#Suwarnobicara Seni Rupa
Seni rupa adalah ruang pertarungan ide. Ketika menceburkan diri ke dalamnya, bekal pengetahuan mutlak diperlukan.
Seni rupa adalah ruang pertarungan ide. Ketika menceburkan diri ke dalamnya, bekal pengetahuan mutlak diperlukan. Karena itulah, Suwarno Wisetrotomo (58), seorang pengajar seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, berbagi pengetahuan seni rupa melalui percakapan daring di kanal Youtube, #Suwarnobicara.
Pada Kamis (16/4/2020) siang itu, Suwarno kembali berkabar tentang unggahan terbarunya di Youtube, #Suwarnobicara. Di unggahan kali ini ia membahas seorang tokoh pelukis, Abas Alibasyah (1928-2016), yang juga berkiprah sebagai birokrat seni rupa nasional.
Abas merupakan unggahan di Youtube, #Suwarnobicara, yang keenam. Sebelumnya, pertama kali diawali tokoh Fadjar Sidik tepat pada awal tahun ini, 1 Januari 2020. Disusul berikutnya berturut-turut tokoh seniman Edhi Sunarso (1932-2016), Wardoyo (1935-2003), Widayat (1923-2002), dan Bagong Kussudiardja (1928-2004).
Semua tokoh dipaparkan dengan ulasan ringkas, sederhana, dan santai. Nilai-nilai penting atas pemikiran para tokoh menjadi sorotan utama.
Suwarno menghadirkan sosok Abas yang dinilai penting untuk percakapan seni rupa modern, sekaligus birokrasi pendidikan tinggi seni rupa Indonesia. Abas lahir di Purwakarta, Jawa Barat, tahun 1928. Sebelum masuk pendidikan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta sebagai angkatan pertama pada tahun 1950-1956, Abas turut dalam kancah revolusi fisik kemerdekaan.
Setelah menempuh studi di ASRI, Abas menjadi pengajar di almamaternya. Ia kemudian menjabat Direktur ASRI, lalu menjadi Ketua Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia.
Selain terus melukis, Abas juga berjuang sebagai birokrat. Abaslah yang memperjuangkan ASRI yang semula setingkat akademi menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia, kemudian tumbuh menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta sampai sekarang.
Suwarno melihat sisi penting Abas dari hal ini. Abas menilai, jika pendidikan seni rupa setingkat ASRI, atau akademi, itu hanya akan mencetak para seniman, bukan sampai pada lulusan yang bisa ikut ambil bagian sebagai pengambil kebijakan pemerintah.
Poin penting ini ditonjolkan Suwarno, bahwa pendidikan seni tidak hanya untuk mencetak seniman. Lulusan pendidikan sekolah tinggi seni bisa menjalani berbagai bidang.
Abas mencontohkan diri menjalani sebagai pelukis, sekaligus terjun langsung ke kancah birokrasi nasional. Pada 1971, Abas menduduki jabatan Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Berikutnya, jabatan lain sebagai Kepala Lembaga Musikologi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Inspektur Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan sebagainya.
Gaya pribadi
Dari seorang seniman dan pendidik seni rupa, Fadjar Sidik dipaparkan Suwarno tentang nilai penting berupa pemikiran-pemikiran berkeseniannya. Fadjar Sidik tidak pernah suka dengan karya muridnya yang mirip-mirip dengan karya orang lain sekalipun itu karya seorang maestro.
”Ketika dalam sebuah perbincangan dengan Fadjar Sidik, beliau sering mengatakan, murid-murid yang membuat karya mirip orang lain itu akan menjadi epigon-epigon, tidak punya gaya pribadi,” ujar Suwarno.
Fadjar Sidik dikenal sebagai pelukis abstrak dinamika keruangan yang menekankan pentingnya gaya pribadi dan kekuatan mental. Ia mengajarkan, menjadi seniman itu masuk ruang pertarungan ide. Di situlah gaya pribadi dan kekuatan mental seniman diuji.
