Ada banyak hal yang membuat warga Jakarta menjatuhkan pilihan untuk nongkrong sekaligus menikmati aneka kudapan. Selain rasa makanan yang cocok di lidah, lokasi yang nyaman dan harga yang terjangkau menjadi pertimbangan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
Sebuah warung makan sekaligus kedai kopi berhias buku dan aneka barang antik tahun ’90-an berdiri di samping Stasiun Kebayoran, Jakarta Selatan. Dua pengunjung sudah datang, Rabu (12/2/2020) siang, meskipun empunya warung belum tiba di lokasi.
Kedua pengunjung itu adalah Malvin Simanjuntak (19) dan Briant (19). Mereka merupakan mahasiswa tahun pertama Universitas Pertamina. Mereka memutar lagu melalui pengeras suara portabel sembari mengisap cerutu yang harganya Rp 3.000. Di situ, pembeli bisa mengambil sendiri barang yang dipajang untuk dijual, seperti cerutu.
Malvin bercerita, Kampoeng Gallery ini sudah seperti base camp bagi mereka. Ketika perkuliahan usai, mereka pasti mampir dulu ke tempat ini. Begitupun saat jeda kuliah, mereka memilih tempat ini ketimbang melipir ke kosan. Tak jarang, mereka bertahan hingga larut malam.
”Selain harganya yang murah, Om Ivan (pemilik Kampoeng Gallery) juga sering berinteraksi dengan kami. Kadang dia juga suka bertanya soal aktivitas di kampung. Itu yang bikin betah,” katanya.
Kampoeng Gallery menyediakan aneka jenis makanan, seperti nasi goreng, mi goreng, dan kwetiau goreng. Harganya belasan ribu rupiah saja seporsi. Ada juga minuman seduh berupa kopi yang dijual di bawah Rp 10.000 segelas.
Ada pula stan Kopi Buatan Orang Rumah yang menjual menu kopi layaknya kafe modern. Harganya berkisar dari Rp 10.000 hingga Rp 20.000. ”Dari segi harga, masih terjangkaulah sama kantong,” ujar Malvin.
Rasa kekeluargaan, guyub, dan kebebasan beraktivitas membuat pengunjung betah. Ada gitar dan jimbe yang bisa dimainkan. Ada buku-buku yang bisa langsung dicomot dari raknya untuk dibaca di tempat.
Tempat duduk di warung makan yang memanjang sekitar 100 meter itu dihias dengan pernak-pernik pemilik warung. Ada tempat duduk di dalam perpustakaan. Ada pula tempat duduk di lorong-lorong berhias lukisan dan kaset-kaset lawas.
Ivan Moningka (48), pemilik Kampoeng Gallery, baru datang tatkala pengunjung mulai berdatangan. Sebelumnya, ia mengantar istrinya ke pasar. Menurut Ivan, warung ini buka pukul 12 siang. Pengunjung bisa memesan makanan hingga pukul 02.00.
Akan tetapi, tidak ada larangan jika ada pengunjung tiba lebih pagi. Toh, Kampoeng Gallery yang berada di Jalan Masjid Al-Huda, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, ini juga tak berpintu.
Sedikitnya ada 1.000 barang yang menghiasi tempat ini. Barang-barang seperti piringan hitam, kaset lawas, perangkat komputer, mainan, buku-buku, dan lukisan itu ia kumpulkan sejak SMA. Dari seluruh barang koleksi ini, 60 persen diperjualbelikan dengan harga bervariasi. Untuk kaset, misalnya, berada di rentang Rp 15.000-Rp 300.000.
Tanah keluarga
Tempat ini ia buka tahun 2010. Saat itu, rumahnya yang berada Tanah Kusir, Bintaro, sudah penuh oleh barang-barang koleksi. Maka, ia pun berinisiatif menjual sebagian dari barang-barang itu di tanah yang ditempati keluarganya di samping Stasiun Kebayoran.
Setelah ia menata barang-barang sedemikian rupa, datang usul dari temannya. ”Kenapa tidak sekalian jualan makan dan minum. Kan, ini tempatnya asyik buat nongkrong,” demikian saran temannya waktu itu.
