Langkah Kecil untuk Bumi
Kisah tujuh sosok dari tujuh wilayah di Indonesia yang dengan caranya masing-masing berupaya ”melambatkan” laju perubahan iklim ditampilkan dalam film dokumenter ”Semes7a”.
Kisah tujuh sosok dari tujuh wilayah di Indonesia yang dengan caranya masing-masing berupaya ”melambatkan” laju perubahan iklim ditampilkan dalam film dokumenter ”Semes7a”. Pesannya singkat, sekecil apa pun upaya yang dilakukan sangat berarti bagi keberlangsungan hidup bumi yang sedang terancam oleh perubahan iklim.
Film garapan Tanakhir Films ini dibuka oleh kisah Tjokorda Raka Kerthyasa, tokoh budaya di Ubud, Bali. Melalui format narator, Tjokorda Raka Kerthyasa ditampilkan sebagai sosok yang mengajak penonton menyaksikan kontribusinya melambatkan laju perubahan iklim.
Kisahnya diawali dari upacara Melasti yang dilakukan masyarakat Bali, yaitu sebuah upacara penyucian diri untuk menyambut hari raya Nyepi. Melalui Melasti, masyarakat Bali menyucikan diri mereka dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, juga menyucikan dan merawat sumber-sumber air yang menjadi air kehidupan (tirta amerta).
Merawat sumber-sumber air, selain sebagai manifestasi laku beragama bagi masyarakat Bali, juga berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan. Begitu pun saat Nyepi, masyarakat Bali menghentikan seluruh aktivitas mereka satu hari penuh dan hanya tinggal di dalam rumah. Dengan begitu, Nyepi ikut mengurangi emisi gas karbon dioksida.
Kisah berpindah ke Dusun Sungai Utik di Kalimantan Barat. Ada sosok Agustinus Pius Inam yang bersama masyarakat adat Sungai Utik berupaya menjaga kawasan hutan tempat mereka hidup. Formatnya sama, Agustinus menjadi narator yang berkisah tentang upaya komunitasnya dalam menjaga kawasan hutan adat seluas 9.000 hektar.
Upaya itu dilakukan dengan mematuhi aturan pembagian kawasan hutan. Kawasan yang tidak boleh dirambah dijaga dengan kesadaran tinggi, seperti yang telah dilakukan secara turun-temurun. Apalagi bagi masyarakat adat Sungai Utik, hutan adalah ”supermarket” yang menyediakan seluruh kehidupan mereka. Merusak hutan justru akan merugikan kehidupan mereka. Masyarakat adat Sungai Utik hanya berburu dan mengambil hasil hutan di kawasan yang diperbolehkan.
Di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, ada Romo Marselus Hasan yang mengajak warga di Desa Bea Muring membangun pembangkit listrik mikrohidro sebagai sumber listrik berkelanjutan dan bersih. Sebelumnya, masyarakat Bea Muring mengandalkan generator untuk menyuplai listrik. Penggunaan generator, selain menimbulkan polusi suara, juga mengeluarkan emisi karbon dioksida yang dapat merusak keberlangsungan bumi.
Kisah terus berlanjut. Ada Mama Almina Kacili, Kepala Kelompok Wanita Gereja Lokal di Kapatcol, Papua Barat, yang melakukan sasi untuk menjaga ekosistem laut di kawasan Kapatcol. Sasi merupakan larangan bagi warga untuk mengambil hasil laut atau hasil pertanian sebelum waktu yang ditentukan. Apabila saatnya tiba, masyarakat dapat memanen dan merasakan hasil kerja mereka sebagai salah satu pendukung ekonomi.
Juga ada kisah Imam Desa Pameu, Aceh, M Yusuf yang mengajak warga menerapkan praktik berdamai dengan gajah yang kerap turun ke desa dan merusak kebun warga. Dengan melindungi gajah, ekosistem hutan pun terlindungi.
Dua terakhir adalah kisah pendiri Bumi Langit, Iskandar Waworuntu, di Yogyakarta, dan Soraya Cassandra, pendiri Kebun Kumara di selatan Jakarta. Iskandar dan keluarganya mempraktikkan perkebunan permakultur untuk kembali berhubungan dengan alam. Begitu juga dengan Soraya, ia mengubah lahan bekas timbunan sampah di pinggir Situ Gintung menjadi hijau dengan Kebun Kumara yang dikelolanya.
