Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian dan pemain industri otomotif duduk bersama mencari solusi terkait kesiapan penggunaan solar B30 yang sesuai komponen mesin standar Euro 4.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·5 menit baca
Pada awalnya, terasa segalanya mentok, tak ada pilihan. Seolah tak ada jalan lain yang dapat ditemukan saat Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian dan pemain industri otomotif duduk bersama mencari solusi terkait kesiapan penggunaan solar B30 (30 persen mengandung bahan bakar nabati) yang sesuai dengan komponen mesin otomotif Euro 4.
Ada pihak hulu, ada hilir. Kementerian Perindustrian sebagai penjaga sektor hulu kerap mendorong industri otomotif untuk benar-benar menghasilkan produk-produk berkualitas standar Euro 4. Jangan lagi produk standar Euro 2 yang masih dominan menyebabkan polusi.
Sementara, Kementerian Perhubungan sebagai penjaga hilir yang perannya menjadi serupa filter, menyaring produk-produk otomotif, terutama kendaraan niaga bermesin diesel, diproduksi secara massal dan diizinkan beroperasi di jalanan.
Namun pada akhirnya keputusan itu keluar juga. Direktur Sarana Transportasi Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Sigit Irfansyah, saat Bincang Pintar bertajuk “Indonesia Siap Euro 4” di Jakarta, Senin (3/2/2020), menegaskan, “Semua kendaraan yang dipasarkan di Indonesia sudah diproduksi sesuai standar Euro 4 pada 7 April 2021.”
Semua demi menghindari ancaman mengerikan bagi penduduk dunia. Data WHO per 29 Januari 2020 menunjukkan, polusi udara diperkirakan telah membunuh tujuh juta orang di dunia setiap tahunnya. Sebanyak 9 dari 10 orang diperkirakan bernapas dengan level polusi udara yang membahayakan.
Kementerian Perhubungan menyatakan siap menguji emisi kendaraan-kendaraan kecil. Sementara, alat pengujian untuk kendaraan berbobot di atas tiga ton, diakui persiapannya belum maksimal. Alasannya, pengujian kendaraan di atas tiga ton perlu membongkar mesin kendaraan. Tentu, tidaklah mudah dan membutuhkan waktu cukup lama.
Terkait tersedianya bahan bakar yang sesuai dengan standar tersebut, beberapa pelaku industri, seperti Scania yang sudah berstandar Euro, disebut-sebut sudah mampu mengatasinya. Scania, menurut Sigit, menyiasatinya dengan sistem katalis untuk menyempurnakan bahan bakar yang diproduksi Pertamina supaya emisinya rendah.
Kementerian Perindustrian melihat, penerapan standar Euro 4 bukanlah sekadar mencari solusi sisi lingkungan, tetapi juga lebih ke sisi ekonomi, terutama lebih jauh lagi bagi kesinambungan bisnis industri otomotif. Harus diakui, Indonesia mempunyai permasalahan polusi lingkungan yang serupa dihadapi negara-negara lain.
“Kita terlambat masuk ke standar Euro 4, sehingga banyak investasi terlambat,” kata Putu Juli Ardika, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Pertahanan, Direktorat Jenderal Industri Logam, mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian.
Di Indonesia, implementasi Euro 4 pada kendaraan bermotor roda empat atau lebih dicanangkan sejak 7 April 2017 melalui Peraturan Menteri LHK P.20/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2017. Waktu pelaksanaan emisi gas buang Euro 4 berbahan bakar bensin dilakukan selama 18 bulan sejak diundangkan yakni 7 Oktober 2018. Sementara, pelaksanaan uji emisi gas buang untuk kendaraan diesel dilaksanakan 48 bulan sejak diundangkan, yakni 7 April 2021.
Negara tetangga
Secara kasat mata, Kementerian Perindustrian melihat keterlambatan implementasi Euro 4 disebabkan oleh sikap terlalu fokus pada kendaraan berbahan bakar bensin. Dibandingkan negara tetangga, seperti Thailand, produksi otomotifnya sudah lebih dulu “memaksa” industri untuk menghasilkan produk-produk otomotif Euro 4.
