Tantangan dan Peluang Properti Indonesia di Era Pandemi Covid-19
Di tengah tantangan yang serba babak belur bagi dunia properti di masa Covid-19 ini, pengembang dituntut jeli melihat peluang agar kelak bisa menciptakan dan memasarkan produk yang sesuai dengan kebutuhan publik.
Oleh
·6 menit baca
Kebijakan untuk bekerja di rumah dan menjaga jarak sosial guna mengatasi penyebaran wabah Covid-19 menciptakan perlambatan pertumbuhan bisnis properti di Indonesia, terutama hotel dan apartemen. Di tengah tantangan yang serba babak belur ini, pengembang dituntut jeli melihat peluang agar kelak bisa menciptakan dan memasarkan produk yang sesuai dengan kebutuhan publik.
Berdasarkan penelitian Colliers International, hotel merupakan bisnis properti yang paling babak belur akibat Covid-19. Kondisi ini terjadi karena banyak tamu yang membatalkan atau menunda perjalanan akibat khawatir dengan wabah dan adanya anjuran untuk tetap tinggal di rumah. Tingkat pariwisata yang anjlok membuat okupansi hotel turun drastis. Selain hotel, lini bisnis lainnya, yaitu apartemen, rumah, pusat belanja, kawasan industri, dan perkantoran, juga terdampak.
Astri Apriyani (34), penulis lepas, misalnya, akan pikir-pikir ulang untuk melakukan perjalanan. ”Sementara saya tidak mau memikirkan perjalanan dulu. Serem banget kalau wabah ini berkepanjangan,” kata penulis lepas ini, di Jakarta, Selasa (14/4/2020).
Astri semula berencana melakukan perjalanan ke Bali pada 21-26 Maret dan Banyuwangi pada 1-4 April 2020. Di Bali, Astri sudah memesan penginapan, yaitu hotel di daerah Seminyak dan vila di Ungasan. Namun, rencana itu berantakan karena wabah korona baru, penyebab penyakit Covid-19. Uang yang sudah dibayarkan untuk menyewa kamar tidak bisa dikembalikan. Akhirnya, kamar itu dipakai oleh teman Astri yang tinggal di Bali.
Penulis cerita perjalanan ini memutuskan membatalkan kunjungan di Bali karena darurat virus korona baru. Sementara perjalanan di Banyuwangi dibatalkan oleh klien yang mengundang. ”Aku membaca artikel bahwa beberapa negara sudah mulai lockdown dan di Indonesia ada yang positif Covid-19. Meskipun belum ada perintah untuk pembatasan sosial berskala besar, sudah ada anjuran untuk stay at home guna memutus mata rantai penyebaran. Itu membuat aku membatalkan perjalanan,” katanya, Senin (13/4/2020).
Senior Associate Director Colliers International Ferry Salanto menjelaskan, tingkat hunian dan harga sewa hotel sudah menunjukkan penurunan secara drastis sejak Februari lalu. ”Secara langsung, kita bisa melihat bahwa beberapa hotel berhenti beroperasi. Ada pula hotel yang dialihfungsikan menjadi tempat menginap tenaga medis atau banyak hotel yang memberikan diskon, dan sejumlah paket pariwisata sudah banting harga karena kunjungan yang turun,” katanya.
Dampak paling terasa terjadi di Bali. Penurunan okupansi hotel terjadi karena ”Pulau Dewata” kehilangan 96 persen pasarnya dari China sebagai dampak wabah. Padahal, selama ini China merupakan satu dari tiga pasar teratas yang sering mengunjungi Bali, selain Australia dan India. Kantor Imigrasi Provinsi Bali mencatat hanya 4.820 warga China mengunjungi Bali pada Februari tahun ini atau anjlok 96 persen dibandingkan dengan Januari.
Kondisi ini membuat tingkat okupansi hotel di Bali turun dari rata-rata 70 persen menjadi 50 persen. Harga sewa hotel juga turun dari yang semula 125 dollar AS (sekitar Rp 2.000.000) menjadi 90 dollar AS (sekitar Rp 1.400.000). Pada 2020 ini, Bali menargetkan menambah 815 kamar baru. Namun, dengan adanya wabah, target itu kemungkinan besar harus diturunkan mengikuti situasi bisnis.
Apartemen
Selain sewa hotel, pasar apartemen juga terdampak Covid-19 karena aturan pembatasan jarak sosial. Target untuk meluncurkan 14.086 unit apartemen tahun ini harus dikoreksi karena tidak banyak aktivitas fisik yang dapat dilakukan pengembang. Dari segi permintaan juga tidak ada perbaikan meski harga apartemen sudah ditekan.
