Seberapa Perlu Aplikasi Percakapan Khusus Urusan Pekerjaan?
Masyarakat Indonesia biasa menggunakan aplikasi percakapan personal untuk segala urusan dalam kesehariannya, dari urusan pribadi dengan keluarga hingga persoalan kantor. Apakah perlu aplikasi percakapan khusus kantor?
Masyarakat Indonesia biasa menggunakan aplikasi percakapan personal untuk segala urusan dalam kesehariannya, dari urusan pribadi dengan keluarga hingga persoalan kantor. Apakah perlu aplikasi percakapan khusus kantor?
”Semuanya di Whatsapp,” ujar Rara (27), karyawan sebuah nonprofit asing di Jakarta pada Kamis (27/2/2020) sore saat ditanya Kompas mengenai kebiasaan kantornya dalam berkomunikasi.
Rara menjelaskan bahwa hampir semua urusan komunikasi di kantor menggunakan Whatsapp; dari pengiriman dokumen, mempersiapkan presentasi, hingga untuk menghubungi klien.
Kehidupan pribadi Rara pun juga telah mengakar kuat dalam aplikasi percakapan personal milik raksasa teknologi Facebook itu. ”Jadi, urusan kerjaan, seperti minta izin sakit ke kantor, sampai janjian sama pacar dan ngobrol di grup keluarga besar, ada di situ semua,” kata Rara.
Akibatnya, Rara merasa kehidupan profesional dan pribadi yang teraduk-aduk. Terkadang, Rara rindu dengan suasana kantornya yang lama, di mana ia diberi ponsel operasional dari kantor. ”Jadi, hp-nya dua. Bisa dimatiin pas Sabtu atau Minggu,” ujarnya.
Praktikalitas Whatsapp memang menjadi salah satu faktor penyebab luasnya penggunaan aplikasi ini. Berdasarkan pengalaman Kompas, kubu pasangan calon presiden-calon wakil presiden pada masa menjelang Pemilu 2019 pun menggunakan grup Whatsapp sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan wartawan berbagai media.
Padahal, frase ”friends and family”, hanya teman dan keluarga, yang tercantum pada kalimat pertama dalam laman ”About” milik Whatsapp.
Kondisi yang dialami Rara bukanlah sesuatu yang aneh di masyarakat perkotaan Indonesia saat ini. Secara umum, Whatsapp, yang sejatinya merupakan aplikasi untuk percakapan personal dengan kawan dan keluarga, juga digunakan untuk seluruh urusan telekomunikasi.
Hal yang sebetulnya lumrah, mengigat, menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebanyak 83 persen dari 171 juta pengguna internet Indonesia merupakan pengguna Whatsapp.
Peluang dalam kolaborasi
Kondisi tercampurnya urusan pribadi dan pekerjaan ini seakan menciptakan peluang untuk munculnya sejumlah aplikasi percakapan khusus urusan kantor. Hampir semua perusahaan teknologi memiliki produk masing-masing.
Contohya, Facebook mengeluarkan Workplace, lalu ada Microsoft Teams, Google mempunyai G Suite, dan Lark dari Bytedance. Mereka ini adalah salah sedikit dari aplikasi yang dapat dimasukkan dalam kategori ”collaborative software” atau perangkat lunak kolaboratif.
”Dengan aplikasi semacam ini, ada pembatasan antara work dan personal life,” kata Yeong Jenq Lee, ASEAN Territory Manager dari Bytedance Lark, dalam seminar pengenalan produk, hasil kerja sama dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Komite Singapura, Kamis (27/2/2020), di Jakarta.
Bytedance merupakan perusahaan teknologi China yang mungkin lebih dikenal melalui produknya. Aplikasi berbagi video populer TikTok adalah salah satunya.
Secara prinsip, sejumlah aplikasi tersebut mirip dengan aplikasi chatting personal biasa. Namun, agar ada daya tarik tambahan bagi perusahaan untuk mengadopsinya, banyak fitur pendongkrak produktivitas juga disematkan dalam aplikasi kolaboratif tersebut.
Jenq menjelaskan, dalam Lark, para karyawan dalam sebuah perusahaan dapat berdiskusi dengan luwes seperti dalam chat room personal, tetapi juga dapat mengirimkan formulir digital untuk reimburse tiket perjalanan hingga izin cuti.
Dengan sistem yang terbuka, chat room Lark dapat menerima laporan dari aplikasi pendukung operasional perusahaan secara otomatis, misalnya berbagai software buatan SAP, seperti SAP CRM, ERP, dan SCM.
