Di tengah pergulatan tenaga medis melawan Covid-19, ada orang-orang di belakang mereka dengan peran tak kalah besar. Merekalah yang terus menyemangati dokter dan perawat dengan curahan atensi dan cinta.
Oleh
Dwi Bayu Radius & Mawar Kusuma
·5 menit baca
Di tengah pergulatan tenaga medis melawan Covid-19, ada orang-orang di belakang mereka dengan peran tak kalah besar. Merekalah yang terus menyemangati dokter dan perawat dengan curahan atensi dan cinta. Restu dan dukungan moral dari keluarga, kerabat, dan sahabat bagai suplemen bagi mereka.
Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Persahabatan Rujukan Respirasi Nasional Menaldi Rasmin beberapa kali menghentikan sejenak perbincangan. Ketika dihubungi lewat telepon, ia harus menerima panggilan dari timnya di rumah sakit.
”Pekan-pekan pertama masuk, saya di-ributin. Mereka takut saya terkapar. Usia saya di atas 60 tahun,” kata Menaldi di Jakarta, Selasa (21/4/2020). Ketua Dewan Pakar Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Konsultan Case Manager Komando Covid-19 RS Persahabatan itu menyediakan waktu 24 jam untuk kebutuhan evaluasi dan konsultasi bersama timnya.
Mandi di rumah sakit lalu diikuti mandi kembali di rumah juga dijalani tim medis RS Persahabatan. Ketika masa awal dan masih terlibat langsung dalam penanganan pasien Covid-19, Menaldi dan istrinya sempat berniat tidur terpisah. Namun, sang istri yang juga dokter berkata, ”Enggak bisa gitu (tidur tak sekamar). Tenang saja.”
Anak-anaknya yang berprofesi sebagai psikolog dan dokter juga memintanya tetap bersama. ”Anak-anak bilang, ’kita bareng saja’. Mereka tahu saya enggak bakal lari (dari Covid-19),” tambahnya.
Menaldi lantas berbincang tentang dokter-dokter yang memilih memisahkan diri dari keluarga untuk sementara waktu. Ia menyebutkan bahwa dokter juga manusia yang punya rasa takut.
”Bagaimana rumah sakit memberikan perlindungan kepada dokter dan perawat selama jam kerja. Kalau perlindungan baik, pasti mereka pulang dengan tenang. Kalau tidak yakin soal perlindungan, maka harus bisa dimengerti, terpaksa harus memisahkan diri. Sayang sekali. Padahal, itu tak perlu. Cukup ia pulang dalam keadaan bersih,” ujarnya.
Hermansyah Suwarno, spesialis kedokteran jiwa di rumah sakit di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, juga menjaga diri dengan sungguh-sungguh untuk mencegah anak-anaknya dari Covid-19. Istri Hermansyah bekerja sebagai dokter umum dan bertugas di IGD rumah sakit yang sama.
”Kerja pakai APD. Kalau pulang, mandi dulu sebelum ketemu anak-anak. Sudah ada beberapa pasien Covid-19 di rumah sakit tempat kami bekerja,” katanya. Hermansyah sudah siap jika harus mengungsikan kedua anaknya yang berumur enam dan delapan tahun. Anak-anak itu bisa dipindahkan ke rumah kakeknya.
Sementara itu, Debryna Dewi Lumanauw memilih menjaga jarak demi melindungi keluarga. Agar orangtua tak khawatir, dokter di Ambulans 118 dan Basarnas itu juga baru memberi tahu tentang keterlibatannya menangani Covid-19 mendekati waktu dinas. Bapaknya sempat panik, sedangkan ibunya cenderung terbiasa dengan ”kejutan” Debryna yang memang sering terlibat penanganan bencana ini.
”Siapa yang suruh? Bisa nolak, kan? Aduh, ngapain, jangan sok-sok jadi pahlawan. Di rumah saja kamu, atau tinggal di Bali, atau Magelang dulu. Aku emang enggak pernah paham pikiranmu sejak kecil,” kata Bapak Lumanauw seperti ditirukan Debryna.
