Pahami, Hitung, Bakar...!
”Bercerita” tentang kuliner tidak mungkin tanpa mencicipinya. Mereka yang menggeluti profesi sebagai pegiat kuliner mengenali risiko akan segala macam makanan yang harus masuk ke dalam tubuh. Dengan mengenali, mereka menghitung asupan, lalu ”membakarnya” agar tidak berdampak buruk bagi kesehatan.
Tepat pukul 06.00, Kamis (9/1/2020), pegiat dan pencerita kuliner Ade Putri Paramadita mulai meregangkan otot mengikuti arahan pelatih di Bengkel Strength and Conditioning, Senayan, Jakarta Pusat. Sejurus kemudian, badannya telah bergerak sesuai program yang diberikan hari itu.
Tampak gerakan pistol squats, jongkok dengan satu kaki lurus ke depan dari posisi berdiri. Berikutnya Ade menaiki air dyne, semacam sepeda statis, dengan kedua tangan bergerak seirama kaki.
Dia menuju rowing machine, yang membuatnya bergerak maju dan mundur seiring tarikan kawat ke arah perut, semacam gerakan orang mendayung. Lalu Ade menyandar ke dinding dengan kepala di bawah, mengangkat kedua kakinya, melakukan hand stand push up.
Gerakan itu dilakukan berulang-ulang secara bergantian selama sekitar 1 jam. Keringat membanjiri tubuhnya. Napas terengah-engah, tetapi tampak wajah yang segar.
Gerakan-gerakan itu membuat kalori terbakar dengan cepat. ”Tapi cepat juga pingsannya,” ujar Ade berseloroh.
Ade menyadari betul profesinya sebagai pegiat dan pencerita kuliner. Segala jenis makanan harus dia makan agar bisa dibagikan ceritanya kepada para pencinta kuliner. ”Enggak mungkin, dong, menolak ketika diminta mencicipi makanan dengan alasan makanan tidak sehat. Pekerjaan bisa hilang,” tuturnya.
Maka, dia pun menyesuaikan gaya hidupnya dengan profesinya tersebut. Menghitung kalori asupan yang masuk ke dalam tubuh dalam satu hari menjadi sangat penting. Ade menjatah dirinya dengan 1.400 kalori per hari.
Katakanlah dia harus mencicipi minuman boba yang bisa mencapai ratusan kalori per gelas, dia pun tidak akan menghabiskan seluruhnya. Dia akan berbagi dengan teman. Hal yang sama berlaku untuk berbagai makanan yang akan dinikmatinya. Dengan demikian, masih tersisa banyak ”ruang” untuk jenis makanan lain.
”Kita, kan, enggak mengejar kenyangnya. Yang kita inginkan adalah merasakannya di lidah. Jadi, enggak mesti harus menghabiskan seluruhnya. Aku biasanya ajak teman, bagian sapu bersih. Aku senang, dia senang, yang mengundang juga senang,” kata Ade, disusul tawa.
Sebagai penggemar sup kaki kambing dan jeroan, dia tidak serta-merta menjauhi makanan tersebut. Dia bisa menikmatinya meski belum tentu sebulan sekali. Dia juga akan berbagi dengan teman sehingga kangennya terobati, tetapi jumlah yang masuk ke dalam tubuh lebih sedikit.
Cara lain yang dilakukan Ade adalah memberi keseimbangan bagi tubuh. Setelah sehari mencicipi berbagai makanan yang berat, dengan kalori atau kadar gula tinggi, di rumah dia akan memasak makanan tanpa garam, tanpa minyak. Minyak yang dia pakai sebatas spray (semprotan) agar tak lengket di penggorengan.
Selain itu, olahraga tidak boleh ketinggalan. Dulu, dia bukan penggemar olahraga. ”Ada sebagian orang yang, meskipun makannya banyak, tidak akan gemuk. Aku seperti itu. Tapi tidak menjamin sehat, kan? Skinny fat, kurus tetapi kandungan lemak di badan banyak,” ucapnya.
Ade lalu berkenalan dengan olahraga cross fit yang rupanya cocok baginya. Selain membakar kalori, dia bisa menikmati lepasnya hormon endorfin yang membuat hati senang.
Setiap pagi pukul 06.00-07.00, dia berolahraga. Apabila sedang berada di luar kota, dia akan mencari tempat gym. Kalaupun tidak ada, dia bisa push up di dalam kamar. Yang penting tetap bergerak.
Makan berkesadaran
Bergerak, meskipun ringan, juga menjadi pilihan Kevindra Soemantri, pegiat gastronomi dan penulis buku kuliner. Sama seperti Ade, profesi Kevindra menuntut dia menyantap berbagai macam makanan.
Ketika dihubungi, Kevindra sedang berjalan menuju stasiun MRT. Bagi dia, olahraga penting untuk membakar kalori dan gula. Tetapi, sering kali banyak orang tak punya waktu untuk olahraga secara khusus.
”Saya milih jalan kaki saja. Naik MRT, Transjakarta, disambung jalan kaki. Terasa banget bantuannya untuk badan,” paparnya.
Dia mengakui, konsistensi untuk berolahraga bisa jadi sangat sulit. Jadi, berjalan kaki menjadi pilihan yang tepat untuk menggerakkan badan.
Untuk mengimbangi banyaknya asupan makanan ke dalam tubuh, Kevindra kini menjalani makan secara berkesadaran atau mindfull eating. Dia harus paham betul makanan apa yang masuk ke dalam tubuhnya. Tidak ada pantangan, tetapi harus benar-benar dihitung.
”Misalnya harus food testing. Pernah saya makan salted egg yang lagi tren, setelah itu makan lagi yang versi krim. Mau enggak mau harus tetap mencoba, kan? Nah, kalau hari ini sudah makan makanan tinggi kalori dan gula, besoknya makan yang bebas gula. Enggak makan nasi, pokoknya non-gula dan non-gluten untuk karbohidratnya,” papar Kevindra.
Hari Kamis (9/1), Kevindra sudah memiliki jadwal untuk mencicipi es krim di Kramat, lanjut makan beberapa jenis kue, lalu makanan Jepang. Maka, hari berikutnya, saat rapat, dia memilih makan burgreen.
Dia sadar, masyarakat kini seakan terkepung oleh banyaknya makanan dengan kalori dan kadar gula tinggi. Makanan cross atau fusion bertebaran dari skala restoran hingga kaki lima. Kandungan dan komposisi di dalamnya pun sering kali tidak diketahui. Oleh karena itu, perlu kesadaran supaya ada kompensasi yang seimbang untuk mengeluarkannya.
Tahu kapan berhenti
Saat ditemui pertengahan Desember lalu, pakar kuliner William Wongso asyik menikmati roti sourdough yang disuguhkan sahabatnya, Debryna Dewi Lumanauw di dapur rumah Debryna di kawasan Grogol, Jakarta Barat. Setelah beberapa potongan kecil ludes dilahap, William yang intoleran terhadap karbohidrat, termasuk roti, tahu betul kapan harus berhenti.
Meski limpahan roti yang terhidang di meja sangat menggiurkan, ia benar-benar hanya mengonsumsi sesuai kebutuhannya, cukup untuk tahu rasa dari setiap potong roti. Roti yang baru saja keluar dari panggangan dan dibuat antara lain dari bahan keju yang dibawanya dari Swiss pun lantas dipilih untuk dibungkus, dibawa pulang.
”Aku enggak toleran terhadap karbo. Roti kayak gini aku cuma boleh makan sedikit sekali, enggak bisa banyak. Kalau enggak, gulaku melonjak. Aku makan nyicil. Makan bisa berapa kali,” kata William tentang salah satu kunci agar tetap sehat.
Kecintaan Wiliam pada kuliner Nusantara sering kali membawanya pada kegiatan mencicipi beragam makanan tradisional. Sering kali, keamanan dan kesehatan makanan tradisional yang disantapnya pun tidak terjamin. Makanya, ia memilih dalam porsi kecil. ”Kalau makan di restoran enggak pernah satu menu, tetapi sharing,” ungkap William.
Kualitas bahan masakan juga selalu menjadi pertimbangan bagi William ketika mengonsumsi makanan. ”Kalau mau sehat, ya masak sendiri. Bisa masak dan punya waktu masak itu dua hal yang berbeda. Kalau enggak masak sendiri, kan enggak tahu bahannya,” ujarnya.
Ketika terpaksa harus membeli makanan, restoran dengan reputasi yang baik menjadi pilihan terbaik. Namun, restoran sehat seperti ini pun jumlahnya masih terbatas. Jika tiap hari makan di restoran sehat yang sama pun dijamin tubuh bakal menolak karena bosan.
Ungkapan you are what you eat, kamu adalah apa yang kamu makan, benar adanya. Dokter Ayu Diandra Sari yang sangat memperhatikan masalah gizi mengungkapkan, yang harus ditanamkan adalah tubuhku adalah rumahku. Saat sesuatu terjadi di dalam rumah, tentu kita sebagai penghuninya tak akan merasa nyaman tinggal di dalam rumah.
”Makanya, yang terpenting, harus ada kesadaran prinsip makanan yang cukup dan seimbang komposisinya, dan disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, serta aktivitas kita sehari-hari karena kebutuhan diet setiap orang berbeda-beda,” ujarnya. Olahraga sudah tentu juga tidak boleh ditinggalkan.
Jadi pahami, hitung, bakar....