Memberi Makna Kerja di Rumah
Dibayangi kekhawatiran akibat pandemi Covid-19, sebagian masyarakat tetap harus menjaga integritas dan profesionalitas dalam melakoni pekerjaan mereka dari rumah.
Dibayangi kekhawatiran akibat pandemi Covid-19, sebagian masyarakat tetap harus menjaga integritas dan profesionalitas dalam melakoni pekerjaan mereka dari rumah. Lebih dekat dengan keluarga, tetapi juga menanggung tanggung jawab dan ”gangguan” jauh lebih besar.
Mereka dituntut disiplin mengelola diri sendiri sekaligus lingkungannya. Tak ketinggalan, mengatasi stres tanpa menepikan kepedulian kepada sesama di tengah situasi serba sulit ini.
Merry Setianingsih (40) yang bekerja sebagai Manajer Member Business Practices & Compliance di PT Herbalife Indonesia merasa, bekerja dari rumah membuatnya lebih dekat dengan keluarga. Seperti dirinya, suami dan dua anaknya pun bekerja serta belajar dari rumah sesuai dengan imbauan pemerintah dua pekan lalu.
Ada kelonggaran untuk tak segera mandi pagi, juga bisa menyempatkan berolahraga dulu. Namun, tantangan pertama buat Merry adalah soal koneksi internet.
”Aku saat bikin laporan, apalagi untuk kasus-kasus berat, panjang kayak BAP (berita acara pemeriksaan). Masukin ke sistem kantor bisa sedot kuota internet lumayan besar. Koneksi internet di rumah jadi lemot, padahal enggak hanya aku yang pakai, suami dan anak-anak juga,” ujarnya di Jakarta, Senin (23/3/2020).
Sementara tanggung jawab pekerjaan menunggu, Merry pun harus membantu kedua anaknya dengan tugas-tugas sekolah mereka. ”Yang gede, kelas V SD, tinggal diarahin aja dia sudah ngerti harus gimana. Yang kecil masih TK, banyak tugasnya. Olahraga divideoin, hafalan surat divideoin, jadi kan, harus diikuti terus,” kata Merry.
Karena itu, stres mulai menghampiri. Akhirnya, ia menyusun strategi dan berkoordinasi dengan suami serta anak-anak. Pengaturan dibuat agar mereka tak ”bertabrakan” saat menggunakan jaringan internet. Televisi yang menggunakan koneksi internet juga tak dinyalakan hingga setelah pukul 12.00.
Merry juga mengalah dengan bekerja lagi pada malam hari, khusus untuk mengirim laporan panjang. ”Biasanya aku tidur dulu, pukul 01.00 bangun, lalu kirim,” ujarnya.
Pada siang hari, ia melakukan rapat-rapat jarak jauh menggunakan aplikasi internet. Meski begitu, Merry merasa lebih produktif bekerja di kantor karena komunikasi pekerjaan lebih mudah dilakukan dengan tatap muka.
Bagi pekerja kreatif seperti Ridlo Rifqi Fuady (41), bekerja di rumah alias work from home (WFH) mempunyai nilai plus. ”Kerja ikut ritme kita, waktu kumpul sama keluarga lebih banyak, badan juga enggak capek harus pergi-pulang kantor kena macet,” kata Art Director PT Kreasi Cipta Imaji ini.
Di rumah, dia bergantian dengan istri mengasuh anak laki-laki mereka berusia 17 bulan yang sedang aktif bergerak. Meski begitu, masalah utama bagi Ridlo adalah pandemi Covid-19 membuatnya terkungkung di rumah.
”Bosen juga lama-lama, enggak bisa pergi ke mana-mana. Piknik ke luar kota juga batal. Kerja juga kadang-kadang sambil dirusuhin anak. Badan pun ada kans membengkak karena makan dan ngemil terus. Kehidupan sosial menjadi terbatas di rumah dan sekitar rumah saja.”
Jaga integritas
Bekerja di rumah bukan hal baru bagi Yasa Kusuma (42), warga Pondok Indah, Jakarta. Ia sudah 14 tahun bekerja di rumah. Karyawan perusahaan teknologi informasi itu dulu bekerja di kantor.
”Kantor saya di Dallas, Texas (Amerika Serikat). Lalu, saya balik ke Jakarta karena pekerjaan bisa diselesaikan di rumah,” ungkapnya.
Yasa bekerja pukul 08.00- 12.00, lalu dilanjutkan pukul 20.00-24.00. Komputer Yasa terkoneksi dengan kantornya. Pekerjaan itu sempat dianggap tak lazim. ”Dikira orang aneh. Kerja enggak di kantor,” ujarnya.
Yasa mengkhususkan satu ruang di rumahnya untuk bekerja dengan pintu ditutup saat ia menyelesaikan tugas-tugas. Jika anak-anak memanggilnya, istri Yasa mengingatkan mereka. ”Paling penting, integritas harus dijaga karena saya bekerja tak dilihat atasan,” ujarnya.