Sang bapak sempat tak mengajak bicara Debryna, tetapi belakangan ia bersedia menerima pilihan anak perempuannya. Bahkan, sang bapak sibuk mencari link penjualan alat pelindung diri (APD) secara daring agar Debryna aman. ”Seperti biasa, mereka tahunya sudah mepet. Saya tahu mereka kesal, tetapi akhirnya dapat restu,” tambah Debryna.
Ia pun tak ingin kawan terdekatnya tertular Covid-19. Beberapa kali teman-temannya mengantar barang sambil ketemu, tetapi ia tak mau berlama-lama. ”Saya sudah sangat terpapar. Agak sedih. Mereka mau ngobrol, tapi saya sengaja buang muka dan harus ’usir’,” katanya.
Novia Permata Atmadja juga bertahan di RS Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, berkat dukungan orangtuanya. ”Saya mengabari Mama. Telepon-telepon biar enggak khawatir,” kata warga Cilandak, Jakarta, yang belum berkeluarga itu.
Ia memperlihatkan kamarnya lewat panggilan video dengan ibunda. Sebaliknya, ibunda Novia mencurahkan perhatiannya dengan tawaran mengirimkan pakaian bersih. ”Enggak apa-apa. Saya di sini bisa cuci baju. Mama enggak marah waktu saya kasih tahu mau tugas jadi sukarelawan. Cuma kaget,” katanya.
Novia berupaya meyakinkan ibunda mengenai tugasnya di zona kuning. Ia tak bersinggungan langsung dengan pasien, tetapi tetap memakai masker dan menyimak imbauan agar tak sakit. Sukarelawan bagian teknologi informasi itu mengecek data, menyuplai gawai, dan memasang peralatan.
Awalnya, Novia enggan memberi tahu ibunya soal rencana jadi sukarelawan untuk mendukung tugas tenaga medis di rumah sakit tersebut. ”Memang, sukarelawan diutamakan belum menikah. Mama kira, saya kerja di luar rumah sakit. Ternyata, di dalam,” katanya.
Mahasiswi magister teknik elektro sebuah universitas di Jakarta itu tahu-tahu sudah mengajukan surat untuk ditandatangani ibundanya. ”Pakai materai juga. Mama takut. Saya disuruh jangan ke mana-mana lagi ada wabah, malah mau jadi sukarelawan. Di rumah sakit lagi,” katanya.
Novia sudah bertugas sejak 2 April 2020. Ia akan berada di RS Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran selama sebulan. ”Kalau sudah selesai, saya akan diberi surat keterangan sehat yang diserahkan kepada pengurus RT,” ujarnya.
Membanggakan
Peran keluarga bagi tenaga medis yang menangani Covid-19 sangat signfikan. Istri atau suami dan anak sebagai orang-orang terdekat akan membawa semangat. ”Berilah dorongan dengan menyampaikan bahwa mereka telah membanggakan keluarga,” kata psikiater Rumah Sakit Melinda 2 Bandung, Teddy Hidayat.
Kiriman makanan kesukaan, video, tulisan yang mengungkapkan kecintaan, cerita lucu, atau poster buatan anak dengan kalimat agar orangtuanya tetap optimistis menjadi dukungan amat penting dari keluarga. Merekalah para pahlawan di balik panggung.
”Keluarga adalah benteng terakhir segalanya, termasuk dari ancaman Covid-19 dan mendukung diam di rumah,” kata Teddy yang juga psikiater Rumah Sakit Limijati, Bandung itu. Tenaga medis umumnya mengeluhkan dampak psikologis karena tekanan mental.
Stigma bahwa tenaga medis yang menangani pasien dan jenazah Covid-19 dapat menularkan penyakit memicu stres tinggi. ”Soal biosekuriti pun begitu. Dokter dan perawat mengenakan APD ketat,” ujarnya.
Pasien terus datang mengalir dan tenaga medis harus siaga terus-menerus. Oleh karena itu, dokter dan perawat perlu memiliki manajemen stres yang baik. ”Coba meditasi teratur untuk menyiapkan mental. Tetap jaga tubuh dari penyakit,” kata Teddy menyarankan.
Semoga para pahlawan kita tetap sehat dan bersama bisa kita lalui masa sulit ini.