Hujan yang mengguyur sejak pagi tak mampu melunturkan gairah menjelajahi sudut-sudut Milan. Emilio, pemandu petualangan kecil ini, sigap menyiapkan jas hujan dan segway.
Oleh
Agung Setyahadi
·5 menit baca
Milan tak kehilangan pesonanya di bawah guyuran hujan. Metropolitan yang glamor dan sibuk di sisi utara Italia itu justru menampakkan wajahnya yang kalem. Genangan air yang memantulkan menara-menara kastil kuno, serta daun-daun kering yang berguguran di jalanan, membingkai atmosfer romantis yang abadi dalam memori.
Hujan yang mengguyur sejak pagi tak mampu melunturkan gairah menjelajahi sudut-sudut Milan. Emilio, pemandu petualangan kecil ini, sigap menyiapkan jas hujan dan segway. Transporter personal beroda dua dengan sensor keseimbangan itu meluncur di Via Rovello kemudian berbelok ke kiri di pertigaan Via Dante. Dari kejauhan, terlihat Menara Filarete yang menjulang di gerbang benteng abad pertengahan Kastil Sforzesco.
Roda segway membelah Via Dante yang kuyup. Di kiri-kanan jalan, berbagai butik mode berderet, menggoda libido belanja. Namun, misi besar hari itu adalah menjelajahi sisi lain Milan. Segway yang melaju beriringan di bawah rintik hujan seperti ditatap tajam oleh patung patriot Italia, Giuseppe Garibaldi, yang menunggang kuda. Tak jauh dari patung itu, terdapat air mancur di depan Kastil Sforzesco.
Hujan semakin deras dan genangan air yang bermunculan menjadi gelanggang permainan untuk dilibas dengan roda segway. Kegembiraan yang sederhana itu menegaskan kebenaran perkataan spriritualis Deepak Chopra, ”Berbahagia tanpa alasan, seperti anak-anak”.
Emilio sudah memanggil untuk berkumpul di taman berumput hijau di depan gerbang Kastil Sforzesco. Suporter klub sepak bola Inter Milan itu mulai mengisahkan kastil yang menjadi saksi perebutan kekuasaan bangsawan Italia, juga ekspansi Perancis, Spanyol, dan Austria itu. Kastil ini mulai dibangun pada abad ke-14 di era keluarga bangsawan Visconti. Benteng yang menjadi tempat tinggal bangsawan serta barak prajurit itu dihancurkan saat Republik Ambrosia Emas mengambil alih kekuasaan pada 1447.
Francesco Sforza, yang merebut kembali kekuasaan pada 1450, mulai membangun ulang kastil itu. Para penerusnya meluaskan bangunan serta menghias interiornya, salah satunya dengan lukisan fresco karya seniman Leonardo da Vinci di beberapa ruangan.
Setelah unifikasi Italia pada abad ke-19, kastil diserahkan ke pemerintah dan kini bangunan-bangunan di dalamnya menjadi sejumlah museum seni. Setelah revitalisasi itu, kastil benar-benar menjadi kebanggaan warga Milan. Pada masa lalu, benteng itu lebih menyimbolkan tirani para bangsawan dan penjajahan bangsa asing.
Di belakang Kastil Sforzesco, yang diambil dari nama Francesco Sforza itu, terdapat taman sangat luas Parco Sempione yang dibelah jalan berpasir putih. Jalan itu menghubungkan kastil dengan Arena Civica, stadion kuno peninggalan Napoleon Bonaparte, yang kini bernama Arena Gianni Brera sebagai penghargaan pada jurnalis olahraga Italia.
Stadion ini pernah menjadi markas Inter Milan dan AC Milan sebelum mereka pindah ke Stadion Giuseppe Meazza. Inter bermarkas di Arena Civica pada 1930-1947. Tempat itu pun menjadi saksi sejumlah kemenangan epik ”Nerazzurri” juga gelar-gelar scudetto. Pemain legendaris Giuseppe Meazza mencetak lebih dari setengah total golnya bersama Nerazzurri, 282 gol, di Arena Civica.
Kini stadion berbentuk oval dengan lintasan lari di sekeliling lapangan digunakan untuk pusat latihan atletik. Berbagai kegiatan juga digelar di tempat ini, termasuk sejumlah konser musisi top dunia, seperti Lenny Kravitz, Rod Stewart, Ringo Starr, dan Radiohead.
