun lalu.
”Informasi yang saya himpun ada kemiripan (dengan data tomtom.com). Ada tren yang sama puncak kepadatan penumpang KRL di saat jam berangkat dan pulang kerja di hari Senin,” kata Djoko Setijowarno, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Pusat.
Baca juga : Masa Transisi, Kepadatan Lalu Lintas di Tol Dalam Kota Meningkat
Pengamatan Djoko, pengaturan jam kerja belum efektif pada tataran praktik. Padahal ada sejumlah aturan pendukung yang menuntut adanya perubahan pola kerja pada masa transisi ke normal baru. Perubahan pola kerja ini dibutuhkan untuk menghindari risiko penularan virus saat terjadi kepadatan warga di angkutan umum, ruang publik, dan perkantoran.
Sebagian karyawan tidak bisa menerapkan kerja dari rumah karena tanggung jawab pekerjaan. Dono (38), misalnya, memilih tetap masuk kerja karena infrastruktur kantornya belum memungkinkan untuk bekerja dari rumah.
”Kebetulan di departemen saya belum bisa melaksanakan sistem kerja sif. Sementara di departemen lain sudah bisa menerapkan. Saya memilih untuk tetap masuk seperti biasa,” kata senior accounting perusahaan asing di Jakarta.
Kondisi yang dialami Dono mewakili sebagian yang lain pekerja di Jakarta. Di sektor informal, pedagang di pasar-pasar memilih bekerja karena desakan kebutuhan hidup. Interaksi dengan warga pada jarak fisik yang tidak ideal terpaksa terjadi. Saat masa pembatasan sosial berskala besar transisi, aktivitas di pasar tradisional malah meningkat. Mengutip data dari Ikatan Pedagang Pasar Indonesia, terdapat lebih dari 400 pedagang di 93 pasar tradisional di Indonesia yang tertular Covid-19, Kompas, Sabtu (13/6/2020).
Baca juga : Pembatasan Pergerakan Orang Meluas ke Daerah Tetangga DKI
Belum berdampak
Aturan tentang pola kerja baru di antaranya tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Skala Besar pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat dan Produktif. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 13: penanggung jawab tempat kerja wajib menerapkan batasan kapasitas jumlah orang paling banyak 50 persen berada dalam tempat kerja dalam waktu yang bersamaan, memberlakukan pengaturan hari kerja, jam kerja, sif kerja dan sistem kerja baru.
Lebih detail, ketentuan itu dijelaskan dalam Surat Edaran Sekretaris Daerah Nomor 38 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemprov DKI Jakarta pada Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif. Dalam aturan ini, jam kerja pegawai Senin hingga Kamis terdiri dari dua sif kerja.
Bagian pertama, pegawai masuk pukul 07.00 dan pulang pukul 15.30 (dengan waktu istirahat pukul 11.30 sampai dengan 12.30 WIB). Sebagian lagi masuk mulai pukul 09.00 hingga 17.30 (waktu istirahat pukul 13.00 sampai dengan 14.00 WIB). Selanjutnya, pada hari Jumat sebagian PNS masuk pukul 7.00 hingga 16.00 (waktu istirahat 11.30 sampai 13.00 WIB). Sif kedua masuk pada pukul 09.00 hingga 18.00 WIB.
”Aturan itu bagus semangatnya, tetapi belum efektif diterapkan. Mestinya ada aturan yang lebih kuat dari pemerintah pusat. Karena yang diatur banyak sektor,” kata Djoko. Meski belum terwujud, ia mengapresiasi terbitnya aturan itu. Djoko berharap pemerintah pusat memperkuat aturan serupa sehingga berdampak lebih besar.
Dari data Badan Kepegawaian Daerah DKI Jakarta, jumlah ASN di Pemprov DKI 64.409 (per Maret 2019). Jumlah ini hanya 1 persen persen dari 5,17 pekerja di Jakarta. Mereka terdiri dari 3,5 juta pekerja formal dan 1,6 juta pekerja sektor informal (data Badan Pusat Statistik 2020).
