Kemegahan Rock Mongolia
Lagu-lagu milik band asal Mongolia, The Hu, membawa imajinasi orang tersedot ke alam serta zaman berbeda. Masa ketika Kekaisaran Mongol dipimpin Sang Agung Jenghis Khan berkuasa.
Lagu-lagu milik band asal Mongolia, The Hu, membawa imajinasi orang tersedot ke alam serta zaman berbeda. Masa ketika Kekaisaran Mongol dipimpin Sang Agung Jenghis Khan berkuasa.
Entakan drum dan tambur, alunan instrumen gesek tradisional morin khuur, serta petikan gitar tradisional berdawai tiga, tovshuur, saling beradu irama gagah dalam ketukan staccato. Musik itu mengiringi ketiga vokalis anggota band yang bernyanyi menggunakan teknik vokal khas, nyanyian tenggorokan (throat singing).
Tiga vokalis utama The Hu antara lain Galbadrakh Tsendbaatar alias ”Gala”, Nyamjantsan Galsanjamts alias ”Jaya”, dan Enkhasaikhan Batjargal alias ”Enkush”. Gala dan Enkush memainkan instrumen morin khuur atau alat musik gesek berdawai dua.
Morin khuur atau dikenal juga dengan nama biola berkepala ukiran kepala kuda adalah alat musik gesek khas negeri itu. Berbeda dengan versi tradisionalnya, yang terbuat dari kotak dan leher berbahan kayu, instrumen morin khuur yang dibawakan tampak modern dan futuristis lantaran sebagian berbahan metal.
Sementara personel inti keempat, Temuulen Naranbaatar alias ”Temka”, berperan sebagai penyanyi latar dan pemain instrumen tovshuur atau gitar tradisional berdawai tiga. Gitar tovshuur yang dibawakan Temka terkesan unik lantaran berbentuk busur dan anak panah metal berwarna hijau gelap.
”Kami menyebut aliran rock kami Hunnu Rock. Sebuah genre musik rock yang menggabungkan musik Barat dan Timur. Selain itu, kami juga menggunakan alat musik tradisional, yang sejak berabad-abad lalu dimainkan nenek moyang kami,” ujar Gala kepada wartawan seusai tampil di pergelaran musik rock tahunan, Jogjarockarta Festival, awal Maret lalu.
Selain instrumen musik tradisional Mongolia, ciri khas genre rock Hunnu yang diusung The Hu juga terletak pada teknik menyanyinya. Berbeda dengan warna vokal khas rock lain yang serak melengking-lengking, gaya menyanyi genre ini terdengar monoton, bercapaian nada (pitch) dominan rendah serta parau.
Sederhananya, teknik menyanyi tenggorokan ini memungkinkan seorang memproduksi dua jenis nada berbeda secara bersamaan. Nada utama yang rendah dan datar serta nada-nada lebih tinggi yang dapat berubah-ubah.
Olah vokal seperti itu memang tidak dikenal di kultur Indonesia. Meski begitu, teknik bernyanyi itu menyebar sejak lama, tak hanya di Asia, tetapi juga di Afrika dan Eropa.
Selain Mongolia, masyarakat suku Inuit di Benua Amerika juga menerapkannya. Suku Inuit hidup di kawasan dingin Kanada Utara dan Alaska, Amerika Serikat. Hal sama juga dipraktikkan suku Ainu di Kepulauan Hokkaido, Jepang, dan Tibet, keduanya di Asia Timur.
Selain itu juga di sejumlah suku tertentu di kawasan Asia Tengah dan Selatan, mulai dari Uzbekistan, Kazakhstan, Afghanistan, Pakistan, hingga Iran. Masyarakat tradisional Sami di beberapa negara di kawasan Eropa Utara juga menggunakan teknik bernyanyi ini.
