Bersalju di Aizu
Jepang yang serba putih oleh salju menyisakan kenangan berbeda dibandingkan keriuhan ala Tokyo.
Jepang yang serba putih oleh salju menyisakan kenangan berbeda dibandingkan keriuhan ala Tokyo. Di Aizu, Prefektur Fukushima, jejak-jejak sejarah masa lampau dan bentangan salju berpadu apik menjadi rajutan pengalaman yang mengesankan.
Awal Februari merupakan pengujung musim dingin. Cerah cahaya matahari dan semilir angin dengan suhu di kisaran 5-11 derajat celsius terasa hampir di seluruh wilayah Jepang.
Tidak seperti itu di kota Aizu-Wakamatsu, Prefektur Fukushima. Hujan salju masih mendominasi di wilayah pegunungan itu. Ketika saya berkunjung ke kota berpopulasi sekitar 120.000 jiwa itu, Februari lalu, bulir salju deras jatuh dari langit. Suhu udara berada di angka minus 5 derajat celsius. Berdiri di luar ruangan dalam lima menit sudah cukup untuk membuat rambut tertutup oleh butiran salju.
Kota Aizu-Wakamatsu, atau biasa disebut Aizu, menyajikan tapak tilas sejarah Zaman Edo (1603-1868) ketika kekaisaran Jepang kalah kuasa dibandingkan para panglima militer atau shogun. Era itu dipimpin oleh Keshogunan Tokugawa yang berpusat di Edo atau nama tradisional untuk kota Tokyo. Salah satu jejak peninggalan yang masih tersedia dari era itu ialah Kastil Tsuruga di kota Aizu.
Berada di ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut menjadikan Aizu sebagai wilayah yang strategis. Atas dasar itu, Ashina Naomori, pemimpin klan Ashina yang memimpin wilayah Aizu di era Keshogunan Tokugawa, pada 1384 mendirikan Kastil Kurokawa yang menjadi cikal bakal Kastil Tsuruga.
Pada 1592, daerah Aizu berada di bawah kekuasaan Gamo Ujisato yang merupakan bagian dari klan Gamo. Sekitar satu tahun masa pemerintahan Ujisato atau pada 1593, ia membangun menara tujuh lantai di wilayah Kastil Kurokawa. Tidak hanya itu, Ujisato pula yang mengubah nama kastil itu menjadi Kastil Tsuruga.
Namun, kegagahan kastil itu harus padam seiring gempa bumi besar yang menghancurkan sebagian besar bangunan utama pada 1611. Pada masa itu pula terjadi transisi kekuasaan dari klan Gamo ke klan Kato di Aizu.
Pemimpin wilayah Aizu selanjutnya, yaitu Kato Akinari, membangun kembali Kastil Tsuruga dengan hanya lima tingkat menara seperti yang dipertahankan hingga hari ini. Seperti para pendahulunya, Akinari mempertahankan fungsi kastil itu sebagai pusat militer dan administrasi pemerintahan daerah yang termasuk wilayah kekuasaan Keshogunan Tokugawa.
Sejarah kelam Kastil Tsuruga kembali terulang ketika wilayah Aizu menjadi kawasan perang sipil di Jepang yang dikenal sebagai Perang Boshin (1868-1869). Pertempuran, yang melibatkan Keshogunan Tokugawa dan Kekaisaran Meiji, mengakibatkan hadirnya Restorasi Meiji, 3 Mei 1868. Kehadiran restorasi itu menjadi titik awal kembalinya pemerintahan yang dipimpin kaisar.
Kehadiran pemerintahan baru juga terjadi di Aizu. Akibatnya, pada 1874 Kekaisaran Meiji menghancurkan Kastil Tsuruga yang dianggap sebagai peninggalan Zaman Edo. Setelah enam dekade kehancuran itu, kekaisaran Jepang akhirnya mendeklarasikan Kastil Tsuruga sebagai situs sejarah nasional. Lalu pada 1934 pemerintah lokal dan masyarakat setempat berkolaborasi menggagas pembangunan kembali kastil itu pada 1965 untuk dijadikan salah satu obyek wisata sejarah di Aizu.
Nuansa dipertahankan
Meskipun sebagian besar bangunan kastil bukan konstruksi di zaman dahulu, nuansa abad pertengahan tetap dipertahankan. Tangga batu sebelum melewati pintu masuk kastil merupakan penanda bahwa tempat ini merupakan aset bersejarah dari masa lampau.
