Etnomusikologi Mengisi Pandemi
Saatnya menilik fungsi seni ketika ditampilkan di masa-masa pandemi Covid-19 sekarang ini.
Saatnya menilik fungsi seni ketika ditampilkan di masa-masa pandemi Covid-19 sekarang ini. Salah satunya, seni musik sebagai jembatan atau media komunikasi dengan bebunyian alat yang terbuat dari benda berserak dalam ranah ekspresi bebas etnomusikologi.
Seorang etnomusikolog kelahiran Sumedang, Jawa Barat, Asep Nata (56), ditampilkan dalam pertunjukan daring di kanal Youtube #budayasaya. Pertunjukan itu dirilis dalam dua episode pada Senin (27/4/2020) dan Rabu di pekan yang sama.
Direktorat Jenderal Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengelola kanal ini. Hal ini tidak lain untuk merawat ekspresi seni tetap terjaga di tengah pandemi Covid-19.
Asep Nata tidak sendirian. Beberapa musisi turut diajak menampilkan seni musik dengan karinding toel dan pelok song. Kedua alat musik itu hasil inovasi Asep Nata. Selain sebagai etnomusikolog, Asep Nata juga organolog atau orang dengan keahlian menciptakan alat musik baru.
Pada 2017, Asep Nata mengenalkan alat musik baru yang dinamai pelok song itu. Sebelumnya, Asep Nata mengembangkan karinding toel yang terbuat dari beberapa karinding. Karinding selama ini dikenal sebagai alat musik tradisi Jawa Barat yang terbuat dari bambu. Selain menginovasinya menjadi karinding toel, Asep Nata juga mengembangkan material baru untuk karinding. Ia menggunakan bekas kartu telepon untuk bahan pembuatan karinding.
Untuk pembuatan alat musik pelok song, dosen luar biasa di Universitas Pasundan, Bandung, ini menggunakan pelok, yaitu cangkang atau kulit biji mangga. Isi biji mangga dibersihkan dan pelok pun membentuk rongga udara. Pelok itu pun diberi beberapa lubang untuk pengaturan tinggi rendahnya suara yang dihasilkan. Dalam tiga tahun terakhir, Asep Nata mengenalkan prinsip-prinsip bebunyian pelok song itu kepada tetangganya, I Nyoman Suwetha.
Nyoman kemudian juga mengembangkan pelok song dengan material lain, seperti cangkang bekicot, cangkang kerang-kerang laut, bahkan tulang sapi yang berongga. Prinsip bunyinya meniru pelok song.
Jembatan komunikasi
Di dalam pertunjukan daring yang kedua, Asep Nata menutupnya dengan penampilan Nyoman. Nyoman memeragakan satu per satu alat musik tiup dari cangkang bekicot sampai tulang rahang sapi itu. Hal menarik diungkap Nyoman. Ia menekankan hal di luar kegunaan alat-alat musik untuk memainkan nada tersebut. Alat-alat musik itu telah menjadi jembatan baginya untuk bisa berkomunikasi dengan salah satu anaknya yang menyandang autisme. Anak laki-lakinya itu berusia 20 tahun. Sepanjang hidupnya, Nyoman kesulitan untuk berkomunikasi dengan sang anak.
Berkat pelok song yang dimainkan Nyoman, anaknya itu tertarik. Salah satu pelok song diberikan dan ternyata dimainkan anaknya terus-menerus. Nyoman mulai bisa berkomunikasi dengan anaknya.
Alat-alat musik itu telah menjadi jembatan baginya untuk bisa berkomunikasi dengan salah satu anaknya yang menyandang autisme.
Tidak hanya alat musik tiup ia berikan. Gangsa atau alat musik tetabuhan khas Bali diberikan juga. Nyoman memberi notasi atau tanda angka untuk tangga nada gangsa tersebut. Kemudian Nyoman mengajarkan memainkan melodi dengan gangsa itu. Ternyata sang anak bisa mengikuti dengan baik.
Di sinilah Nyoman berikhtiar, seni musik memiliki fungsi. Seni musik tidak semata mencipta hiburan, tetapi mempunyai kegunaan lain, yakni sebagai sarana komunikasi kepada anaknya yang autistik. ”Semoga ada yang mau berempati untuk mendukung anak saya bermain musik dan bisa mandiri,” kata Nyoman.
