Capaian ”Parasite” di Oscar dan penampilan BTS di Grammy merupakan validasi bahwa ”hallyu” atau gelombang budaya pop Korea tidak hanya memikat, tetapi juga mampu bersaing di kancah global.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Kemenangan Bong Joon-ho dan film Parasite di Oscar 2020 bak gong dari hegemoni Korea Selatan di industri hiburan global. Dominasi ”Negeri Ginseng” itu memang belum sekuat Hollywood. Namun, bibitnya telah menyebar, mengakar, bahkan berbuah di panggung Oscar kemarin.
Parasite memboyong empat piala Academy Awards pada Minggu (9/2/2020) malam waktu Amerika Serikat. Keempatnya adalah Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Film Internasional Terbaik, dan Skenario Asli Terbaik. Kata Bong, itu adalah piala Academy Awards pertama yang diraih Korea Selatan—walaupun ia mengaku tidak membuat film untuk mewakili Korea.
Prestasi Bong tidak sekadar menumbuhkan kembali Asian Pride (kebanggaan Asia) bagi orang-orang dengan ras mongoloid. Dengan ini, misi Pemerintah Korea Selatan menjadikan negaranya pengaruh bagi dunia global terbukti berhasil. Misi itu disebut segyehwa.
Segyehwa adalah kebijakan yang dicanangkan pemerintah pada era Presiden Kim Young-sam (masa jabatan 1993-1998). Secara sederhana, segyehwa berarti globalisasi. Kebijakan ini diterapkan, antara lain, di bidang ekonomi, politik, dan sosial. Pemerintah juga mendorong masyarakat agar mengadopsi cara berpikir baru yang lebih terbuka.
Kebijakan ini mengedepankan efisiensi kerja dan meminimalkan adanya malapraktik. Dengan segyehwa, semua institusi di Korea Selatan diharapkan bisa mengadopsi sistem kerja bertaraf global. Pemerintah berangan agar Korea Selatan dapat menjadi destinasi untuk berinvestasi, berwisata, dan lainnya.
Penasihat Senior untuk Wakil Perdana Menteri Korea Selatan Shim Sang-dal pada 1996 mengatakan, Korea cukup bangga dengan pencapaian mereka, yakni membangun industri tanpa banyak campur tangan negara lain. Namun, menurut dia, strategi lama seperti itu tak lagi efektif.
”Inti dari segyehwa adalah mengubah pola pikir tersebut,” kata Shim, seperti dikutip dari New York Times (16/9/1996).
Penyokong ekonomi
Keterbukaan Korsel melalui segyehwa merupakan gerbang bertumbuhnya sejumlah industri, termasuk hiburan. Sektor hiburan menggeliat dan kini menjadi salah satu sektor penyokong perekonomian Korsel. Gelombang budaya pop Korea (hallyu) pun tidak hanya terkenal di negaranya sendiri, tetapi juga ke seluruh dunia.
Menurut data Pemerintah Korsel dan Agensi Konten Kreatif Korea (Korea Creative Content Agency/Kocca), selama lima tahun sejak 2010, rata-rata pertumbuhan ekspor industri konten (content industry) sebesar 13,4 persen. Neraca perdagangan jasa pribadi, budaya, dan rekreasi pun surplus untuk pertama kali pada 2012 dengan nilai 86 juta dollar AS. Nilai ekspor industri konten pun melebihi 5.000 miliar dollar AS pada 2014.
Segyehwa adalah kebijakan yang dicanangkan pemerintah pada era Presiden Kim Young-sam (masa jabatan 1993-1998). Secara sederhana, segyehwa berarti globalisasi. Kebijakan ini diterapkan, antara lain, di bidang ekonomi, politik, dan sosial.
Capaian ini erat kaitannya dengan keseriusan pelaku industri dalam memproduksi karya yang menarik. Sineas muda Korsel disebut sebagai pendobrak stereotip lama di industri film. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kedutaan Besar Korea Selatan untuk Indonesia pada 2015 (Kompas.id, 11/2/2020).
Pemerintah membentuk Badan Film Korea agar sineas independen bisa mendapat suntikan dana hingga satu juta dollar AS. Badan tersebut juga mencarikan distributor internasional guna memasarkan film.
