Komunitas yang melakukan metode untuk menenangkan jiwa kini memperkaya benak khalayaknya dengan pemikiran mendalam. Tak sekadar berorientasi kejiwaan, mereka mengasah kepekaannya untuk beranjak menuju kearifan.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·3 menit baca
Di rumah yang berada di Jalan Hang Tuah 9, Jakarta, Kamis (6/2/2020), ”The Lullaby” mengalun. Damai. Sesaat, lagu yang dipopulerkan Roy Kim itu berganti merambati rasa dengan kesedihan, romantis, bahkan kemarahan. Di sela meditasi, perasaan campur aduk mengawali diskusi yang memaknai pikiran.
”Apa yang dirasakan tadi,” tanya Yudhi Gejali, pemandu meditasi Tergar Indonesia seusai menuntaskan meditasi tersebut. Di ruang dengan panjang sekitar 10 meter dan lebar 7 meter itu, sekitar 50 orang berkumpul. Jawaban mengemuka silih berganti.
Ada peserta yang takut. Pengunjung lain dilingkupi kedamaian. Setiap dua pekan, Tergar Indonesia mengadakan meditasi untuk meningkatkan ketenangan jiwa. ”Kesadaran adalah permulaan kebijaksanaan. Meditasi awalnya menciptakan ketenangan,” ujar Yudhi di sela aktivitas selama dua jam itu.
Tahap berikutnya adalah membangkitkan kebijaksanaan dengan melihat emosi dan pikiran lebih jelas. Tak dapat dimungkiri, sebagian orang lantas menjadi kurang nyaman saat memasuki fase itu karena acapkali mereka ingin berlari dari banyaknya emosi dan pikiran.
”Maka, mereka mencoba meditasi. Saat sudah mulai tenang dengan meditasi, mereka malah diminta melihat atau menyadari pikiran dan emosinya,” ujarnya. Kedalaman topik itu mewarnai pertemuan yang bernas sehingga meditasi tak mewujud sebagai keheningan belaka.
Yudhi juga mengemukakan filosofi meditasi. Agresivitas menjadi topik hari itu. Ketika memperhatikan keagresifannya, pelaku meditasi justru tengah menuju kebijaksanaan. Individu diajak tak membenci emosi, tetapi melihatnya lebih jernih dengan kesadaran meditasi.
Yudhi lantas menyitir filsuf ternama. Prinsip itu berbeda dengan cogito ergo sum (saya berpikir karena itu saya ada) yang dikemukakan filsuf Perancis, Rene Descartes. ”Rene mengidentifikasi diri adalah sama dan menyatu dengan pikiran. Kalau pikiran tiada, apakah saya tidak ada?” katanya.
Artinya, individu bukanlah pikiran. Justru dengan meditasi, mereka yang melakukannya sadar bahwa pikiran selalu berubah. Pikiran datang dan pergi, tetapi kesadaran tetap ada. Manusia hidup tetapi belum tentu menyadari diri. Mereka hanyut dalam berbagai label dan persepsi orang lain.
Yoga gembira
Kedalaman makna lebih dari sekadar metode menenangkan jiwa juga ditunjukkan Komunitas Yoga Gembira. Komunitas tersebut akan menyelenggarakan Yoga Rahmatan Lil Alamin dan Peace Walk di Taman Suropati, Jakarta, pada 23 Februari 2020.
”Artinya, kami ingin mengolah raga sejenak untuk mengembangkan kemampuan menebar kasih kepada semesta,” ucap Yudhi Widdyantoro, Pendiri Komunitas Yoga Gembira. Ia melakukan Yoga Gembira sejak 2009. Kegiatan itu rutin dilaksanakan di Taman Suropati setiap Minggu.
”Sesi khusus itu akan diawali yoga bersama diikuti berbagi cerita, ngobrol santai tentang keberagaman, dan konvoi berjalan kaki secara meditatif,” ujarnya. Konvoi yang disebut peace walk itu dimulai di Taman Surapati berakhir di Bundaran Hotel Indonesia (HI).
Selama pukul 07.00-10.00, Yudhi bersama Direktur Eksekutif Lembaga Studi Agama dan Filsafat Iqbal Hasanuddin akan hadir sebagai fasilitator. Acara terbuka untuk umum dan gratis itu merupakan bagian dari Festival Kebhinekaan 3 yang berlangsung selama tiga hari mulai 20 Februari 2020.
Festival tersebut diawali di Griya Gus Dur, Jakarta, hingga 22 Februari mendatang dan diisi antara lain napak tilas Gus Dur (Abdurrahman Wahid), wisata rumah ibadah lintas agama, pemutaran film dilanjutkan diskusi, meditasi cinta kasih, serta pameran foto.