Dari seorang seniman yang dikenal sebagai pematung monumen, Edhi Sunarso diharapkan Suwarno agar dikenang setiap orang sebagai pembuat karya-karya patung monumen penting bagi sejarah bangsa ini.
”Seperti Tugu Pancoran, saya menemui banyak anak muda yang mulai tidak mengenal Edhi Sunarso, pembuatnya. Bahkan, nama patung sesungguhnya sebagai Monumen Dirgantara saja mulai banyak yang tidak mengetahuinya,” ujar Suwarno.
Monumen Dirgantara dibuat Edhi Sunarso atas permintaan Presiden Soekarno. Ada tragedi-tragedi yang turut menyertai. Suwarno mengungkapkan, ketika mengajak Edhi Sunarso bercerita tentang Presiden Soekarno, ia seperti melihat kepalanya menyala-nyala.
Selain Monumen Dirgantara, Edhi juga membuat dua monumen penting lainnya di Jakarta, yaitu Monumen Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia dan Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng.
Raja pastel
Dari tokoh Wardoyo, Suwarno menekankan, sosok pelukis dan pendidik seni rupa ini dikenal sebagai raja pastel selain tokoh Soenarto Pr. Keduanya memang berkarib di sebuah sanggar seni di Yogyakarta, yaitu Sanggar Bambu.
Hal penting dari Wardoyo, ditekankan Suwarno, berupa obyek lukisan realismenya itu wajah-wajah orang biasa. Laki-laki kelahiran Banyumas, Jawa Tengah, ini secara intens mengolah tema-tema sosial dengan lukisan realisme wajah pengamen, pemain siter jalanan, dan orang-orang di jalan yang berusaha bertahan hidup.
”Di tangan Wardoyo, orang-orang yang dilukisnya itu hadir dalam kegembiraan. Wardoyo seorang seniman yang berada di ruang realisme, ruang kerakyatan yang tidak dibuat-buat,” ujar Suwarno.
Ia membahasakan lukisan Wardoyo tidak menimbulkan kening berkerut. Lukisan-lukisannya menyentuh perasaan.
Lain lagi untuk tokoh Bagong Kussudiardja. Bagong mendapat sorotan penting Suwarno sebagai sosok seniman multidimensi.
Ketika Bagong menciptakan karya seni tari, karya itu seperti lukisan yang hidup dan bergerak. Ketika Bagong melukis, lukisannya itu seperti membekukan gerakan orang yang sedang menari. ”Bagong menjadi seniman kontroversial dengan energi melimpah,” kata Suwarno.
Sosok pribadinya yang berdarah biru juga disorot. Bagong keturunan raja dari Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono VII. Ia memiliki keresahan dan kekecewaan tersendiri hingga membuat ”perlawanan modern” melalui karya seni.
Bagong membuat sebuah pedepokan tari di Bantul, Yogyakarta. Suwarno menamainya ”sirkuit” Bagong. Dinamai sirkuit karena di situlah Bagong bersama komunitas menciptakan ajang bersama untuk memacu karya seni tari, sekaligus seni rupa.
Yang terakhir, sosok pelukis dan pendidik seni rupa Widayat. Laki-laki kelahiran Kutoarjo, Jawa Tengah, ini memiliki pengalaman tugas menjadi juru ukur wilayah kehutanan. Itu dijalani sebelum Widayat masuk ASRI sebagai angkatan pertama. Setelah lulus, Widayat menjadi pengajar di almamaternya itu.
Suwarno melihat sisi penting Widayat sebagai pelukis yang sangat produktif. Pengalaman kerja yang bersentuhan dengan wilayah kehutanan tentu saja berpengaruh di dalam corak karya lukisannya. Namun, ternyata ada hal lain yang jauh lebih menarik. Widayat mengembangkan karya lukisannya yang dekoratif, tetapi mengandung unsur misteri.