Ivan remaja banyak dipengaruhi oleh ayahnya terkait musik. Lantunan The Beatles dan Pink Floyd menemani kesehariannya. Tetapi, toh tak semua barang yang tren di zaman itu mampu ia beli.
”Sewaktu remaja, ada impian-impian yang tidak terwujud. Misalnya, tape recorder, walkman, pokoknya barang-barang keren yang sewaktu remaja tidak terbeli, saya borong ketika sudah bekerja di percetakan,” kata pria yang pernah kuliah di Universitas Atma Jaya, Jakarta, ini.
Anggap saja ini rumah kedua kalian.
Suami Pinta Simanjuntak (43) ini menyadari, dengan hanya mengandalkan tiga karyawan yang fokus mengurus kebutuhan makan dan minum pengunjung, rasanya sulit mengawasi barang agar tak hilang. Oleh sebab itu, ia percaya sepenuhnya kepada pelanggan.
”Saya selalu bilang ke mereka, anggap saja ini rumah kedua kalian,” ucapnya.
Dia sadar betul bahwa anak muda butuh identitas. Mereka butuh tempat yang merepresentasikan diri mereka. Kampoeng Gallery hadir untuk menjawab itu.
Dengan menarget kalangan milenial yang kebanyakan masih duduk di bangku kuliah, dia menaruh harga miring untuk makan dan minum. ”Sebab, tempat nongkrong murah dan asyik hari ini tidak hanya dicari, tetapi juga dikampanyekan. Dengan demikian, saya tak perlu lagi iklan. Mereka sendiri yang mempromosikan tempat ini ke teman-temannya,” katanya.
Kampoeng Gallery lebih banyak mendapat pemasukan dari makanan dan minuman yang dipesan pengunjung. Omzet Kampoeng Gallery bisa lebih dari Rp 1 juta per hari jika sedang ramai.
Untuk penjualan barang koleksi, jumlahnya tidak menentu karena yang membeli tidak selalu ada setiap hari.
Kampoeng Gallery juga membolehkan wisatawan menginap. Mereka yang sudah kenal dengan Ivan tidak dikenai biaya. Sementara wisatawan yang tak ia kenal secara pribadi cukup membayar Rp 50.000 per malam.
Kafe tematik
Kampoeng Gallery merupakan satu dari sekian banyak contoh kafe tematik yang menjamur di Jakarta dan sekitarnya.
Penggemar novel Harry Potter bisa mampir ke kafe Take A Bite (TAB) di Jalan Pluit Permai Nomor 11, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. Menyesuaikan dengan namanya, interior di kafe ini juga disusun sedemikian rupa sehingga membawa pengunjung berfantasi seakan di kehidupan Harry Potter, penyihir gubahan JK Rowling.
Kursi-kursi ditata memanjang seperti di sekolah sihir Hogwarts, tempat Harry, Ron, dan Hermione bersekolah. Lampu gantung berwarna kuning keemasan mirip susunan lilin berundak-undak yang menambah kesan klasik kafe ini. Di lantai dua, lampu tempel dibuat dengan efek mirip obor diterpa angin. Potongan koran kuno ditempel di meja kaca, menambah kesan klasik dan horor sekolah sihir.
Untuk melengkapi imaji pengunjung tentang sekolah sihir, tempat ini juga menyediakan peron 9 ¾ yang legendaris. Peron 9 ¾ dilengkapi troli, koper, sapu sihir, dan kandang burung hantu Hedwig. Jubah hitam dengan emblem masing-masing ”house” di Hogwarts juga disediakan, yakni Gryffindor, Ravenclaw, Hufflepuff, dan Slytherin.
Menu yang disediakan lebih banyak variasi mi instan dengan berbagai topping, nasi goreng, dan berbagai rice bowl.
TAB juga menyediakan minuman seperti Butter Beer, Amortentia, Mad-Eye Potion, Polyjuice Potion, dan Cacaroto Elixir. Di buku menu, minuman itu dideskripsikan sebagai campuran ala Hogwarts. Kenyataannya, minuman yang disajikan ini cukup familiar dengan lidah kita. Cacaroto Elixir, misalnya, terbuat dari campuran jus wortel serta susu fermentasi.