Saat keuntungan finansial mendorong upaya kreasi sebuah konten, maka hasil kreasinya akan cenderung mengikuti apa yang diinginkan pasar. Maraknya video prank di medsos yang merendahkan kemanusiaan salah satu contohnya.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
Upaya untuk membuat konten digital yang menarik dan hingga viral ditonton banyak orang membutuhkan kreativitas yang terus berkembang. Video prank atau kejahilan menjadi salah satu jenis konten yang populer.
Namun, hal ini akan kelewat batas jika tidak menghargai etika dan menyebabkan orang lain mengalami kerugian, baik secara fisik maupun mental.
Nama seorang Youtuber asal Bandung, Jawa Barat, Ferdian Paleka, viral bersama videonya pada Senin (4/5/2020). Ia banyak dikecam atas video prank-nya yang berisi aksinya membagi-bagikan bungkusan berisi sampah yang disarukan sebagai sembako kepada perempuan transjender.
Pakar komunikasi dan budaya digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, mengatakan, memang ada rasa ingin tahu dari manusia untuk melihat reaksi orang lain menjadi korban kejahilan.
Namun, dosis prank harus terus tumbuh untuk tetap bisa menarik bagi pemirsa. Pertumbuhan dunia digital yang sangat cepat membuat konten yang ”baru di hari ini akan usang esok hari”. Ini artinya, perlu kreativitas untuk terus meningkatkan skala intensitas prank.
Sayangnya, menurut Firman, tidak semua orang paham bahwa etika tetap membatasi estetika.
Sayangnya, menurut Firman, tidak semua orang paham bahwa etika tetap membatasi estetika. Menurut dia, di mana pun tempatnya di dunia dan kapan pun, menghina orang lain itu tidaklah etis.
Posisi perempuan transjender yang minoritas dan lebih lemah seakan menjadi target yang mudah. ”Memang tak semua masyarakat sepakat bahwa menghina transjender itu menghina kemanusiaan. (Transjender) punya kelazimannya sendiri, bukan berarti bisa diperlakukan sekehendaknya oleh kelompok yang merasa dirinya mayoritas sosial,” kata Firman.
Firman mengatakan, pada dasarnya Youtube dan platform berbagi yang lainnya dapat menampung berbagai jenis video. Namun, ketika keuntungan finansial menjadi satu-satunya pendorong dalam upaya kreasi sebuah konten, hasil kreasinya akan cenderung mengikuti apa yang diinginkan pasar, dalam hal ini pemirsa dan pengguna Youtube.
”Bisa dikatakan produksi prank yang tidak etis ini hanya peduli pada traffic, followers, subscribers yang pada ujungnya menentukan iklan yang masuk. Dimensi ekonomi menjadi satu-satunya pertimbangan,” kata Firman.
Christopper Burris dan Rebbeca Leitch dari Departemen Psikologi St Jerome’s University, Waterloo, Kanada, juga berpendapat sepaham pada penelitian mereka yang berjudul ”Harmful fun: Pranks and sadistic movitation” yang dipublikasikan melalui jurnal ilmu psikologi Motivation and Emotion pada 2017.
”Sejumlah prankster (pelaku prank) daring melabeli video mereka sebagai eksperimen sosial, tetapi juga banyak video prank lain yang hanya berfokus pada mencari ketenaran dan keuntungan dari jumlah penonton,” kata Burris dan Leitch.
Pada 2013, Youtube mengatakan, tren video prank begitu menjamur di platform tersebut. Melalui blog resminya, Youtube saat itu menyatakan bahwa video berkategori prank telah ditonton 3,5 miliar kali.
Video prank juga memiliki porsi yang signifikan di Youtube. Menilik catatan perusahaan analitik Comscore, pada Juni 2013, total video yang ditonton di Youtube adalah 15,7 miliar. Artinya, saat itu, sekitar 1 dari 5 video yang ditonton di Youtube adalah konten prank.
Karakter psikologis
Burris dan Leitch bahkan berargumentasi melalui penelitian kuantitatifnya terhadap 315 responden, bahwa kekejaman dalam video prank berkaitan dengan karakter psikologis dari pencipta prank tersebut. Mereka berpendapat bahwa video prank adalah wujud mendasar dari motivasi sadistis.
Sementara itu, ketertarikan untuk melihat video prank dilihat oleh Burris dan Leitch sebagai sebuah outlet untuk motivasi bersifat sadistis bagi mereka yang memiliki kecenderungan sadistis kronis.
”Kenikmatan melihat orang lain merasakan kekejaman dalam sebuah prank menunjukkan kecenderungan sadistis baik dari pentonton maupun kreatornya,” kata Burris dan Leitch.
Diproses hukum
Seperti diketahui, Ferdian Paleka, warga Bandung, membuat video prank berisi aksinya bersama sejumlah rekannya membagi-bagikan bungkusan yang disebutnya ”sembako dan bahan pangan” kepada sejumlah perempuan transjender di jalan.
Namun, alih-alih berisi bahan pangan maupun kebutuhan primer lainnya, ternyata bungkusan tersebut diisi sampah dan batu. Video ini pun viral beredar di media sosial pada Senin pagi dan hingga kini namanya masih bertengger di daftar topik yang sedang tren di Twitter meski video tersebut sudah dihapus.
Warganet banyak yang memberikan kecaman dan kemarahan terhadap pelaku. Banyak yang menyebut Ferdian sebagai orang yang tidak memiliki rasa kemanusiaan karena menghina orang lain.
Kepala Polrestabes Bandung Komisaris Besar Ulung Sampurna, kepada Kompas, pada Senin (4/5/2020) mengatakan bahwa polisi masih akan terus melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut.