Sehat dan Gembira dengan Berkesenian
Berkesenian tak hanya membuat orang lebih manusiawi, tetapi juga mampu mendatangkan banyak manfaat lain. Dengan berkesenian, orang bisa menjadi lebih sehat, bugar, dan yang terpenting, lebih bergembira.
Gembira lewat kehangatan pertemanan di lingkungan itu. Tak heran kini sebagian masyarakat urban ikut berkesenian.
Sejumlah perempuan cantik usia paruh baya bersemangat membawakan tarian Engke Engkean pada Sabtu (15/2/2020) pagi yang cerah. Tidak hanya lincah, gerakan tubuh mereka juga masih terlihat lentuk, luwes, dan gemulai, selaras dengan alunan musik tradisional pengiring berjudul sama.
Sesuai jadwal, mereka berlatih rutin di aula Sanggar Tari Indra Kusuma. Aula itu terbilang luas dan baru saja direnovasi. Aroma bangunan baru samar masih tercium. Benderang cahaya matahari pagi masuk lewat langit-langit, yang sebagian berkaca transparan, skylight.
Beberapa saat lalu langit-langit gedung sanggar dikawasan Jatiwaringin, Pon-
dok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat, itu ambruk karena lapuk.
Kini, suasana latihan di aula itu terasa lebih hangat dan bersemangat. Mereka dipandu oleh dua pelatih, yakni Desiana Nur Indra Kusumawati (44) dan Deviana Nur Indrawati (38). Keduanya anak tengah dan bungsu dari pasangan pendiri sanggar, Nursyamsu (81) dan Mariawati (76).
Seorang penari harus mampu mengolah wiraga atau gerakan badan (raga), wirasa atau melatih rasa dan penghayatan gerakan, dan wirahma atau kemampuan menyelaraskan gerakan dengan irama musik pengiring.
Tari Engke Engkean adalah semacam ”menu” wajib bahan latihan. Gerakannya terdiri dari sejumlah teknik tarian dasar, seperti gerakan buang selendang, ukel, kewer, ayun, dan loncat. Walau sekilas tampak ringan, gerakan-gerakan itu membutuhkan waktu dan kesabaran agar bisa dikuasai dengan baik.
Menurut Deviana, setiap gerakan tari menuntut banyak koordinasi dan sinkronisasi. Seorang penari juga harus mampu mengingat satu per satu gerakan, melakukannya, sambil juga menyesuaikan dengan tempo dan irama musik pengiring. Tingkat kesulitan semakin bertambah saat tampil dalam pementasan.
”Seorang penari harus mampu mengolah wiraga atau gerakan badan (raga), wirasa atau melatih rasa dan penghayatan gerakan, dan wirahma atau kemampuan menyelaraskan gerakan dengan irama musik pengiring. Ketiga hal itu dinilai saat ujian,” ujar Deviana, yang lulusan S-2 Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI).
Motivasi menari
Ada banyak alasan memotivasi sejumlah ibu tadi untuk giat berlatih tari. Awalnya, kebanyakan dari mereka sekadar mengantar anak masing-masing untuk mengikuti kursus menari di Sanggar Indra Kusuma.
Akhirnya, mereka tertarik ikut berlatih. Apalagi kebanyakan dari mereka pernah belajar seni tari saat masih sekolah atau kuliah. Aktivitas menari sang anak itulah yang mempertemukan kembali para ibu ini dengan kegemaran lama mereka.
”Saat masih kuliah di ITB, saya aktif ikut kegiatan menari, baik di kampus maupun di sanggar. Berhubung setiap malam Minggu seringnya jomblo, dulu saya juga sering ikut mentas, salah satunya di restoran hotel bintang lima terkenal di Bandung,” papar Bidasari Kartika (49), bangga.
Bida, begitu dia akrab disapa, adalah insinyur spesialisasi alat berat, lulusan S-2
teknik industri. Empat tahun terakhir, dia bertahan rutin belajar tari bersama putri bungsunya.
Di usia seperti sekarang, saya harus bisa menjaga kesehatan tubuh dan otak.
Hal serupa dirasakan Roro Siliasih (54) yang sudah empat tahun belajar menari. Perempuan lulusan Fakultas Sastra UI Jurusan Sastra Jerman ini mengaku memilih kursus menari setelah perusahaannya memberi tunjangan pelatihan untuk kebugaran dan kesehatan karyawannya.
