Rata-rata permintaan plastik kemasan di Indonesia turun 30-40 persen selama pandemi Covid-19 berlangsung. Sebaliknya, permintaan plastik sekali pakai di Amerika Serikat naik karena warga khawatir penyebaran virus korona.
Oleh
sekar gandhawangi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rata-rata permintaan plastik kemasan di Indonesia turun 30-40 persen selama pandemi Covid-19 berlangsung. Sebaliknya, permintaan plastik sekali pakai di Amerika Serikat naik karena warga khawatir terhadap penyebaran virus korona baru.
Meski menurun, permintaan plastik kemasan untuk bahan pokok seperti beras dan minyak goreng dilaporkan naik. Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan, permintaan plastik kemasan di sejumlah sektor turun, tetapi stabil di sektor lain, salah satunya sektor bahan pokok.
”Rata-rata permintaan plastik kemasan turun 30-40 persen. Tetapi, permintaan plastik kemasan untuk bahan pokok, seperti beras, mi instan, dan minyak goreng naik,” kata Fajar saat dihubungi di Jakarta, Senin (4/5/2020).
Kendati turun, industri tetap mengantisipasi potensi kenaikan permintaan plastik kemasan selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berlangsung. Pasalnya, masyarakat cenderung menggunakan jasa pesan-antar makanan selama PSBB.
Adapun pelaku usaha kuliner berinovasi dengan makanan beku. Fajar mengatakan, permintaan plastik kemasan untuk makanan beku naik 10-20 persen.
Menurut data Inaplas, ada sekitar 300 produsen kemasan dan kantong plastik berkapasitas 50 ton per bulan. Pabrik plastik itu berada di Jawa Tengah (50 persen), Jawa Timur (25 persen), dan Jawa Barat (25 persen). Produsen berkapasitas di bawah 50 ton berjumlah ribuan dan tersebar di sejumlah daerah di Indonesia (Kompas, 10/4/2020).
Penggunaan plastik naik
Adapun penggunaan plastik sekali pakai di Amerika Serikat naik selama pandemi. Ini karena masyarakat khawatir akan penyebaran virus SARS-CoV-2 melalui barang-barang yang dapat dipakai berulang kali.
Rata-rata permintaan plastik kemasan turun 30-40 persen. Tetapi, permintaan plastik kemasan untuk bahan pokok, seperti beras, mi instan, dan minyak goreng, naik.
Forbes melaporkan bahwa sejumlah toko kelontong melarang pembeli membawa tas belanja sendiri. Barang belanjaan kemudian akan diserahkan dalam kantong plastik. Selain kantong plastik, permintaan akan botol plastik dan plastik kemasan bertambah selama pandemi.
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat dalam sebuah penelitian menyatakan, virus korona baru dapat bertahan 2-3 hari di permukaan plastik dan besi tahan karat (stainless steel). Adapun virus bertahan selama 24 jam di kardus.
Pemerintah AS sebelumnya melarang penggunaan kantong plastik. Larangan tersebut kini ditangguhkan saat pandemi di New York. Asosiasi Industri Plastik AS menyurati pejabat Kementerian Kesehatan AS, Alex Lazar, agar larangan penggunaan kantong plastik di tengah pandemi ditangguhkan (Kompas.id, 9/4/2020).
Di sisi lain, meningkatknya penggunaan plastik sekali pakai membuat sejumlah pihak khawatir. Para peneliti Ocean Conservancy menghormati keputusan pemerintah untuk menangguhkan sementara larangan penggunaan plastik. Namun, mereka khawatir penangguhan berubah menjadi permanen. Hal ini dinilai merusak upaya mengurangi polusi sampah plastik di laut.
”Kami harap agar pandemi ini mengajarkan hal yang lebih besar. Seberapa banyak limbah yang dihasilkan dan bagaimana kita mengelolanya sangat penting, baik itu plastik sekali pakai atau apa pun,” kata mereka.
Penelitian yang dipublikasikan pada 30 April 2020 menemukan konsentrasi mikroplastik tertinggi yang pernah tercatat saat ini. Ditemukan 1,9 juta serpihan mikroplastik yang memenuhi 1 meter persegi area di laut dalam. Penelitian ini dilakukan oleh The University of Manchester, National Oceanography Centre, University of Bremen, IFREMER, dan Durham University.
”Kami menemukan bahwa mikroplastik tidak tersebar merata di seluruh area studi. Ternyata mikroplastik tersebar oleh arus dasar laut yang kuat dan memusatkan penyebaran mikroplastik di daerah tertentu,” kata pemimpin penelitian, Dr Ian Kane dari The University of Manchester, seperti dilaporkan Science Daily.