Data Gaikindo, total penjualan kendaraan bermotor roda empat atau lebih (1972-2018) mencapai 18.523.886 unit. Dari jumlah tersebut, terbagi sekitar 75 persen kendaraan bermesin bensin sebanyak 13.892.914 unit dan sekitar 25 persen mesin diesel sebanyak 4.630.971 unit.
“Thailand mampu memproduksi kendaraan komersial sekitar 2 juta unit. Dari jumlah itu, sebanyak 70 persennya diekspor. Sementara, tahun 2018 kita memproduksi sekitar 1,34 juta unit, tetapi jumlah ekspornya masih 30 persennya,” kata Putu.
Ironisnya lagi, produksi otomotif Indonesia pun masih terbagi dua antara mesin berstandar Euro 2 dan Euro 4. Kendaraan Euro 2 untuk dijual di dalam negeri, sedangkan kendaraan Euro 4 diekspor. Hal ini sangat tidak efisien dari sisi biaya produksi.
Uji jalan
Dari sisi kepatuhan industri atas kewajiban kesiapan produk menggunakan biodiesel B30, ada empat merek kendaraan (Mitsubishi, Toyota, Nissan, dan DFSK) di bawah kapasitas 3,5 ton dan tiga merek kendaraan (Isuzu, Mitsubishi Fuso dan UD Truck) di atas 3,5 ton yang telah berpartisipasi dalam road test B30 pada Juni-Oktober 2019.
Hasil road test menunjukkan, sampel bahan bakar (B0, B20, dan B30) yang digunakan pada uji jalan dapat memenuhi spesifikasi maupun usulan batasan. Di samping itu, berdasarkan uji pelumas dan uji rating menunjukkan, tidak ada perbedaan yang signifikan antara penggunaan B20 dan B30.
Bahan bakar B30 memiliki kandungan sulfur yang lebih rendah dibandingkan ambang batas Euro 4. Kandungan sulfur ini menjadi faktor krusial terkait kinerja mesin diesel.
Secara teknis, pabrikan Isuzu, misalnya, menjabarkan perbedaan mekanisme kerja mesin Euro 1 hingga Euro 4. Tipe sistem Euro 1 hanya menggunakan pompa injeksi dan exhaust manifold (EM). Euro 2 mulai menambahkan sistem exhaust gas recirculating (EGR) yang masih menghasilkan emisi di bawah 500 ppm (part per million), sedangkan Euro 3 menggunakan EM dan EGR, tetapi menambahkan teknologi common rail (CR) dengan emisi di bawah 350 ppm. Teknologi Euro 4 merupakan penyempurnaan dari teknologi yang digunakan Euro 3 sehingga menghasilkan indeks emisi di bawah 50 ppm.
Tonton Eko, General Manager Product Development PT Isuzu Astra Motor Indonesia (IAMI), menjelaskan, konstruksi mesin diesel Euro 4 memiliki komponen utama untuk mengurangi emisi gas berbahaya, yaitu exhaust gas recirculation (EGR) untuk mensirkulasi gas buang hingga temperatur intake tidak terlalu tinggi (sehingga kandungan gas NOx tidak tinggi) dan Diesel Oxidation Catalyst (DOC). “EGR dan DOC ini sangat rentan rusak terhadap bahan bakar dengan kadar sulfur tinggi,” kata Tonton.
Hingga kini, sektor hulu dan hilir, termasuk industri yang tinggal mengikuti aturan pemerintah, telah menyatakan kesiapannya. Industri otomotif pun mau tidak mau melangkah menuju Euro 4 demi menghadapi kompetisi industri yang semakin ketat.
Kini, kesiapan bahan bakar B30 semestinya tidak lagi menjadi penghalang bagi komitmen menjaga lingkungan yang bersih dan keberlanjutan industri. Apalagi, Presiden Joko Widodo saat menyaksikan ekspor perdana Isuzu Traga beberapa waktu lalu menyatakan, tahun 2024, ekspor otomotif harus mencapai senilai Rp 338 triliun.
Tentu, untuk meningkatkan ekspor otomotif, seperti dilakukan Isuzu pada produknya Isuzu Traga, teknologi mesin otomotif sudah harus menggunakan standar mesin Euro 4 untuk menyesuaikan regulasi di negara-negara tujuan ekspor.