Alam dan seisinya tak henti menjadi inspirasi para perancang mode dalam berkarya. Itulah sebabnya, sudah selayaknya mereka pun memberikan sumbangsih untuk keberlangsungan alam.
Oleh
FRANSISCA ROMANA NINIK
·4 menit baca
Alam dan seisinya tak henti menjadi inspirasi para perancang mode dalam berkarya. Itulah sebabnya, sudah selayaknya mereka pun memberikan sumbangsih untuk keberlangsungan alam. Sebuah langkah kecil, tetapi ketika dilakukan banyak perancang busana, dampaknya akan besar.
Ajakan tersebut digaungkan dalam pergelaran ”Fashion Rhapsody” yang berlangsung pada 26-29 Februari 2020 di The Tribrata, Jakarta Selatan. Mengusung tajuk ”Harmoni Bumi”, para inisiatornya beritikad untuk menularkan kegairahan mencipta mode sembari mengindahkan hal baik terhadap Bumi.
”Ini sebagai tanggung jawab untuk mengembalikan apa yang telah kami ambil dari Bumi. Teman-teman desainer ingin membuktikan bahwa dunia mode yang dikenal hura-hura saja ternyata dapat menyisipkan pesan peduli lingkungan,” ujar desainer Ariy Arka, salah satu pendiri ”Fashion Rhapsody”.
Ariy Arka bersama Yulia Fandy, Ayu Dyah Andari, dan Chintami Atmanagara menggandeng sekitar 80 perancang busana untuk menggelar karya mereka. Tak hanya di atas landas peraga, tetapi juga pameran produk dalam bazar.
Selama empat hari digelar peragaan busana dengan tema-tema tertentu yang menjadi napas setiap karya, yakni Savana, Silk Lagoon, Secret Forest, dan Wysteria.
Tema Savana mengumpamakan wilayah terbuka yang didominasi padang rumput. Karya-karyanya merepresentasikan masa awal ketika tanah belum ditanami apa pun. Silk Lagoon diibaratkan saat padang rumput itu sudah mulai ditumbuhi pepohonan dan dihuni makhluk hidup.
Dalam tema Secret Forest, alam digambarkan mulai lelah dengan eksploitasi manusia yang cenderung merusak sehingga semakin sedikit lahan tersisa untuk hidup. Adapun tema Wysteria mengisahkan alam yang bersemi kembali setelah rusak dan memberi harapan baru.
”Kami mengambil tema ini untuk menyadarkan diri sendiri bahwa kita perlu berbuat sesuatu untuk menunjukkan kepedulian pada alam. Mulai dari diri sendiri dulu saja, meskipun dari hal yang paling sederhana sekalipun,” kata Yulia Fandy.
Menurut dia, dunia mode dinilai sebagai salah satu penyumbang limbah terbesar. Untuk itu, perlu dipikirkan agar limbah tersebut bisa diolah kembali menjadi sesuatu yang berharga dalam rancangan para desainer.
Tren mode secara global kini juga perlahan bergeser ke arah mode berkelanjutan, mulai dari penggunaan material yang ramah lingkungan, pemanfaatan bahan-bahan sisa rancangan sebelumnya, hingga perancangan ulang baju-baju lama dengan sentuhan baru untuk memperpanjang usia pemakaiannya (upcycle).
Parade
Saat malam pembukaan, Rabu (26/2/2020), sebanyak 12 perancang busana, antara lain Kami, Qonita Gholib, Rasyid Salim, Adinda Moeda, Sugeng Waskito, dan Dana Duriyatna, memamerkan masing-masing dua tampilan dalam sebuah parade sebagai sorotan rancangan. Busana tersebut pada umumnya terinspirasi oleh alam serta teraplikasikan dalam material dan warna.
Jenama (brand) Kami mengusung busana modest wear atau mode terbatas dengan nuansa warna earthy atau tanah. Tampilan simpel diberi aksen lipit pada ujung lengan, atasan, dan bawahan sehingga tidak terlihat datar.
Adinda Moeda menyuguhkan penggunaan kain tenun ikat khas Sumba yang dipadukan dengan material lembut, seperti tule dan organsa, dalam gaun rancangannya sehingga tampak dinamis.
Gaun pendek berwarna dasar merah berpadu dengan kain putih lembut pada bagian lengan panjang dan dada. Atasan berbentuk kemben dari ikat warna hitam disandingkan dengan gaun lembut berlapis warna kuning terang.
Corak etnik juga dibawa desainer Dana Duriyatna dan Sugeng Waskito. Sugeng—melalui lini Gee Batik by Sugeng Waskito—mengetengahkan gaun panjang longgar yang berkibar bagaikan sayap lebar. Baju dengan warna dominan merah dan biru keunguan disertai motif abstrak dan bulatan putih pada bagian ujung-ujung gaun ini menggunakan material yang berkesan ringan dan jatuh saat dipakai.
Dana mengeksplorasi warna monokrom pada material kain etnik dengan paduan kain lembut. Gaun panjang bertali tipis berwarna dasar hitam dengan bagian bawah nuansa etnik berwarna putih diberi aksen ekor memanjang tampak simpel, namun tetap anggun.
Begitu juga atasan motif etnik warna putih diberi bawahan hitam yang lembut dengan aksen obi. Sederhana, tetapi justru tampak menawan.
Kondisi lingkungan
Tidak sekadar bicara, bersama para perancang busana peserta ”Fashion Rhapsody”, keempat pendirinya juga menghadirkan karya yang berwawasan lingkungan. Ariy Arka, misalnya, memanfaatkan ajang ini untuk pergelaran tunggal pertamanya setelah delapan tahun berkarya dalam koleksi bertajuk ”Kemelut”. Ariy menggunakan limbah dari sisa benang dan kain rancangan sebelumnya, lalu membentuknya menjadi detail yang unik.
”Saya terinspirasi situasi dan kondisi lingkungan yang melanda dunia. Ada virus korona, ada bencana alam, ada juga ancaman kesehatan dari industri mode,” paparnya.
Ayu Dyah Andari masih terinspirasi dari bunga mawar, seperti rancangannya sebelumnya. Namun, kini dia memanfaatkan kain perca sisa potongan dari karya terdahulu dan diaplikasikan sebagai bunga-bunga mawar pada gaun.
Salah satu rancangan yang ditampilkan adalah gaun pengantin dari sisa perca organdi dan satin berbentuk bunga mawar yang disusun menjadi gaun bergaya Eropa klasik.
Adapun Chintami menampilkan motif kupu-kupu dalam rancangannya sebagai pengingat bahwa masih banyak orang yang menangkap hewan itu dan mengawetkannya dengan air keras. Chintami memakai batik garutan sebagai material utamanya.
Yulia Fandy dalam rancangannya bekerja sama dengan perajin di Sumatera Selatan yang mengolah kain dengan pewarna alam.
”Warna alam itu diambil dari buah-buah yang jatuh di perkebunan karet. Mereka tidak memetik atau menebang, hanya mengambil sampahnya jadi pewarna alam,” tutur Yulia.