Lantai dan tangga dari bangunan tingkat pertama hingga tingkat kelima masih terbuat dari kayu. Tidak hanya itu, satu bagian penting kastil yang terdapat di lantai teratas, atau tingkat kelima, sebagai tempat untuk mengawasi pendatang dari luar Aizu, juga masih bisa dinikmati wisatawan.
Dengan tiket masuk 410 yen (sekitar Rp 50.000), pengunjung bisa menikmati lima tingkat di Kastil Tsuruga. Di lantai pertama dan kedua, pengunjung dilarang mengambil foto dan video. Pasalnya, di dua lantai awal itu dipamerkan pakaian para samurai lengkap dengan helm dan pedang.
Di lantai ketiga dan keempat terdapat foto para pemimpin Aizu di era Keshogunan Tokugawa hingga kisah kehidupan mereka. Selain itu, ada pula gubahan puisi dari para shogun di Aizu pada abad ke-15 hingga ke-17 yang menggambarkan situasi wilayah Aizu kala itu, bahkan ada pula puisi cinta untuk pujaan hati mereka.
Di lantai kelima, kami menikmati teropong untuk melihat suasana kota Aizu. Pengalaman yang mirip apabila kita berada di lantai teratas Monumen Nasional (Monas) di Jakarta. Tanpa teropong pun, pengunjung tetap bisa melihat sekeliling kota itu dengan jelas hingga pegunungan mengelilingi kota Aizu.
Di awal Februari lalu, seluruh kota diselimuti salju putih. Kekhasan Kastil Tsuruga, yang memiliki atap berwarna merah, tidak terlihat karena seluruh atap tertutup oleh salju.
Ski es
Setelah puas satu hari menyelami sejarah Jepang di abad pertengahan, terutama di era Keshogunan Tokugawa, kami menikmati hari berikutnya untuk merasakan salah satu kegiatan favorit ketika musim dingin tiba, yaitu bermain ski es.
Cukup dengan berkendara sekitar 1,5 jam dari pusat kota Aizu, kami tiba di Aizu Kogen Takatsue Ski Resort. Meskipun hujan salju yang dilengkapi terpaan angin mengganggu pandangan, pengunjung tetap ramai di lokasi itu.
Untuk bermain ski es, pengunjung perlu menyewa peralatan yang diwajibkan sebagai standar keamanan. Helm, kacamata, jaket, celana, sarung tangan, sepatu, papan ski, dan tongkat ski merupakan satu paket peralatan yang disediakan pengelola resor itu untuk pengunjung yang tidak membawa peralatan atau pengunjung yang baru pertama kali melakukan ski es.
Selanjutnya, kami langsung menuju medan ski di kawasan perbukitan es yang diselimuti salju. Untuk bisa menempuh tempat yang cocok untuk meluncur, pengunjung perlu mendaki sedikit demi sedikit di bukit yang dilapisi salju dengan berjalan secara miring. Kenapa? Sebab, jika berjalan seperti biasa, sepatu khusus yang digunakan akan terasa licin di atas lintasan salju. Selain itu, kami perlu pula memegang papan dan tongkat ski untuk menopang keseimbangan.
Setelah tiba di titik yang agak tinggi dan memungkinkan untuk meluncur, tibalah saatnya memasang sepatu di papan ski. Terdapat kuncian di papan itu di bagian ujung dan tumit sepatu.
Setelah papan dan sepatu terpasang, tongkat harus dipastikan menancap di permukaan salju di sisi kiri dan kanan. Untuk meluncur, posisi papan di bagian depan harus membentuk segitiga agar memudahkan gerakan ketika meluncur. Kalau tidak, bersiaplah untuk sulit mengatur laju papan dan terjatuh di lintasan salju.
Bagi kami, yang lahir dan besar di negara tropis, melakukan ski es perlu dua usaha ekstra. Pertama, berdamai dengan angin dingin yang dilengkapi hujan salju. Dua jaket tebal ditambah baju penghangat belum cukup untuk menghambat udara dingin yang terasa menggigit kulit. Kedua, menguasai papan ski di lintasan salju yang licin dan terjal, perlu penyesuaian beberapa waktu.
Walaupun belum mahir bermanuver di lintasan salju, setidaknya kami bisa berfoto untuk mengabadikan momen selama aktivitas tersebut. Jadi, bisa menambah konten untuk diunggah di akun media sosial.
Pastinya, momen bersalju di Aizu akan menjadi pengalaman yang sulit dilupakan. Arigatou gozaimasu, Aizu!