Berbeda, tetapi Sarat Makna
Lebaran tahun ini jatuh pada masa pandemi Covid-19. Banyak keriaan Lebaran terpaksa hilang. Meski berbeda dan lebih sederhana, Lebaran tahun ini justru terasa semakin bermakna.
Lebaran tahun ini jatuh pada masa pandemi Covid-19. Banyak keriaan Lebaran terpaksa hilang. Meski berbeda dan lebih sederhana, Lebaran tahun ini justru terasa semakin bermakna.
Udara hangat menjelang musim panas di daratan dekat Laut Utara tak mencairkan rindu Nina Evayanti (32) kepada orangtua dan suasana Lebaran yang meriah di kampung halaman. Akibat pandemi, rencana berkumpul dan menyantap hidangan khas hari raya buatan ibunya pun sirna. Hal itu terjadi lantaran perbatasan keluar-masuk Norwegia, tempat Nina tinggal kini, ditutup.
Di apartemen minimalis yang didominasi warna putih tempat ia tinggal, Sabtu (23/5/2020) siang, Nina sibuk meracik menu peluruh rindu. Santan menggelegak dari panci isi opor ayam bersebelahan dengan wajan olahan sambal goreng kentang. Sembari menata beberapa wadah di atas meja makan, pikirannya terbang melintas benua sampai ke Jakarta.
”Biasanya sehari sebelum Lebaran begini, Mama sudah sibuk masak dan gue ikut bantuin. Menunya, ya, ini opor ayam, sambal goreng kentang, ketupat. Sekarang bikin juga, tapi cuma buat gue doang. Enggak ada tamu juga, kan. Sekalian jadi obat kangen ke Mama yang batal datang ke sini,” ungkap Nina yang bekerja di Norwegia sejak dua tahun lalu. Baru kali ini dia memutuskan memasak sendiri saat Lebaran, berbekal resep kiriman sang ibu.
Baca juga: Silaturahmi Digital Saat Idul Fitri, Pererat Koneksi di Tengah Pandemi
Meja makan yang tadinya kosong pun terisi dengan kreasi masakannya untuk menyambut Lebaran. Tak sebanding memang dengan bayangan isi meja makan di rumah orangtuanya. Apalagi biasanya juga ada kehangatan dari obrolan meriah bersama ayah, ibu, dan adik laki-lakinya di malam takbiran.
”Tapi biar tetap berasa Lebaran-lah, ya,” ujar Nina yang menunggu-nunggu saat bermaaf-maafan dengan orangtuanya melalui panggilan video.
Di Depok, Jawa Barat, seusai shalat Id bersama keluarga di rumah, Minggu (24/5), praktisi periklanan Dhany Virdian (43) menggelar silaturahmi daring lewat aplikasi Google Meet.
Sehari sebelumnya, ia sudah mempersiapkan agenda silaturahmi itu matang-matang. Dia mengontak satu per satu anggota keluarganya, mengajari cara menggunakan aplikasi itu, terutama anggota keluarga yang sudah berusia lanjut dan awam teknologi. Dia ingin silaturahmi virtual sukses.
Tak lama, layar komputer di depan Dhany riuh oleh kehadiran sanak saudara. Wajah mereka muncul satu per satu dengan tawa riang dan tatap mata rindu membuncah.
Baca juga: Lebaran yang Berubah Cara Tanpa Kehilangan Makna
Silaturahmi pagi itu juga membahas perkembangan riset vaksin Covid-19. Kebetulan salah satu kakak sepupu Dhany adalah peneliti biomolekuler di lembaga penelitian dan pengembangan teknologi milik pemerintah. Sang kakak bercerita bagaimana dunia tengah saling berlomba menemukan vaksin, termasuk Indonesia.
Karena membahas tema ”serius”, muncul celetukan-celetukan jenaka yang mengibaratkan silaturahmi Lebaran itu mirip perkuliahan dengan beberapa SKS. Suasana pun terasa gayeng.
”Sebetulnya senang juga sih walau cuma ketemu lewat virtual begini. Di antara kami sekarang ini jadinya memang sudah sama-sama paham. Sekarang, cara yang paling memungkinkan untuk bisa ketemuan maksimal, ya, begini,” ucap Dhany.