”Orang Mongolia percaya di mana pun kamu memainkan alat musik tradisional ini, maka hal itu akan menciptakan jiwa yang positif. Begitu juga dengan throat singing. Kami memperlakukan teknik bernyanyi ini juga sama seperti instrumen musik tradisional kami. Teknik itu pulalah yang menjadi ciri khas rock Hunnu,” ujar Gala lewat penerjemahnya.
Band rock yang kini juga menjadi kebanggaan negaranya lantaran mengangkat nama Mongolia di mata dunia tersebut juga baru mengeluarkan album. Album berjudul The Gereg diambil dari penamaan surat diplomatik yang berlaku dan digunakan di masa kejayaan Jenghis Khan lebih dari delapan abad silam.
Jenghis Khan berkuasa di sekitar abad ke-12 Masehi dan hampir menduduki seluruh penjuru Asia dan Eropa. Surat diplomatik atau ”The Gereg” menjamin seseorang bisa bergerak dan berpindah-pindah dengan bebas ke mana pun di wilayah kekuasaan Kekaisaran Mongolia.
The Hu memang sangat bangga dengan tanah air dan akar sejarah serta kulturnya. Dalam salah satu lagunya yang berjudul ”The Great Chinggis Khaan”, band The Hu menyuarakan pemujaan mereka terhadap tokoh pahlawan besar Mongolia itu.
”Kami menyanyikan banyak tema. Mulai dari budaya, sejarah, nenek moyang kami. Beberapa isu lain yang juga kami angkat lewat lagu-lagu kami seperti penghormatan terhadap alam dan wanita. Kami juga mengajak penggemar kami untuk berani berdiri bersama menghadapi ketidakadilan di dunia ini,” ujar Jaya.
Penampilan The Hu di depan khalayak penggila musik cadas di Stadion Kridosono, Yogyakarta, itu juga memikat. Walau hanya sesekali menyapa penonton dengan bahasa Inggris patah-patah dan seadanya, para penonton lumayan antusias ikut bernyanyi di bagian refrein tertentu di beberapa lagu sambil beraksi headbang.
Penampilan para personel band tersebut juga energik ditambah sejumlah instrumen musik yang unik dan boleh jadi baru dilihat kebanyakan penonton. Kostum para personelnya pun lumayan terlihat megah dan gagah ala prajurit pejuang Mongolia kuno, dengan aksesori berbahan kulit.
”Mereka memiliki musikalitas yang sangat luar biasa. Belum lagi video-video klip mereka disaksikan puluhan juta penonton di seluruh dunia. The Hu juga sudah berkonser di ajang-ajang musik besar internasional,” ujar CEO Rajawali Indonesia sekaligus penggagas Jogjarockarta Festival, Anas Alimi.
Anas juga memuji kemampuan The Hu memadukan unsur musik tradisional negaranya dengan rock atau bahkan heavy metal, yang kemudian diterima dunia.
Mendunia
Nama band The Hu mendunia setelah dua klip video lagu mereka, ”Yuve Yuve Yu” dan ”Wolf Totem”, meraih puluhan juta kali ditonton. Tercatat per Oktober 2019 saja klip video ini ditonton 27 juta kali. Lagu ”Wolf Totem” bahkan dinobatkan sebagai lagu hard rock terlaku penjualannya secara digital versi Billboard.
Menyusul ketenaran mereka di dunia maya, nama The Hu juga semakin dikenal di luar negeri. Sepanjang Juni dan Juli 2019, mereka bahkan telah menggelar 23 konser di 12 negara di Eropa. Konser mereka di AS digelar selama empat bulan, mulai September 2019.
Album pertama mereka, The Gereg, dirilis pada 13 September 2019. Sekitar sebulan berselang, salah satu lagu mereka, ”The Black Thunder”, dipakai menjadi soundtrack gim video ”Starwars Jedi: Fallen Order”.
Lantaran dianggap berjasa mengangkat nama Mongolia di dunia, The Hu mendapat penghargaan tertinggi dari negaranya, ”Order of Genghis Khan”.