Seharusnya, jika aturan pola kerja baru itu benar-benar diterapkan secara massif, ada pemerataan jam kepadatan lalu lintas kendaraan. Harapannya kemacetan terurai sehingga mobilitas warga semakin cepat di Ibu Kota. ”Sayangnya, tidak semua kantor memberlakukan perubahan pola kerja,” kata Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo.
Sebenarnya, pemerintah pusat mengatur hal serupa di Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 58 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur. Dalam ketentuan itu disebutkan tentang keluwesan pola kerja selama pandemi Covid-19. Namun, dalam pelaksanaan penyesuaian sistem kerja ASN itu diatur lebih lanjut oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK) masing-masing.
”Surat menteri itu sifatnya umum, yang lebih detail di pimpinan kerja kami. Kami mengikuti pola kerja yang lebih luwes. Tidak semua pegawai masuk kantor,” kata Edi.
Negara lain
Gagasan bekerja dengan waktu yang lebih luwes semakin menguat di banyak negara. Selandia Baru, negara yang berhasil menurunkan tingkat penularan virus korona, mengumumkan rencana bekerja dalam empat hari selama sepekan. Rencana ini disampaikan Perdana Menteri Jacinda Ardern sebagaimana dilansir theguardian.com pada 19 Mei 2020.
Menurut Ardern, dalam abcnews.go.com, Kamis (21/6/2020), pelajaran penting yang dapat dipetik dari pandemi ini adalah keluwesan orang dalam bekerja. Dia meyakini bekerja empat hari dalam sepekan di tempat kerja akan membantu sektor pariwisata kembali hidup.
Sejalan dengan itu, perusahaan dunia juga menerapkan hal serupa. Ulasan bbc.com Jumat (22/6/2020), perusahaan raksasa Amerika Serikat, Amazon, memberi karyawan pilihan untuk bekerja dari rumah hingga setidaknya Oktober. Sementara perusahaan multinasional asal Inggris, Barclays, mempekerjakan 70.000 anggota stafnya dari rumah. ”Penggunaan kantor mungkin sudah ketinggalan zaman,” kata Pemimpin Barclays Jes Staley.
Begitu pun dengan Facebook, perusahaan ini mengalihkan pekerjaan dari kantor ke rumah karyawannya hingga akhir 2020. Langkah ini sebagai bagian dari perubahan jangka panjang ke perubahan pola kerja yang lebih jauh.
Baca juga : Pelaju Menyiasati Kepadatan Penumpang
Gagasan serupa dirilis lembaga penelitian CSIS (Centre for Strategic and International Studies) di laman csis.or.id mengenai tren pola kerja saat pandemi. Mengutip Global Workplace Analytics menyatakan bahwa 37 persen dari pekerja yang diteliti menginginkan bekerja dari rumah karena alasan perlunya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, meningkatkan produktivitas, mengurangi stres dan menghindari perjalanan ke kantor.
Bahkan 20-34 persen responden bersedia jika untuk itu gajinya harus dipotong antara 5 sampai 10 persen. Medelina K Hendytio Wakil Direktur Eksekutif CSIS Indonesia menyimpulkan, pekerjaan berbasis teknologi, digital dapat dikerjakan dari rumah dengan jadwal kerja yang fleksibel.
Tren ini menarik perhatian Marshall Pribadi, CEO Privy.id, perusahaan penyedia layanan jasa tanda tangan elektronik dan identitas digital. Ia menyoroti pemanfaatan ruang kerja, waktu, dan akses ke kantor. Menurut Marshall, tidak relevan lagi saat ini bekerja dalam waktu yang sama dari pukul 09.00-17.00. Ia lebih mementingkan menjaga produktivitas dan kualitas pekerja. ”Hal itu tidak bisa diukur dari absen di kantor,” kata Marshall.
Gedung-gedung perkantoran di Jakarta, misalnya, dibangun dengan biaya besar di lokasi strategis, tetapi lebih banyak dipakai dari pukul 09.00 hingga pukul 17.00. Artinya, lebih banyak waktu di gedung-gedung itu yang kosong di hari-hari kerja sekalipun. Marshall membayangkan, efektivitas kerja akan tercapai seandainya bekerja tidak tersekat oleh waktu yang sama dan bekerja di tempat yang sama. Bagaimana menurut Anda?