Fokus hal positif
Perubahan iklim merupakan persoalan kompleks dengan berbagai dampak yang telah hadir, mulai dari bertambahnya suhu bumi, pengasaman lautan, meningkatnya intensitas dan frekuensi bencana, hingga penurunan hasil panen. Sekalipun berdimensi global, setiap orang bisa berkontribusi mengerem lajunya dan beradaptasi mengurangi dampaknya.
Kisah tujuh sosok dari Aceh hingga Papua ini, seperti disampaikan sang sutradara, Chairun Nissa, memberi contoh upaya individu dan komunitas untuk memelankan dampak perubahan iklim berdasarkan keyakinan dan agama masing-masing.
Sebelum memutuskan membuat alur cerita seperti itu, menurut Nicholas Saputra yang berperan sebagai produser, riset panjang sudah dilakukan untuk mencari tahu siapa saja dan di mana saja ada cerita orang melakukan sesuatu untuk lingkungan berdasarkan praktik agamanya. ”Awalnya ada 9-10 opsi. Lalu terpilih jadi tujuh karena kami ingin memberikan gambaran tentang Indonesia. Mudah-mudahan bisa diwakilkan dan bisa merepresentasikan agama yang ada,” kata Nicholas.
Produser Semes7a, Mandy Marahimin, menambahkan, ”Memang kami ingin memfokuskan film ini pada langkah-langkah positif yang membantu memelankan perubahan iklim. Makanya, di sini kita tidak membahas hal-hal negatif yang terjadi pada alam.”
Namun, pilihan fokus pada hal positif ini membuat film ini cenderung kehilangan konteks dengan persoalan perubahan iklim yang sudah hadir dalam berbagai dimensi. Upaya mempertahankan hutan oleh komunitas Dayak Iban di Sungai Utik ataupun upaya warga Desa Pameu untuk berdamai dengan gajah yang merusak tanaman mereka, misalnya, kurang tergambarkan urgensinya.
Hal itu karena kurangnya gambaran konteks Kalimantan dan Sumatera yang saat ini menghadapi tingginya laju degradasi hutan dan keragaman hayati akibat perkebunan sawit dan pertambangan.
Selain itu, dengan tujuh sosok yang ditampilkan dalam durasi film yang hanya 1 jam 28 menit, eksplorasi terhadap sepak terjang sang tokoh kurang maksimal. Eksekusi kisah para tokoh terasa belum mendalam. Sebagian di antaranya bahkan terkesan kering dan sulit ditemukan benang merahnya dengan upaya pengurangan laju perubahan iklim.
Kisah M Yusuf dari Desa Pameu, misalnya, kurang digambarkan secara lebih konkret. Di akhir cerita, penonton hanya disuguhi gambaran sang imam dan warga yang berdoa bersama di kebun agar gajah tak lagi datang mengganggu. Apakah gajah akan serta-merta berhenti merusak kebun warga hanya dengan doa? Tentu tidak sesederhana itu.
Terlepas dari sejumlah kekurangan, film ini patut diapresiasi karena berkontribusi mewacanakan literasi perubahan iklim yang hingga saat ini masih sangat minim dipahami publik negeri ini. Seperti survei Yougov, Mei 2019, masyarakat Indonesia berada di urutan teratas dari 23 negara yang tidak percaya bahwa pemanasan global dipicu ulah manusia. Fenomena ini dinilai menunjukkan rendahnya literasi ilmu pengetahuan atau sains kepada publik. Ini bisa berimplikasi pada kurangnya tanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan.
Jadi, jika Anda ingin melihat film sekalian mendapatkan literasi tentang alam, silakan menonton Semes7a yang akan diputar di bioskop mulai 30 Januari 2020. Hasil penjualan tiket seluruhnya akan digunakan untuk pemutaran kembali Semes7a dalam bentuk nonton bareng, layar tancap, ataupun pemutaran di sekolah-sekolah.