Sihir ”Teater” Venesia
Sihir Venesia terasa menggigit saat bus laut melesat di Canale della Giudecca dari Pelabuhan Venesia menuju pelabuhan di depan Monumen Vittorio Emanuelle II di kawasan San Marco.
Venesia bak teater dengan keindahan sebagai tokoh utamanya. Daya pikat ”panggung” kuno yang berdiri di persimpangan daratan dan lautan ini menanti disesap hingga ke lorong-lorong tersempit. Penjelajahan labirin Venesia itu seolah tak berujung, hanya dibatasi oleh kekuatan otot kaki.
Sihir Venesia terasa menggigit saat bus laut melesat di Canale della Giudecca dari Pelabuhan Venesia menuju pelabuhan di depan Monumen Vittorio Emanuelle II di kawasan San Marco.
Siluet kubah Gereja Santa Maria della Salute berarsitektur Barok, menara lonceng Gereja San Giorgio Maggiore yang bergaya klasik renaisans di kejauhan, menandai berbagai periode yang telah dilalui kota laguna ini. Bangunan-bangunan bergaya Venesia-Bisantium, Gotik, Renaisans, dan Barok yang berderet itu, kontras dengan refleksi biru langit di permukaan air kanal yang sedikit berombak.
Begitu kaki menginjak jalanan Riva degli Schiavoni yang menghadap ke Canale della Giudecca, sihir Venesia semakin kuat. Kaki tak kuasa menahan hasrat melangkah menyusuri jejak masa lalu kota yang diyakini lahir pada abad ke-5 itu.
Jalanan masih basah di sana-sini, sisa air pasang alias acqua alta semalam. Setiap enam jam sekali, air laut naik dan menggenangi Venesia. Air pasang terbesar dalam 50 tahun terakhir mencapai 1,60 meter, terjadi 13 November 2019.
Awal November itu, suasana Venesia tidak terlalu ramai dipadati wisatawan. Waktu yang tepat menikmati kota ini tanpa antrean terlalu panjang dan berdesak-desakan di lorong-lorong sempit. Udara yang mulai dingin dan hujan ringan yang kadang turun justru menambah aura romantis kota ini.
Dari atas jembatan ikonik Ponte della Paglia, wisatawan berlama-lama menikmati pemandangan ke arah Gereja San Giorgio Maggiore di seberang kanal Giudecca. Adapun, dari atas jembatan Rialto yang dibangun pada abad ke-12, kita bisa menyaksikan kesibukan Grand Canal dengan lalu lalang perahu niaga dan gondola-gondola wisatawan.
Tak jauh dari jembatan Ponte della Paglia, terdapat jantung Venesia, Alun-alun San Marco yang termasyhur. Di area itu, wisatawan berkerumun, sebagian mengular menunggu giliran masuk ke Basilica San Marco yang indah. Sebagian memilih menikmati fasad katedral yang dihiasi lukisan mosaik kehidupan Kristus.
Bangunan awal gereja ini hancur terbakar saat terjadi pemberontakan terhadap Duke Pietro Candiano IV. Katedral kemudian dibangun oleh penerusnya, Duke Domenico Contarini. Bangunan selesai sepenuhnya pada 1071 dengan arsitektur unik, kombinasi Italia-Bisantium. Katedral dan menara lonceng yang menjulang paling indah dinikmati sambil duduk di pintu-pintu besar yang dibatasi pilar besar Istana Duke. Basilica San Marco akan terlihat seperti lukisan dengan latar langit biru yang dibingkai pigura besar melengkung di bagian atasnya.
Perjalanan sesungguhnya baru dimulai setelah meninggalkan alun-alun San Marco. Di ujung Piazza San Marco itu, terdapat lorong kecil yang tembus ke Bacino Orseolo, salah satu pangkalan gondola. Menyusuri lorong-lorong sempit ini seperti dalam labirin dengan kiri kanan dinding-dinding batu bata yang usang.
Labirin ini disekat-sekat oleh mosaik pulau-pulau kecil yang disambungkan oleh jembatan-jembatan kayu dan beton. Konon, terdapat 400 jembatan di Venesia, menghubungkan sekitar 117 pulau.
Lorong-lorong itu akan berujung pada ruang terbuka yang di tengahnya terdapat Vera da Pozzo atau kepala sumur. Bentuknya lebih mungil dari ukuran sumur di Indonesia, diamaternya hanya sekitar 1 meter dengan tinggi antara 50 sentimeter dan 100 sentimeter. Dindingnya dihiasi ornamen bergaya Renaisans, Barok, atau Bizantium, yang menandakan masa pembangunan sumur ini.