Bahkan dengan mengadopsi teknologi dari TikTok, ada fitur video-call dengan transkrip dan penerjemahan otomatis. ”Ini adalah super-app untuk internal perusahaan Anda,” kata Jenq. Lark resmi diluncurkan pada April 2019.
Microsoft Teams, diluncurkan pada 2017, juga telah memiliki fitur yang serupa. Selain percakapan biasa, Microsoft Teams memungkinkan penyelenggaraan rapat virtual melalui konferensi video dengan anggota hingga 10.000 orang.
Ini adalah super-app untuk internal perusahaan Anda.
Dengan paket aplikasi Office yang sudah sangat populer, pengguna Teams pun dapat berkolaborasi dalam menyusun dokumen Word, PowerPoint, ataupun Excel secara bersama-sama.
Slack mungkin dapat disebut sebagai pionir dalam aplikasi percakapan kantor ini. Sejak awal dirilis pada 2013, Slack telah mengintegrasikan aplikasi percakapannya dengan berbagai aplikasi produktivitas yang lain, seperti Google Docs, Dropbox, GitHub, dan Zendesk. Majalah bisnis Fast Company pada 2013 menyebut Slack sebagai e-mail killer.
Berdasarkan catatan The New York Times pada 2019, Slack telah digunakan lebih dari 65 perusahaan yang tergabung dalam Fortune 100—seratus perusahaan terbesar Amerika Serikat.
Baca juga : Bisnis Komputasi Awan, Inti dari Transformasi Digital
Pada April 2019, Slack melaporkan, secara total ada 95.000 perusahaan yang telah membayar untuk mengadopsi Slack sebagai sarana komunikasi internal. Institusi ternama dunia, seperti BBC, IBM, Vodafone, dan NASA Jet Propulsion Laboratory, tercantum dalam laman pengguna di situs Slack.
Pangsa pasar aplikasi dalam kategori kolaboratif ini, menurut firma riset IDC, saat ini secara total telah bernilai 3,5 miliar dollar AS. Dan akan terus berkembang. Berdasarkan laporannya yang berjudul ”Worldwide Collaborative Applications Forecast 2018–2022”, pangsa pasar iniakan tumbuh 70 persen hingga tahun 2022.
”Work-life balance”?
Namun, apakah sejumlah aplikasi ini berhasil efektif dalam menjaga pemisahan antara percakapan pribadi dan pekerjaan? Yang pada akhirnya akan memberikan keseimbangan pada neraca work-life balance para pekerja?
Stephen R Barley, profesor bidang manajemen teknologi dari University of California Santa Barbara, berargumentasi bahwa seluruh teknologi telekomunikasi, bahkan termasuk surat elektronik (surel), pada dasarnya telah mengapropriasi atau merebut waktu pekerja dari awal matahari terbit hingga mereka akan tidur tanpa ada insentif ganti rugi.
Sebelum ada teknologi telekomunikasi yang canggih, urusan pekerjaan akan berhenti ketika pekerja meninggalkan kantor.
”Ini adalah encroachment—pelanggaran batas oleh dunia kerja terhadap ruang-ruang lain dalam kehidupan pekerja,” kata Barley yang dikutip The New York Times dalam artikel ”Slack Wants to Replace Email. Is That What We Want?” tertanggal 19 Juni 2019.
Dalam artikel itu disebutkan, kunci penting dalam work-life balance kini dipegang oleh para bos untuk memberikan kepastian mengenai apa yang harus dilakukan pekerja terhadap setiap pesan yang dikirimkan melalui apakah itu surel, Whatsapp, Slack, Lark, atau apa pun di luar jam kerja.
Baca juga : Peraturan Buruh di Era Industri Digital
Tanpa aturan yang jelas, keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional akan sulit tercapai, apa pun medium komunikasi internal perusahaannya.
Mungkin hal ini yang terjadi pada Rara dan para pekerja lain yang kantornya menggunakan Whatsapp untuk berkoordinasi setiap harinya. Seluruh urusan pekerjaan Rara dan kehidupan pribadinya memang tergabung menjadi satu di Whatsapp, tetapi ia tidak terlalu keberatan.
”Untung si bos humanis. Kalo enggak urgent, enggak mau ganggu. Sebab, dia juga ingin mendapat perlakuan yang sama kayaknya,” ujarnya, terkekeh.