Di Kota Bandung, Senin (25/5), dua seniman bersaudara, Iman Soleh (55) dan Tisna Sanjaya (62), berjemur di lapangan Celah-celah Langit (CCL), di halaman rumah Iman. Melalui panggilan video, Iman menunjukkan suasana CCL yang lengang.
Baca juga: Memotret Pola Konsumsi Baru Sesudah Lebaran
Perpustakaan yang biasanya ramai pada pagi itu hanya dikunjungi Tisna yang berjemur sembari membaca buku. Selain mereka berdua, kadang melintas satu dua orang. Beberapa rumah panggung yang ditinggali anak kos ataupun pemain teater hari itu melompong. Sehari sebelumnya, kondisinya tidak jauh berbeda. Sepi.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan Lebaran tahun lalu. CCL penuh sesak. Selain menjadi pusat latihan teater, CCL juga menjadi ”episentrum” bagi keluarga besar Tisna dan Iman karena di sinilah ibu mereka, Komasih (98), tinggal.
Komasih memiliki 16 anak dan 81 cucu, belum termasuk cicit. Saat Lebaran, sebagian besar dari mereka datang beramai-ramai. ”Lebaran kali ini sepi. Nini melarang anak-anak dan cucunya datang,” kata Iman yang memanggil ibunya, Nini.
Lebaran hari pertama, mereka bersilaturahmi melalui panggilan video aplikasi Whatsapp dan Zoom. Mereka tertawa, bercanda saling olok, dan bermaafan. Rasa bahagia berlebaran tetap terasa kental.
Menautkan batin
Di Yogyakarta, Sekar Sari dan keluarganya juga berlebaran secara virtual. Pemeran utama film Siti yang memenangi Piala Citra FFI 2015 ini tak mudik ke rumah keluarga suaminya di Kediri, Jawa Timur. Namun, Sekar masih beruntung bisa menyambangi ibunda dan neneknya karena sama-sama tinggal di Yogyakarta.
Ibunda Sekar juga memilih tak menerima tamu demi menjaga neneknya dari paparan Covid-19. Silaturahmi dengan teman dan keluarga besar pun dilakukan lewat panggilan video.
Sekar lalu mengunggah foto suasana Lebaran bersama suami dan putrinya, Kinara, yang masih balita di akun Instagramnya. Di foto antara lain terlihat Kinara sedang sungkem. Ada pula sajian seperti opor, tape ketan, dan emping.
”Mengunggah foto di media sosial juga bentuk Lebaran virtual. Bisa membayangkan senyum orang di tempat jauh. Bisa tersenyum menghangatkan hati. Aku memilih mengunggah foto kami di ruang yang biasanya dipakai ketemu sama teman,” tutur Sekar.
Tangan enggak berjabat. Enggak berpelukan langsung, tetapi kita mendoakan mereka secara tulus.
Kehadiran fisik Sekar dan keluarga juga diganti dengan berkirim bingkisan kepada sahabat dan tetangga. ”Tangan enggak berjabat. Enggak berpelukan langsung, tetapi kita mendoakan mereka secara tulus. Momentum lebih reflektif menautkan batin,” tambah Sekar.
Seperti Sekar, hantaran Lebaran juga dipilih Sulina Karmelia yang tinggal di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, untuk menggantikan kehadiran dan tanda sayang kepada teman, sahabat, dan kerabat. Tahun ini jumlahnya mencapai 67 paket hingga dananya melonjak dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Isinya antara lain makanan dan masker. Dia membeli dari teman dan sahabat yang menjadi pedagang dadakan di masa pandemi.
”Sebagai bungsu, saya kirim ke orang-orang yang lebih tua. Kirim ke guru, ke sahabat. Semua ngalir saja. Tanda sayang,” kata Lina.
Jauh-jauh di Norwegia, Nina pun tak lupa mengirim paket hantaran Lebaran untuk sahabatnya di Tanah Air. Sejak awal Ramadhan, ia mengumpulkan alamat rumah 15 sahabatnya, lalu memesan paket kue kering dari toko roti di Jakarta. ”Ini pengganti karena enggak bisa ketemu tahun ini. Biasanya, kan, kumpul,” ujarnya.