Asep Nata menyebut fungsi terapeutik lewat etnomusikologi. Alat musiknya bisa dibuat dengan material bahan yang terserak, seperti pelok mangga, bahkan limbah seperti kartu telepon. Alunan suara khas pada pertunjukan di episode pertama, Asep Nata berfokus pada alat musik karinding toel. Ada alunan suara khas ketika ia memainkan sebuah komposisi dengan karinding toel yang tersusun dari empat buah karinding.
Resonansi getar suara karinding dari rongga mulut cukup berpengaruh dalam menentukan panjang pendeknya gelombang suara. Dari satu alat karinding tentu akan sulit untuk dibuat notasi atau tangga nada tertentu. Untuk itulah, Asep Nata menciptakan karinding toel dari beberapa karinding.
Untuk pelok song, Asep Nata bisa merancang tangga nada mencapai satu oktaf. Untuk oktaf berikutnya, harus disambung dengan pelok song lainnya.
Karinding toel dan pelok song ciptaan Asep Nata siap untuk dimainkan secara konser Barat. Namun, Asep mengakui, sampai sekarang itu belum pernah dilakukan. Di dalam episode pertama itu, Asep Nata menunjukkan permainan karinding toel untuk menyuguhkan komposisi lagu ”Indonesia Pusaka” ciptaan Ismail Marzuki.
Karinding toel dengan lima karinding di ujung kain sarung tangan dimainkan Dadi Firmansyah. Lagu ”Indonesia Pusaka” pun dilantunkan oleh Bunga Fatimah. Irama musik dari karinding toel cukup kentara. Dadi memainkannya dengan sentuhan karinding berganti-ganti. Alunan suaranya khas, sulit didapat dengan alat musik elektronik sekalipun. Di situ ada pengaruh resonansi rongga mulut untuk membuat tinggi rendahnya gelombang suara secara alami. Bahkan, emosi pemainnya turut berpengaruh.
Untuk proses pembuatan karinding, Asep Nata menampilkan Romy Jaya Saputra. Romy, selain piawai memainkan karinding, juga memproduksi alat musik tradisi Jawa Barat tersebut. Karinding dibuat dari bilah bambu tipis. Ada bagian tertentu yang disayat dan menghasilkan potongan bilah yang bisa digetarkan. Efek dari getaran itulah yang menghasilkan suara. Ketika karinding dimainkan di depan rongga mulut, ada efek amplifikasi atau penguatan serta resonansi udara dari rongga mulut. Getaran suaranya pun bertambah.
Asep Nata juga menghadirkan Gempur Sentosa, musisi yang menciptakan beberapa komposisi lagu dengan karinding toel. Gempur menampilkan komposisi lagu ciptaannya, ”Elegi Awi Runtuh”, dengan karinding toel yang tersusun dari tiga karinding. Kata Awi dalam bahasa Sunda itu berarti bambu.
Asep Nata kemudian menghadirkan Asep Suta Jaya. Ia seorang penyair yang sering berkolaborasi dengan musisi karinding. ”Mereka sering memainkan karinding dan membawakan syair-syair untuk penyembuhan trauma pascabencana,” ujar Asep Nata.
Di dalam episode kedua, Asep Nata memfokuskan diri pada pelok song meski ia mengawali dengan penampilan dirinya memainkan karinding berbahan bekas kartu telepon. Asep Nata mengundang para musisi untuk memainkan komposisi lagu karya ciptaan masing-masing dengan pelok song.
Romy Jaya Saputra kemudian memainkan komposisi Cibal ciptaannya. Seperti gempur, Romy menghasilkan alunan suara yang khas, yang sulit dijangkau dengan alat musik lainnya.
Itu semua hasil pengembangan dari etnomusikologi Asep Nata. Ia memberi inspirasi baru alat musik bikinan sendiri dari limbah di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini memberi manfaat tersendiri. Setidaknya, bagi Nyoman yang berhasil menggunakannya sebagai jembatan komunikasi dengan anaknya yang penyandang autisme.