Pencinta wayang di Ibu Kota beruntung karena rotasi lakon klasik selalu menghadirkan kembali cerita-cerita indah meski di antaranya tragis, seperti halnya ”Abimanyu Gugur”.
Oleh
NINOK LEKSONO
·5 menit baca
Pencinta wayang di Ibu Kota beruntung karena rotasi lakon klasik selalu menghadirkan kembali cerita-cerita indah meski di antaranya tragis, seperti halnya ”Abimanyu Gugur”.
Gugur dalam peperangan bagi ksatria konon merupakan satu hal yang didambakan. Namun, gugur seperti halnya Abimanyu, putra kesayangan Arjuna, sungguh amat menyayat. Abimanyu gugur tidak hanya oleh satu anak panah, tetapi boleh jadi oleh ratusan, bahkan ribuan. Lebih dari itu, tubuh yang sudah diibaratkan diselimuti senjata Kurawa masih hancur karena dilanggar gajah musuh terakhirnya, Jayajatra. Dan puncaknya, gada Kyai Glinggang milik Jayajatra menghancurkan kepala Abimanyu.
Jadi sebenarnya Abimanyu gugur tidak saja akibat luka sekujur tubuh, yang dalam ungkapan Jawa oleh para dalang sering disebut ”tatu arang kranjang” seperti dikutip Ensiklopedia Wayang Indonesia (EWI), tetapi oleh sebab kehancuran tubuh yang sungguh amat memilukan.
Dari cerpen Danarto
Lakon ”Abimanyu Gugur” inilah yang Minggu (23/2/2020) petang dipentaskan kembali melalui olah tari (langen beksan) oleh Sanggar Tari Padneḛcwarapimpinan Retno Maruti bekerja sama dengan Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Sena Wangi) dan Teater Wayang Indonesia (TWI).
Pergelaran Abimanyu Padnecwara tersebut bukan yang pertama karena Retno Maruti tahun 1978 sudah mempergelarkan lakon sedih ini, waktu itu di Teater Arena TIM, Jakarta.
Meski masih berinduk pada kisah Mahabharata, Abimanyu Padnecwara mengadopsi pula inovasi bersumber pada cerita pendek Danarto yang berjudul Nostalgia. Menurut cerpen Danarto, Abimanyu yang sedang galau karena ingin menjadi senapati perang berjumpa dengan seekor katak di tendanya. Terprovokasi oleh ucapan sang katak, yang sebenarnya menambah wawasannya tentang kehidupan, Abimanyu justru ingin membunuhnya. Untung Kresna datang, dan saat itu pula katak menghilang. Kresna merestui Abimanyu menjadi senapati Pandawa.
Didukung putri sang Maestra pemimpin Sanggar, Rury Nostalgia, sebagai pemeran Abimanyu, juga Nungki Kusumastuti sebagai Kresna, dan Yuni Swandiati (Katak), serta Chrystina Ambarwati (sebagai Jayajatra), Abimanyu Padnecwara tampil apik secara koreografi yang ditata Retno Maruti dan Rury Nostalgia.
Sebagai langen beksan, penonton amat dipuaskan oleh ekspresi tari. Namun, karena selebihnya adalah simbolik, penonton masih perlu waktu untuk memastikan, adegan apa yang tengah berlangsung di arena dan siapa saja tokoh yang tengah ambil peran.
Untunglah langen beksan yang didahului dua tarian pembuka—”Pradapa Ngambar” dan ”Pamungkas”—hanya berdurasi sekitar satu jam sehingga penonton tak perlu menunggu lama untuk menyaksikan puncak, yaitu ketika Abimanyu gugur setelah menjadi bulan-bulanan Kurawa.
Suasana ngelangut menyayat ini disampaikan Sembadra— Sang Ibu pahlawan yang gugur—dengan membawa lentera mencari-cari tubuh putra kesayangannya di medan perang yang sangat berdarah pada hari ke-13 Bharatayuda.
Termakan sumpah
Bisa dikatakan Abimanyu Padnecwara merupakan episode akhir dari riwayat ksatria yang bernama lain Angkawijaya atau Jaka Pengalasan ini. Atau dalam ungkapan lain ”Abimanyu in a nutshell”, atau ”Abimanyu secara ringkas”.