Vera da Pozzo merupakan urat nadi kehidupan di Venesia yang berdiri di atas air tetapi miskin air bersih. Di bawah lapangan yang dikelilingi bangunan tempat tinggal itu terdapat galian besar untuk menampung air hujan. Ruangan bawah tanah itu dilapisi lempung supaya tidak terinfiltrasi air laut. Air bersih disaring dengan susunan material kerikil dan pasir hingga meresap ke sumur untuk ditimba dari kepala sumur.
”Ini merupakan urat nadi kehidupan Venesia masa lalu, karena menjadi sumber air bersih utama. Sekarang tidak dipakai karena sudah ada sistem air bersih modern,” ujar Lucia, pemandu perjalanan yang menemani penjelajahan Venesia.
Hemingway di Bar
Jejak-jejak masa lalu itu berkelindan dengan kehidupan modern Venesia. Salah satu jejak yang bisa ditelusuri adalah tempat Ernest Hemingway, jurnalis dan novelis asal Amerika Serikat, mencari inspirasi bagi karya-karyanya.
Hemingway merupakan pelanggan Harry’s Bar di ujung jalan yang menghadap kanal Giudecca. Bar ini tidak mencolok dari luar, hanya ada tulisan Harry’s Bar di kaca jendela dan pintu. Tempatnya kecil, dengan kursi-kursi kayu yang minimalis. Suasana di dalamnya senyap meskipun banyak pengunjung.
”Tempat duduk favorit Hemingway ada di sana,” ujar manajer bar sambil menunjuk sudut ruangan.
Di dalam bar itu, tidak boleh berbicara keras, ataupun tertawa lepas. Bahkan, memotret hanya boleh ke bagian yang tidak ada tamu, karena privasi sakral di sini. Tempat ini memang untuk mencari ketenangan dari hiruk-pikuk Venesia yang selalu kebanjiran wisatawan.
Tahun lalu ada sekitar 30 juta wisatawan memadati Venesia, timpang dengan jumlah penduduk yang hanya sekitar 52.000 jiwa dan semakin sedikit karena banyak yang eksodus akibat biaya hidup yang semakin mahal.
Setelah menghabiskan segelas Bellini, cocktail spesial Harry’s Bar, kaki kembali melangkah menyusuri labirin hingga rasa lelah mengajak istirahat sejenak di sebuah kedai kecil. Aroma kopi yang harum menemani mata menyelusuri lagi pemandangan Venesia yang sudah terekam di kamera digital, salah satunya kunjungan ke Libreria Acqua Alta. Toko buku itu terletak di lorong sempit tak jauh dari patung dramawan abad ke-18 Carlo Goldoni.
Tempat ini unik karena etalase buku bukanlah lemari atau rak, melainkan perahu, gondola, juga bak mandi rendam (bathtub). Ini merupakan cara adaptasi untuk menyelamatkan ribuan buku saat air pasang.
Koleksi buku Libreria Acqua Alta ini beragam, dari cerita anak, sejarah, hingga buku filsafat, dengan berbagai bahasa, tetapi mayoritas bahasa Italia. Etalase tak lazim ini semakin unik dengan tangga dari tumpukan buku-buku yang sudah rusak.
Dari tangga, terlihat kanal di belakang tembok toko. Koridor dalam toko buku ini sangat sempit, menjadi seperti pasar senggol saat dipenuhi wisatawan. Selain menjadi rumah buku, Libreria Acqua Alta ini juga menjadi tempat berlindung bagi kucing-kucing jalanan saat terjadi air pasang.
Sebelum air kembali pasang, menjelang senja adalah waktu paling tepat untuk naik gondola. Sinar matahari keemasan menyepuh dinding-dinding batu bata di sepanjang kanal, berbaur dengan lampu-lampu yang mulai menyala. Langit senja yang biru bersemburat emas. Petang itu menjadi perjalanan terakhir
”Bulan ini lumayan, wisatawan masih ramai. Nanti saat musim dingin, bisa seharian tanpa wisatawan,” ujar Zakomo, gondolier atau pengemudi gondola, yang mengenakan kaus khas gondolier hitam bergaris-garis putih.
Zakomo lihai mengarahkan gondola, termasuk menikung di antara bangunan yang sempit. ”Latihannya panjang dan sulit sebelum boleh membawa gondola untuk wisatawan,” ujar gondolier bertubuh tinggi atletis itu.
Laju gondola mulai melambat saat mendekati ujung kanal kecil yang menyatu dengan kanal besar Giudecca. Saat matahari tenggelam, keriuhan wisatawan menghilang, berganti dengan kecipak ombak yang mengombang-ambingkan gondola-gondola pada tambatannya di tepi kanal.