Baginya, selain membuat bugar, menari juga dapat melatih kinerja otak. Menari
memaksanya menghafalkan gerakan-gerakan yang harus dibawakan sesuai pakemnya. ”Di usia seperti sekarang, saya harus bisa menjaga kesehatan tubuh dan otak,” ujar Roro.
Kelak dia ingin mengajar tari secara gratis ke anak-anak di sekitar tempat tinggalnya. Alasan kesehatan dan kebugaran juga dikemukakan Sam August Himawan (46), konsultan hubungan masyarakat dan tanggung jawab sosial perusahaan, serta Yosephine Edita Purbasari (41), seorang akuntan bank.
Yosephine pernah mencoba yoga, tetapi malah sakit kepala berat dan tremor di kedua tangannya. Sementara Sam meyakini gerakan-gerakan dalam tari dapat membantu dirinya menjaga kesehatan otak dan keseimbangan tubuh.
”Saya sekarang sedang mendalami tari Jawa, gambir anom. Tarian ini pantasnya dibawakan pria bertubuh langsing dan gagah. Berat badan saya memang tidak ideal. Namun, mempelajari tarian ini secara tidak langsung saya anggap memotivasi supaya saya menguruskan badan, ha-ha-ha...,” kelakar Sam.
Adapun Endah Kusumowardhani (46)sengaja mengarahkan kedua anaknya belajar tari, khususnya tarian Bali, untuk memberi teladan kepada anak-anaknya soal pentingnya menguasai seni tradisional negerinya sendiri.
”Saya melihat anak-anak seperti kelelahan dengan beban pelajaran sekolah. Mereka haus hiburan,” ungkap Endah, dokter dan salah satu kepala bidang di lingkungan Kementerian Kesehatan.
Sejak lima tahun terakhir, mereka bertiga terus berlatih bersama tarian Bali di Sanggar Indra Kusuma. Endah bahkan pernah tampil sepanggung menari bersama salah seorang anaknya di salah satu pementasan di Galeri Indonesia Kaya (GIK) Jakarta tahun 2017.
Efek terapeutik
Seni tradisi yang hadir di tengah kaum urban ternyata juga memiliki dampak lain yang berguna, seperti efek penyembuhan diri dan terapi (terapeutik) penghilang kepenatan. Hal itu sangatlah berguna terutama di tengah kebisingan serta hiruk-pikuk kehidupan kota besar seperti Jakarta.
Dampak terapeutik dan penyembuhan diri itu diakui sangat dirasakan Ratna Dewi D Boediono (82), penasihat Sanggar Bapontar, sanggar musik kolintang di Jakarta. Ratna aktif bermain kolintang sejak tahun 2007, tujuh tahun semenjak kepulangannya dari Amerika Serikat (AS).
”Saya merasakan sendiri, ketika kepala terasa nyut-nyutan, rasa pusing itu hilang setelah bermain musik tradisi kulintang. Selain itu, di kolintang juga ada harmonisasi suara dari alat musik kayu. Keindahan ini keluar seperti dalam kehidupan, harmonis, dan selalu menghadirkan keindahan,” ujar Ratna.
Dampak sama juga diakui dirasakan para anggota Bapontar Ladies, kelompok kolintang yang juga diikuti Ratna. Para ibu anggota grup musik kolintang itu menyebut, bermain kolintang menghilangkan stres dan pikun.
”Ketika bermain kolintang, ada tingkat stres yang cukup mengasyikkan, ketika berusaha menghafal notasi, lalu main dengan notasi yang panjang dan sulit,” ujar Lisa Luniarti (60), yang bergabung di Bapontar Ladies tahun 2014.
Kelompok musik kolintang Bapontar Ladies berdiri tahun 2013. Ini berawal dari grup kolintang Nandayu di bawah Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia (Pipebi).
Beraktivitas dalam berkesenian juga membawa efek membahagiakan, seperti dialami Siti Sindarini (70), pegiat seni tradisi di Rumah Budaya Nusantara (RBN) Puspo Budoyo di Ciputat, Tangerang Selatan. Dia diserahi tugas mengurusi program muhibah atau lawatan pementasan seni tradisi Puspo Budoyo ke luar negeri.
Siti yang juga pemilik kantor jasa penilai publik di Jakarta Selatan memilih aktif di sana sepeninggal suaminya yang seorang banker pada 2004. Siti ditemui saat pementasan drama tari Roro Jonggrang di RBN Puspo Budoyo, Minggu (16/2/2020).
”Selama ini saya merasa bahagia berada di tengah komunitas pelaku seni tradisi. Kunci kebahagiaannya adalah ketika saya merasa diperlukan orang lain,” ujarnya.