Dua Sineas Muda Indonesia Lolos 10 Besar Huawei Film Awards
Dua sineas muda Indonesia menorehkan prestasi dengan lolos 10 besar ajang Huawei Film Awards Asia Pasifik. Di tengah keterbatasan, mereka berupaya untuk membuat karya film pendek terbaik.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterbatasan teknologi kini bukan lagi menjadi halangan untuk berkreasi. Membuat film dengan bermodalkan telepon genggam, Indonesia berhasil mengirimkan dua wakil sineas muda pada 10 besar ajang Huawei Film Awards Asia Pasifik.
Dua karya asal Indonesia lolos dalam 10 besar adalah film pendek berjudul Ero yang diciptakan oleh mahasiswa London School of Public Relations (LSPR) Jakarta dan Jalu, Don’t Tell My Mother karya Juhendi, sineas muda asal Serang, Banten. Film Jalu, Don’t Tell My Mother juga dinobatkan sebagai film terbaik untuk tingkat Indonesia.
Pengumuman disampaikan di Kampus LSPR Jakarta, Kamis (5/3/2020). Hadir dalam penghargaan antara lain sutradara Hanung Bramantyo, Komisioner Lembaga Sensor Film Rommy Fibri, dan Deputy Country Head of Huawei Device Indonesia Lo Khing Seng.
Juhendi mengatakan, penghargaan dari Huawei memberikan pelajaran berarti bahwa untuk memproduksi film berkualitas dapat dilakukan meskipun berada di tengah keterbatasan.
”Saya berasal dari Serang, Banten. Untuk menonton film bioskop saja sulit, apalagi memproduksi film. Sama sekali tidak terpikirkan. Untuk membeli kamera harganya selangit, menyewa kamera juga sama mahalnya. Tetapi, dengan teknologi dari telepon genggam, selain itu ada media sosial untuk membagikan konten, ini memungkinkan siapa saja untuk bisa berkreasi,” tutur alumnus dari Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa itu.
Film pendek berjudul Jalu, Don’t Tell My Mother berkisah tentang seorang anak bernama Jalu yang tinggal di Kampung Ciptagelar, Serang, Banten. Suatu hari, bocah yang masih duduk di bangku SD itu tidak sengaja merusak seragam sekolahnya saat sedang disetrika. Takut ibunya marah, Jalu kemudian menyembunyikan seragam. Ia berusaha meminjam seragam dari teman-temannya agar bisa berangkat ke sekolah.
Juhendi menuturkan, ide cerita film ini berasal dari pengalaman pribadinya. ”Saya pernah hanya mempunyai satu potong baju sekolah. Saya pusing sekali kalau seragam saya kehujanan atau hilang. Saya tidak bisa sekolah,” katanya.
Ide itu kemudian dikembangkan untuk menjadi cerita yang menarik. Selain menampilkan keluguan anak-anak, film ini juga menunjukkan keindahan lanskap perkampungan di Kampung Ciptagelar. Ia mengajak penonton menikmati suasana pedesaan, persawahan, dan juga empang yang masih lestari. Film ini juga memberikan pesan kuat mengenai integritas dan kejujuran dari sikap yang diambil tokoh bernama Jalu.
Saya berasal dari Serang, Banten. Untuk menonton film bioskop saja sulit, apalagi memproduksi film. Sama sekali tidak terpikirkan. Untuk membeli kamera harganya selangit, menyewa kamera juga sama mahalnya.
Menurut Juhendi, kesulitan utama dalam pengerjaan film ini adalah beradaptasi dengan mood anak-anak. ”Kami harus menunggu anak-anak selesai sekolah. Begitu mereka sudah selesai sekolah, mereka tidak mood atau malu untuk berakting. Akhirnya kami berusaha membuat mereka senang dengan mengajak jajan terlebih dahulu, baru kemudian shooting,” ujarnya.
Untuk memproduksi film ini, Irwan Sugriawan, yang berperan sebagai art director dalam film Jalu, menjual kamera DSLR seharga Rp 1,9 juta. Irwan, Juhendi, dan kawan-kawan kemudian patungan untuk membeli telepon genggam Huawei P30 lite seharga Rp 3.499.000. Telepon genggam kemudian dipakai untuk merekam gambar.
Penyusunan cerita memakan waktu sekitar dua pekan. Sementara pengambilan gambar hanya dilakukan dalam waktu tiga hari. ”Karena deadline yang sangat mepet, editing hanya berjalan lima hari. Kami sadar, masih banyak kekurangan dalam film ini, terutama dalam hal suara. Tetapi, kami memutuskan tetap mengirimkan film, apa pun kondisinya, karena lebih baik film itu masih ada kekurangan daripada terlambat dikirimkan,” tuturnya.
Adakalanya sineas muda ini mengalami kendala, seperti memori telepon genggam terlalu penuh. Proses shooting kemudian harus dihentikan beberapa saat agar Juhendi dan kawan-kawan bisa memindahkan data ke komputer.
Beralih ke film
Irwan Sugriawan mengatakan, ini merupakan pengalaman perdananya memproduksi film pendek. ”Selama ini saya lebih tertarik untuk fotografi. Setelah membuat film pendek ini, ternyata asyik juga. Saya akan melanjutkan membuat film,” ujarnya.
Juhendi menyebutkan, generasi milenial memang dimudahkan dengan keberadaan teknologi dan platform media sosial untuk berbagi konten. Namun, platform media sosial seperti Youtube beredar terlalu bebas. Untuk mendapatkan jumlah penonton dalam jumlah yang banyak, dibutuhkan usaha ekstra. Oleh karena itu, festival dan lomba film sangat dibutuhkan agar anak muda yang berasal dari daerah terpencil bisa mencuri perhatian publik.
Sutradara Hanung Bramantyo mengatakan, membuat cerita menarik sangat mungkin dilakukan dengan berkembangnya teknologi digital. ”Keberadaan telepon genggam sangat mendukung untuk menciptakan ide kreatif. Kalau anak-anak muda konsisten berkarya, kita bisa membuat terobosan yang mendekati profesional,” ucapnya.
Hanung mengatakan, puluhan tahun lalu sineas muda harus berjuang untuk mendapatkan perhatian publik. Dengan adanya platform digital, sekarang siapa saja bisa memproduksi karya. Di sisi lain, hal itu juga memberikan tantangan karena hanya karya-karya dengan ide segar yang dapat mencuri perhatian penonton.