Tak pernah selesai
Hujan mulai reda, menyisakan rintik-rintik. Namun, tubuh yang telanjur basah mengajak segera menikmati cokelat panas di kedai yang hangat. Emilio tahu gelagat tubuh orang negeri tropis yang tak tahan dingin. Roda segway pun menggelinding menuju titik awal perjalanan. Selepas santap siang, matahari mulai bersinar menghangatkan hari. Semangat pun kembali bangkit untuk mengeksplorasi Katedral Milan yang lebih dikenal dengan Duomo.
Bangunan bergaya gotik yang dibangun hampir 600 tahun ini merupakan gereja terbesar di Italia, ketiga di Eropa, dan kelima di dunia. Katedral ini sangat besar, berukuran 158,6 meter x 92 meter dengan titik tertinggi 108 meter. Gereja yang bangunan awalnya dirintis pada 1386 ini baru selesai dibangun pada 1965. ”Namun, Duomo tidak pernah selesai, perawatan dan renovasi terus berlanjut sepanjang tahun. Duomo tidak pernah selesai dibangun,” ujar Gracia, pemandu di Duomo.
Pembangunan Duomo melibatkan 78 arsitek dari berbagai masa. Karena itu, Duomo dinilai mengadopsi terlalu banyak gaya bangunan. Namun, Duomo tetap memukau. Menara-menara runcing yang menjulang di atap Duomo memantul di genangan air di pelataran gereja. Wisatawan berkerumun memadati halaman, mencari celah untuk wefie. Kerumunan itu mengingatkan pada pesan Emilio supaya berhati-hati. ”Kalau diajak bicara oleh perempuan yang cantik, hati-hati, biasanya mereka komplotan copet. Dia akan membuat kamu lengah dan temannya mencopet dari belakang,” pesan Emilio.
”Perempuan itu semakin cantik memang semakin berbahaya,” canda Emilio disambut tawa.
Katedral
Sebelum masuk katedral, barang-barang di dalam tas diperiksa oleh penjaga yang memasang tampang serius. Saat melihat syal dan memorabilia Inter Milan yang dibeli dari Stadion Giuseppe Meazza, penjaga itu langsung teriak meledek. Ternyata dia suporter AC Milan, rival bebuyutan Inter. ”Bagaimana mungkin kamu menyukai Inter, tak masuk akal,” ujarnya meledek diiringi tawa kami.
Ruangan katedral remang- remang. Pengunjung bercampur dengan orang yang mau beribadah. Pilar-pilar besar dan tinggi dari marmer menyangga atap bergaya gotik yang menawan. Di dinding sisi kanan terdapat jasad orang-orang suci yang disimpan di dalam peti kaca. Ada di antaranya ayang wajahnya dibuka, ada juga yang ditutup.
Di ujung lorong, di dekat pintu keluar terdapat patung Santo Bartolomeo, salah satu dari 12 rasul Kristus. Patung yang dibuat oleh seniman Marco d’Agrate pada 1562 ini sekilas seperti Santo Bartolomeo menyandang kain yang menutupi sebagian tubuhnya dan disampirkan di bahu. Ternyata itu adalah kulit tubuhnya sesuai kisah kematian Santo Bartolomeo yang dikuliti hidup-hidup karena mempertahankan keyakinannya.
Namun, Marco d’Agrate tidak memfokuskan karyanya itu untuk religi. Dia membuat patung ”Santo Bartolomeo Dikuliti” untuk mengekspresikan gairah penelitian anatomi tubuh pada abad ke-16. Karya ilmiah yang dibuat pengetahuan anatomi itu tertuang dalam patung Santo Bartolomeo dengan otot-otot tubuh yang detail. Mengagumkan sekaligus menyayat.
Patung ini mengakhiri perjalanan petang itu di Milan. Saat keluar dari pintu di sisi kanan patung, langit biru dan lampu-lampu kekuningan mulai menyala. Udara mulai menusuk kulit. Ini mendorong kaki melangkah ke salah satu restoran yang hangat di pusat perbelanjaan tertua yang masih aktif di Italia, Galleria Vittorio Emanuele II.
Secangkir kopi panas mengakhiri petualangan kecil hari itu di Milan yang selalu mengajak untuk kembali.