Kisah tentang Abimanyu sendiri bisa dimulai dari ragam cerita tentang asal-usul kelahirannya, mulai dari yang standar sebagai hasil perkawinan Arjuna dan Sembadra hingga lahir dari paha Bima dalam lakon ”Kuntul Wilanten”.
Sisi lain yang menarik untuk diungkap tentu saja ”Mengapa Abimanyu harus gugur?” Bukankah ia adalah pewaris Pandawa pilihan para dewa? Dalam pewayangan, Abimanyu adalah peraih Wahyu Cakraningrat setelah mengalahkan putra Hastina Lesmana Mandrakumara dan Samba Wisnubrata.
Menurut kisah, peraih Wahyu Cakraningrat terpilih untuk menurunkan raja-raja Tanah Jawa. Meski hal ini lalu dibenarkan dengan naiknya Parikesit (putra Abimanyu dan Dewi Utari) sebagai raja Hastina seusai Bharatayudha, rasa ingin tahu tetap ada, mengapa sang pemilik wahyu harus gugur dengan cara yang menurut kosakata modern ”sadis” dan ”brutal”?
Jawaban obyektifnya ada dalam salah hitung dalam strategi. Patih Sengkuni (menurut EWI) pada hari ke-13 Bharatayudha menggelar strategi Cakrabhuya yang dimaksudkan untuk menjebak Pandawa agar masuk perangkap. Arjuna yang paham tentang strategi ini dipisahkan dari arena dengan diumpani lawan Prabu Susarma dari Kerajaan Trigarta.
Bima dan Puntadewa sebenarnya tak mau terpancing oleh strategi Kurawa yang menjebak ini. Abimanyu yang masih muda karena merasa tahu tentang strategi Kurawa ini mengajukan diri. Ia mengatakan sanggup menerobos barisan Kurawa, tetapi jujur tidak tahu bagaimana harus keluar. Namun, Puntadewa membesarkan hatinya untuk mendorongnya maju.
Ternyata dalam praktik, Bima dan prajurit Pandawa tak bisa mengikuti gerak maju Abimanyu karena Resi Drona berhasil menghalangi mereka. Abimanyu yang terpacu oleh darah mudanya semakin jauh dari perlindungan. Jadilah ia santapan empuk bagi Kurawa dan melahirkan tragedi yang menyebabkan Arjuna marah luar biasa dan bersumpah bahwa ia akan bunuh diri jika esok ia tak bisa membinasakan Jayajatra.
Di luar penjelasan kegagalan merespons siasat Kurawa, tragedi Abimanyu terjadi karena ia termakan sumpah. Saat ingin memperistri Utari dari Kerajaan Matswapati, Abimanyu yang sudah beristri Dewi Siti Sundari menjawab pertanyaan Utari bahwa dirinya masih bujangan. Dan saat didesak Utari, ia bersumpah bahwa kalau ia bohong, kelak dalam Bharatayudha ia akan gugur dengan cara aniaya dengan tubuh penuh luka.
Penjelasan itu kiranya bisa menjawab pertanyaan penonton yang memendam pertanyaan, mengapa Abimanyu sang putra mahkota Pandawa harus gugur secara keji? Ternyata Wahyu Cakraningrat hanya membenarkan tentang nasib keturunan, tetapi bukan nasib sang penerima wahyu.
Terkait dengan wahyu, pencinta wayang juga bisa mengenang lakon ”Begawan Mintaraga”, di mana saat ditanya tentang keinginannya oleh Bathara Indra, Arjuna hanya mengatakan, Pandawa selamat dan unggul dalam Bharatayuda. Jawaban ini melahirkan takdir dewa yang tak kalah miris, yaitu bahwa memang Pandawa unggul dalam Bharatayuda, tetapi semua anak yang ikut bererang tumpes, gugur, termasuk Gatotkaca, yang berotot kawat dan bertulang besi. Abimanyu tak disangsikan lagi, termasuk dalam takdir itu.