Ketika kini banyak warga mendadak ”dipaksa” bekerja dari rumah, Yasa tersenyum saja. Ia meyakini, WFH akan membuat karyawan lebih produktif jika gangguan-gangguan bisa ditekan. Sebaliknya, bekerja di rumah tak bakal efisien jika berbagai pengalih perhatian tidak dapat diatasi.
WFH juga mengurangi stres akibat kemacetan lalu lintas, mendekatkan diri dengan keluarga, dan menghemat pengeluaran bahan bakar. ”Minusnya, manusia tak berinteraksi langsung. Enggak ada teman kantor bikin saya kesepian,” ujarnya.
Menebar manfaat
Kebutuhan interaksi sosial itu pula yang membuat Nur Suryo (52) tidak bisa sepenuhnya berdiam di rumah meski ia juga melakoni WFH. Sejak bekerja di rumah dua pekan lalu, setiap pukul 08.30-16.30, karyawan perusahaan distributor produk teknologi informasi ini tak beranjak dari laptop di rumah.
Namun, di luar jam kerja di rumah, Suryo menjadi koordinator penyemprotan disinfektan di RT tempat tinggalnya di Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten. Ia mengagendakan dua pekan sekali berkeliling ke rumah-rumah warga bersama anggota satpam menyemprot disinfektan. Setiap petang ia juga ”berpatroli” di lingkungan sekitar. Selain ikut menjaga keamanan, ia juga mencari tahu jika ada tetangga yang membutuhkan bantuan.
”Enggak jalan ramai-ramai, sering sendirian, atau satu-dua orang. Itu juga tetap ada jarak fisik,” ujarnya. Sebelum membuka pintu rumah, ia mencuci tangan, lalu langsung mandi begitu masuk rumah.
Di Kelurahan Jelupang, Serpong Utara, Kota Tangerang Selatan, Banten, sejumlah warga yang terpukul lantaran merebaknya wabah Covid-19 juga tak lantas berpangku tangan. Mereka mengisi waktu dengan beragam kegiatan positif untuk keluarga dan lingkungan.
Pragolo Adi (42), misalnya, Rabu (25/3/2020), memantau lima warga yang mengepel Masjid Al Ihsan di lingkungan tempat tinggalnya. Mereka membersihkan masjid dan menyemprotkan disinfektan.
”Bisnis sedang turun. Maka, saya, karyawan peternakan, dan warga mengalihkan perhatian dulu ke rumah-rumah ibadah,” kata pemilik Alexa Farm ini. Peternakan dan rumah Adi juga berada di kelurahan itu.
”Jadi, bisa dibilang saya work from home,” ujarnya. Ia pernah bekerja sebagai pegawai perusahaan teknologi informasi hingga 2013, lantas keluar dan menjalankan bisnis peternakan ayam.
Sejak Minggu (22/3/2020), Adi menghimpun sejumlah peternak. Mereka menggagas penyemprotan disinfektan untuk masjid, mushala, wihara, kelenteng, dan gereja. Warga dipersilakan menyumbang dana untuk dibelikan alat-alat dan disinfektan.
”Jangan sampai warga tertular korona di rumah ibadah dan lingkungannya. Untung, kami tahu soal disinfektan. Kandang-kandang juga rutin disemprot,” ujarnya. Edukasi pun dilakukan terhadap warga sehingga mereka bisa menyemprot sendiri rumah-rumah ibadah itu.
Sejak wabah Covid-19 merebak, pendapatan Alexa Farm yang semula sekitar Rp 15 juta per minggu turun hingga 95 persen. ”Omzet jelas turun sehingga saya juga menghentikan jual beli ayam,” katanya.
Namun, Adi dan rekan-rekan yang tergabung dalam Perkumpulan Penghobi Ayam Kontes Nusantara ingin menebar manfaat. Mereka memetakan wilayah dengan rumah ibadah yang bisa disemprot disinfektan. Sekitar 30 orang kini berpartisipasi.
Di sela-sela usaha yang lesu, Budi Hartato (46), warga Kota Bekasi, Jawa Barat, juga mengisi waktu dengan aktivitas bermanfaat. Penjualan produk yang dilakukannya secara daring turun hingga 80 persen selama dua pekan terakhir.
”Banyak waktu luang karena order turun. Jadi, saya unggah informasi soal barang-barang baru dan memperbaiki dekorasi toko daring,” ujar Budi yang menjual antara lain handuk, sabun, dan kaus kaki itu.
Ia pun memanfaatkan waktu untuk lebih sering bercengkerama dengan istri dan dua anaknya disertai ibadah yang kian intens. Hikmahnya, Budi tetap tenang meski pesanan berkurang.
Bekerja di rumah mendatangkan tantangan yang berbeda bagi setiap orang. Namun, di tengah terpaan krisis dan ancaman pandemi itulah, integritas diuji. Mari bekerja di rumah sembari tetap menjaga kewarasan dan memelihara harapan.