Adapun bioskop-bioskop alternatif diberi subsidi agar pemutaran film berkualitas konsisten dilakukan. Badan tersebut juga memproduksi sineas-sineas film melalui Korean Academy of Film and Arts.
”Hallyu”
Hallyu melekat dan disukai masyarakat—dalam hal ini masyarakat Indonesia—karena dinilai kreatif dan memikat. Produksi hallyu juga dinilai tidak pernah setengah-setengah sehingga hasilnya memuaskan.
”Drama pertama yang aku tonton adalah Boys Before Flower. Selain drama, aku juga suka nonton variety show mereka, seperti yang judulnya Running Man. Aku suka karena mereka lucu dan kreatif banget. Sekarang, apa yang ada di televisi (Indonesia) aku bandingin dengan acara (televisi) Korea,” kata seorang penyuka budaya pop Korsel, Helmi Mia (25), di Jakarta, Selasa (11/2/2020).
Adapun karyawan swasta Jakarta, Nita Nathania (24), mengatakan, ia kepincut budaya Korea karena drama berjudul Full House (2004). Drama ini ditayangkan di saluran televisi Indosiar pada tahun 2000-an. Kala itu K-drama disebut menyasar penonton perempuan paruh baya.
”Ini berawal dari mamaku yang nonton Full House di televisi. Aku jadi ikut nonton. Drama ini terasa segar sekali karena menceritakan soal pernikahan kontrak. Itu, kan, bukan tema yang umum di Indonesia,” kata Nita.
Dari hobi menonton drama itulah ia mulai tertarik dengan budaya Korea. Sebab, banyak unsur budaya yang disisipkan di drama. Sebut saja saat Han Ji-eun (Song Hye-kyo) membuat kimbap untuk ”suaminya”. Kimbap adalah nasi gulung berisi sayuran, telur, dan daging yang dibungkus dengan rumput laut. Bentuknya sama seperti sushi. Isian kimbap bisa disesuaikan dengan selera pembuatnya.
Drama tersebut juga menampilkan adegan pembuatan kimchi, adegan memakan tteokbokki, dan adegan memasak mi instan ala Korea. Dari Full House juga Nita belajar bahasa Korea.
Ia tidak bosan setelah belasan tahun menyukai dan mengikuti budaya pop Korea. Menurut Nita, drama, film, dan musik Korea tidak membuat bosan karena selalu inovatif. K-drama tidak melulu bicara soal roman picisan, tetapi juga menampilkan cerita dari beragam latar, misalnya dari latar jurnalistik, hukum, dan militer.
”Setelah ngikutin drama Korea, aku mulai tertarik dengan K-pop. Grup musik yang aku suka adalah DBSK. Saking sukanya (dengan K-pop), dulu aku rajin dengerin radio yang sering memainkan lagu Korea. Aku juga rajin telepon radio itu untuk request lagu. Itu dilakukan sambil rebutan dengan penelepon radio lain,” tuturnya.
Tidak hanya di Asia, hallyu juga telah menyebar ke negara Barat. Salah satu tanda masuknya K-pop ke industri musik global adalah ketika grup musik BTS diundang ke Billboard Music Awards (BBMA) pada 2017. Itu pertama kalinya musisi Korsel masuk ke nominasi BBMA. Mereka membawa pulang gelar sebagai Top Social Artist selama tiga tahun berturut-turut: 2017-2019.
Pada 2017, grup yang terdiri atas tujuh lelaki itu juga mencetak sejarah dengan tampil di American Music Awards 2017. Mereka adalah artis penampil Korsel pertama di acara tersebut. BTS juga menghebohkan jagat maya setelah tampil di Grammy Awards 2020 bersama Lil Nas X, Billy Ray Cyrus, Mason Ramsey, Diplo, dan Young Thug.
Capaian Parasite di Oscar dan penampilan BTS di Grammy merupakan validasi bahwa hallyu tidak hanya memikat, tetapi juga mampu bersaing di kancah global. Sebagian orang mungkin masih ”meremehkan” raksasa kecil dari Negeri Ginseng ini. Namun, prestasi mereka sulit ditampik.