Colliers International menyebutkan, 14.086 unit apartemen yang ditargetkan selesai tahun ini berasal dari 28 proyek. Sedangkan total unit yang seharusnya dijadwalkan masuk ke pasar hingga 2024 mencapai 41.032 unit dari 71 proyek. Beberapa apartemen yang sudah selesai juga harus ditunda peluncurannya karena wabah.
Ferry menjelaskan, anjloknya permintaan properti terjadi karena wabah sudah memukul ekonomi rakyat. ”Industri properti tumbuh setelah ekonomi. Kalau ekonomi turun, properti pasti turun. Begitu ekonomi membaik, properti bisa ikut membaik,” katanya.
Menurut Vice President Business Development di PT Jayakarta Investindo Nicholas Pudjiadi, anjuran pembatasan sosial dan bekerja di rumah membuat banyak pengembang berhenti berproduksi. ”Kita tidak hanya bicara satu dua developer, tetapi bisa mencapai 10 developer berhenti. Padahal, awal tahun ini developer sedang giat membangun hunian di jaringan infrastuktur milik pemerintah,” ujarnya.
Nicholas menjelaskan, kalau awal tahun lalu banyak pengamat memperkirakan pertumbuhan bisnis properti 5-10 persen, sekarang angkanya harus diturunkan menjadi 3-5 persen. ”Mungkin properti benar-benar baru akan bangkit pada 2022. Kalau sekarang kondisinya orang akan lebih waswas dan akan ambil langkah yang lebih hati-hati,” ujarnya.
Pandemi korona baru juga menghantam permintaan sewa apartemen dan hunian bersama (co-living). Penurunan pasar sewa properti disebabkan penghuni tidak meneruskan kontrak dengan alasan memilih kembali ke daerah asal begitu sekolah atau tempat bekerja tutup.
Ia memperkirakan, ada kerugian penghasilan hingga mencapai Rp 10 miliar di pasar sewa apartemen di seluruh Indonesia. ”Kalau setiap unit apartemen ada keuntungan Rp 500 juta per tahun, saya memperkirakan ada 200 unit apartemen mengalami kerugian sehingga kalau dihitung ada kerugian hingga mencapai Rp 10 miliar,” tuturnya.
Senior Associate Director, Residential Services, Colliers International, Lenny van Es-Sinaga menuturkan, sejumlah kantor kedutaan besar sudah meminta diplomat mereka kembali ke negara masing-masing. Sejumlah diplomat atau karyawan asing juga ditunda kedatangannya. Kondisi ini berdampak besar pada residencial places yang mempunyai pekerja asing. ”Ini kondisi yang memprihatinkan. Masalahnya adalah, kita tidak tahu kapan wabah ini berakhir,” ujarnya.
Meskipun ada penurunan pasar properti, menurut Nicholas, hal ini masih bisa diatasi karena kebutuhan properti di Indonesia masih tinggi. Rumah dengan harga di bawah Rp 2 miliar, misalnya, masih diminati oleh masyarakat di Jabodetabek. Hunian bersama (co-living) juga masih diminati karena sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. ”Untuk mereka yang butuh karantina mandiri agar jauh dari orang tua yang sudah lansia, sistem berbagi hunian menjadi pilihan karena harga sewa lebih murah daripada sewa satu unit apartmen,” ujarnya.
Founder dan CEO Flokq Anand Janardhanan mengatakan, sekarang ada sekitar 700 penyewa apartemen yang menggunakan aplikasi Flokq. Kebanyakan mereka tinggal di kawasan strategis, seperti di kawasan strategis SCBD Sudirman.
Saat ini, sektor properti memang babak belur karena wabah. Kondisi ini membuat Flokq berusaha mengatasi dengan melakukan pengetatan operasional perusahaan dan memberikan insentif pembayaran kepada penyewa. Pembayaran juga dilonggarkan untuk menarik peminat dan membuat masyarakat memiliki kemampuan untuk menyewa properti yang dibutuhkan.
Senior Director, Office Services Colliers International Bagus Adikusumo percaya, badai segera berlalu karena kebutuhan properti masyarakat masih tinggi. Masyarakat yang belum mempunyai tempat tinggal di kawasan Jabodetabek, misalnya, masih sangat banyak.
Oleh karena itu, wabah menjadi momentum agar pengembang bisa me-rebranding produk mereka serta mampu memunculkan produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Harapannya, begitu wabah selesai dan ekonomi membaik, properti kembali tumbuh. Contoh terobosan itu adalah mengeluarkan produk rumah sederhana dengan harga yang terjangkau masyarakat. ”Produsen yang biasanya bermain di kelas atas mungkin bisa mengeluarkan varian menarik yang sesuai kebutuhan pasar untuk menarik minat mereka kemudian hari. Dengan begitu, saat ekonomi pulih, bisnis properti juga bisa segera bangkit lagi,” katanya. (DNA)