Lebih bersyukur
Meski banyak hal berubah pada Lebaran tahun ini, bukan berarti Lebaran kehilangan makna. Nurul Diah Rejeki yang tinggal di Mojokerto, Jawa Timur, tetap gembira merasakan suasana Lebaran meski tak mudik ke kampungnya di Pekalongan.
”Malah kumpul sama tetangga, tapi tetap jaga jarak. Transfer ke ponakan-ponakan juga bisa lebih banyak karena enggak ada ongkos mudik. Enggak beli baju baru,” kata Nurul.
Positifnya lagi, pandemi justru makin mendekatkan hubungannya dengan keluarga inti. Nurul bisa berkumpul dengan suami yang bekerja di Jakarta dan anak-anaknya yang kuliah di Yogyakarta dan Malang. Sehari-hari, Nurul hanya tinggal bersama si bungsu.
Selama Ramadhan, Nurul, suami, dan anak-anaknya bisa shalat lima waktu berjemaah dan shalat Tarawih bersama. Begitu pula shalat Idul Fitri sekeluarga di rumah.
Hal serupa dirasakan Aryani Saida yang tinggal di Cibubur. ”Hikmah pandemi ini, jadi lebih dekat dengan anak dan suami. Punya lebih banyak waktu untuk ibadah dan mensyukuri setiap helaan napas yang diberikan Allah SWT,” ujarnya.
Sisi terang korona juga dirasakan Tisna. Sudah lama dia tidak bisa shalat Tarawih penuh dalam sebulan karena sibuk beraktivitas di luar rumah. ”Baru kali ini saya bisa utuh Tarawih sebulan, he-he-he,” katanya.
Desy Meirina, yang tahun ini untuk pertama kalinya tak mudik ke kampung halamannya di Cianjur, Jawa Barat, dan hanya berlebaran di tempat kos, pun tetap bersyukur bisa menikmati Lebaran lewat rendang dan opor kiriman teman. Dia sadar, tak mudik merupakan pilihan paling baik saat ini. Silaturahmi bisa dilakukan secara virtual.
Menurut sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, Lebaran virtual menjadi solusi di tengah pandemi yang mengharuskan orang-orang meminimalkan mobilisasi dan pertemuan fisik. ”Jadi, hanya caranya yang berbeda saat ini, sebagai upaya memutus rantai penularan. Teknologi yang maju jelas sangat membantu,” ucap Imam.
Di negara lain, Lebaran virtual juga menjadi pilihan. Seperti dilansir South China Morning Post, Muslim di Singapura merayakan Idul Fitri melalui Zoom. Begitu juga Muslim di Turki, Qatar, Inggris, dan Amerika Serikat.
Ini kesadaran kontekstual karena tumbuh empati untuk menghadapi pandemi bersama-sama.
Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Bagong Suyanto, menuturkan, banyak orang menemukan makna Lebaran justru di tengah pandemi. Selama bertahun-tahun sebelumnya, Lebaran malah kerap terjebak pada rutinitas. Dalam istilah sosiologi disebut eksoterisme, yakni ketika Lebaran menjadi tradisi yang dilaksanakan, tetapi kehilangan rohnya. Lebaran bahkan kerap menjadi ajang pamer.
”Ketika ada Covid-19, orang menjadi sadar. Karena tak bisa dilaksanakan, kerinduan untuk bersilaturahmi dengan sesama muncul dari lubuk hati yang terdalam,” ujar Bagong.
Hantaran Lebaran pun menjadi simbol untuk mewakili kehadiran. Selain memberi dan menyapa, hantaran berupa masker serta hand sanitizer sekaligus mengingatkan. ”Ini kesadaran kontekstual karena tumbuh empati untuk menghadapi pandemi bersama-sama,” tuturnya.
Tak apalah Lebaran kali ini berbeda. Yang penting makin sarat makna.
(IAN/DWA/MHF/WKM/FRO/DOE)