Era Sebuah ERA
Mrs America menyuguhkan drama feminisme yang terbelah. Berlatar hampir separuh abad lalu, isu yang diangkat tetap aktual hingga kini.
Mrs America menyuguhkan drama feminisme yang terbelah. Berlatar hampir separuh abad lalu, isu yang diangkat tetap aktual hingga kini. Serial televisi itu melepas rigiditas pakem penokohan dengan menempatkan peran antagonis sebagai sentral.
Diangkat dari kisah nyata, Mrs America memanggungkan era saat Phyllis Schlafly (Cate Blanchett) berbenturan pandangan dengan sesama aktivis politik Gloria Steinem (Rose Byrne). Steinem menggelorakan ratifikasi Equal Right Amendment (ERA) atau amendemen kesetaraan hak tahun 1971 yang ditentang keras Schlafly.
Bersama rekan-rekannya, Betty Friedan (Tracey Ullman), Shirley Chisholm (Uzo Aduba), Bella Abzug (Margo Martindale), dan Jill Ruckelshaus (Elizabeth Banks), Steinem terseret dalam pusaran gelombang kedua feminisme.
Berbeda dengan aksi pertama pada awal abad ke-20 yang menitikberatkan hak suara dan properti, cakupan gelombang kedua lebih luas dengan tuntutan antidiskriminasi. Schlafly menolak ERA dengan menggalang dukungan dari akar rumput yang konservatif.
Mrs America memotret pro-kontra pengarusutamaan jender lewat sudut pandang perempuan di sela ingar bingar unjuk rasa. Schlafly, yang sedang menimbang untuk menjadi anggota kongres, melalui hari-hari dengan debat sengit. Alhasil, Mrs America kerap diwarnai dialog-dialog padat.
”Membuat larangan menentang diskriminasi jenis kelamin sama buruknya dengan diskriminasi berdasarkan ras,” ujar Ruth B Ginsburg (Tara Nicodemo), sejawat Steinem. Perbincangan sesekali diselingi isu mutakhir seperti antipati terhadap Presiden Richard Nixon, Brigade Venceremos di Kuba, dan aborsi.
Percaturan dunia ketika itu tak kalah kisruhnya. Perang Dingin baru separuh jalan, pasukan Amerika Serikat di ambang mundur dari Vietnam, dan diktator Idi Amin mulai berkuasa dengan pemerintahan terornya di Uganda.
Ironi
Dalam skala domestik, Steinem menghadapi palagannya dengan Schlafly bersama sang suami yang pengacara, Fred Schlafly (John Slattery). Mrs America menyajikan ironi Steinem yang memperjuangkan kesetaraan perempuan, tetapi justru ditentang kaumnya sendiri.
Ratifikasi ERA perlu dirunut dengan riwayat yang panjang. Berdasarkan Encyclopedia Americana dengan editor yang dikepalai Alan H Smith dan diterbitkan Grolier Incorporated tahun 1985, ERA pertama kali diajukan National Woman’s Party. Sejak dikemukakan tahun 1923, ERA berfokus pada litigasi dan kejelasan hak-hak perempuan, seperti pajak, kredit, asuransi, dan perceraian.
Paradoks lain, Schlafly sebagai antagonis menempati porsi dominan dalam Mrs America. Perspektif Dahvi Waler, kreator Mrs America dapat dipahami jika mengamati porsi humanisme Schlafly. Ia tak melulu dicitrakan sosok yang persisten menjegal Steinem dengan kampanye dan slogannya, Stop ERA.
Aura Schlafly begitu kuat berkat akting mumpuni Blanchett yang berkaliber peraih dua piala Oscar. Schlafly bisa tersenyum tipis, tetapi juga sangat berwibawa. Setara dengan permainan watak Meryl Streep dalam The Devils Wears Prada (2006) atau Helen Mirren dalam The Queen (2006). Bedanya dengan bos arogan majalah mode global Miranda Priestly yang diperankan Streep dan karisma Ratu Elizabeth II dengan pelakon Mirren, kerapuhan Schlafly digali lebih dalam.
Ia sekonyong-konyong saja melankolis dengan bersandar pada bahu anak sulungnya, John Schlafly (Ben Rosenfield). Ibu enam anak itu pun terkadang melakukan kekonyolan dengan menyampaikan argumentasi-argumentasi tak logis yang menjadi bumerang.
Ia juga istri yang sesekali bersenda gurau dengan Fred sambil melepas jas dan memijit kaki suaminya itu. Schlafly pula yang membela Bruce Schlafly (Brendan Cox) dari kejengkelan Fred saat anak keduanya itu mangkir dari tes masuk sekolah hukum. Mereka penganut Katolik taat yang berdoa sebelum makan bersama.
Keyakinan Schlafly dan Fred dituturkan secara logis dengan kekhawatiran ERA bakal menyebabkan perempuan miskin harus memenuhi separuh kebutuhan keluarga, kehilangan hak asuh atas anak, dan ketidakharmonisan keluarga. Plot Mrs America memang tak sekadar hitam putih.
Serial dengan debut pada 15 April 2020 itu mencuri perhatian lewat dialog-dialog bernas, momen historikal, dan properti apik.
Nuansa 1970-an adalah elemen lain Mrs America yang unik. Gaya retro yang digemari sebagian masyarakat lantaran menghadirkan kenangan, menjadi keunggulan. Steinem mengenakan kacamata lebar aviator bersemu biru khasnya, jins, dan sweater leher kura-kura (turtleneck) yang asyik untuk diamat-amati.
Rambut belah tengah hampir sepinggang, kalung, dan dandanan minimalis Steinem mewakili kebebasan Amerika Serikat pada masanya. Identik dengan generasi bunga atau flower generation yang meruyak mulai akhir dasawarsa 1960-an.
Di balik keotentikan penampilan para pemeran, Bina Daigeler dan Anne Morgan menjadi sosok-sosok bertangan dingin. Daigeler menegaskan batas-batas gamblang antara busana bohemian pendukung ERA dan penentangnya yang formal. Morgan, penata rambut kawakan penyabet piala Oscar dalam Academy Awards 2020 lewat Bombshell (2019), memasang wig demi menautkan paras Byrne semirip mungkin dengan Steinem.
Warna-warni psikedelik melabur Mrs America dengan mobil, telepon, dan televisi klasiknya. Lagu-lagu, seperti ”What the World Needs Now Is Love”, ”Que Sera Sera, Sera (Whatever Will Be, Will Be)”, dan ”Free to Be You and Me” menghiasi serial dengan sembilan episode itu.
Memprihatinkan
Fenomena yang diangkat Mrs America masih kontekstual di dunia, bahkan di Indonesia. Feminisme terbagi dalam beragam aliran, seperti radikal, psikoanalisis, multikultural, dan liberal. Setiap gerakan mengatasi persoalan dengan upayanya masing-masing.
”Feminisme eksistensialis, misalnya, itu dari gelombang kedua,” ujar Saras Dewi, dosen Program Studi Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Anggapan feminisme bukan bagian dari perjuangan Indonesia adalah pendapat yang keliru.
”Propaganda menyesatkan karena Kongres Perempuan Indonesia sudah diadakan tahun 1928,” kata penggemar berat Blanchett tersebut. Kongres itu bertujuan memperjuangkan perlindungan perempuan dan anak. Gerakan perempuan lantas kerap disenyapkan sehingga tak diperhatikan meski banyak fakta memprihatinkan.
Berdasarkan catatan tahunan 2019 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018. ”Masyarakat masih amat permisif dengan kekerasan tersebut. Perempuan yang melapor malah dikriminalisasi,” ucapnya.