Rentan Ditipu, Kesadaran Keamanan Digital Masyarakat Indonesia Masih Rendah
Penipuan dengan modus memanipulasi kondisi psikologi korban masih saja tetap marak, terlebih lagi melalui media percakapan di aplikasi transportasi daring. Kesadaran keamanan digital di Indonesia masih sangat rendah.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penipuan dengan modus memanipulasi kondisi psikologi korban yang masih saja tetap marak, terlebih lagi melalui media percakapan di aplikasi transportasi daring. Terjadinya kasus secara berulang-ulang diyakini disebabkan kompetensi keamanan digital yang rendah dari masyarakat Indonesia.
Sebuah penelitian Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada berjudul ”Kajian Peningkatan Kompetensi Keamanan Digital di Indonesia” menyimpulkan bahwa kompetensi keamanan digital masyarakat Indonesia masih pada tingat dasar hingga menengah.
Dalam laporan yang dipublikasikan pada Jumat (28/2/2020) di Jakarta tersebut, kompetensi keamanan digital yang rendah diyakini menjadi faktor utama masih maraknya penipuan bermodus manipulasi psikologis atau biasa dikenal sebagai rekayasa sosial (social engineering).
Praktik semacam ini sudah terjadi sepanjang masa. Kenapa ini masih terjadi? Apakah ini artinya kita tidak belajar apa yang sudah terjadi sebelumnya?
Padahal, menurut Adityo Hidayat, Adjunct Researcher CfDS UGM, penipuan dengan modus manipulasi psikologis melalui perangkat telekomunikasi sudah muncul sejak lama. Contoh praktik penipuan dalam kategori ini antara lain undian berhadiah, SMS ”papa-mama minta pulsa”, dan pemalsuan laman situs web (web phishing).
”Praktik semacam ini sudah terjadi sepanjang masa. Kenapa ini masih terjadi? Apakah ini artinya kita tidak belajar apa yang sudah terjadi sebelumnya?” ujar Adityo dalam acara peluncuran inisiatif #AmanBersamaGojek di Jakarta, Jumat (28/2/2020).
Kajian ini meneliti berbagai kejadian penipuan digital yang terjadi Indonesia dan kemudian dibandingkan dengan parameter Europass Digital Competence yang berlaku di Uni Eropa.
Menurut kajian tersebut, seseorang yang hanya memiliki kompetensi keamanan digital tingkat dasar berarti masih rentan terhadap penipuan rekayasa sosial. Hal ini karena pengguna belum mengerti risiko yang dihadapi ketika ia memperlakukan fitur keamanan secara kurang bijaksana: seperti membagikan kode one-time password atau informasi rahasia lainnya.
Adapun tingkat menengah mengacu pada individu yang sudah mengetahui sebagian dasar keamanan digital. Namun, mereka masih rentan ditipu menggunakan perintah dalam perangkat ponsel yang belum diketahui secara umum, seperti memutar nomor telepon yang diawali dengan kode *21* untuk mengaktifkan fitur pengalihan panggilan (call divert/forwarding).
Perhatian publik terhadap praktik penipuan menggunakan manipulasi psikologis dalam beberapa waktu terakhir semakin meningkat karena terjadinya insiden ini melalui medium aplikasi transportasi daring, seperti Gojek dan Grab. Terlebih lagi, sejumlah tokoh publik, seperti Maia Estianti dan Aura Kasih, menjadi korban penipuan serupa.
”Apabila kompetensi pengetahuan kita sebagai pengguna teknologi digital bisa ditingkatkan dan diperbarui terus-menerus, ini akan memutus rantai kasus penipuan,” kata Adityo.
Edukasi terhadap masyarakat dinilai Adityo menjadi cara yang paling ampuh untuk mengurangi potensi terjadinya penipuan rekayasa sosial tersebut. Namun, edukasi yang diberikan harus melalui contoh-contoh konkret sehingga ada pemahaman yang komplet bagi pengguna.
Co-CEO Gojek Kevin Aluwi menyatakan, pihaknya telah berupaya memulai memberikan edukasi dengan konten yang lebih mudah dicerna.
Contohnya adalah video administrator akun Instagram Gojek yang mengonfrontasi penipu melalui telepon. Dalam video tersebut, si penipu berusaha meyakinkan calon korbannya untuk mengirimkan uang melalui akun virtual bank dengan dalih metode pembayaran Gopay sedang bermasalah.
”Ini modus yang populer. Saya sendiri pernah ditelepon 2-3 kali. Saya kesal karena ini penipuan yang mengatasnamakan mitra-mitra Gojek yang jujur dan bekerja keras,” kata Kevin. Video yang diunggah pada 11 Februari lalu telah ditonton 4,7 juta kali.
Selain itu, Kevin mengatakan, Gojek juga telah mengimplementasikan peringatan dugaan penipuan di dalam aplikasi percakapan Gojek. Sistem Gojek akan mendeteksi bahwa salah satu pihak, baik driver maupun pengguna, berupaya meminta pihak lainnya melakukan hal tertentu. Sebuah peringatan di dalam ruang chat tersebut akan muncul.
”Bagi Gojek, rasa aman dan keselamatan adalah prioritas utama,” kata Kevin.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerina Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengapresiasi langkah Gojek yang dinilainya tanggap dalam melihat situasi masyarakat saat ini.
”Kami mengapresiasi langkah Gojek sebagai pemain di industri yang tanggap dalam melihat situasi ini dan memasukkan edukasi sebagai salah satu fokus melalui program peningkatan literasi digital bagi masyarakat luas yang berkelanjutan,” kata Semuel melalui keterangan tertulis.
Dengan sejumlah langkah yang diambil Gojek tersebut, Aura Kasih menilai setiap upaya pemberian edukasi kepada masyarakat pengguna memiliki peran yang sangat penting untuk mencegah penipuan serupa terulang kembali.
”Buat saya sebagai masyarakat awam, edukasi ini hal yang sangat bagus karena ini tidak hanya mengedukasi pengguna, tetapi juga kepada driver-nya,” kata Aura. Pada November 2019, Aura merugi hampir Rp 11 juta akibat termakan praktik penipuan tersebut.