Napas Integrasi
Geliat seni rupa kontemporer tumbuh ke segala arah dan kian menjadi fenomena kebudayaan global.
Geliat seni rupa kontemporer tumbuh ke segala arah dan kian menjadi fenomena kebudayaan global. Salah satu pemantiknya, para seniman nomadik yang kerap berpindah tempat, bahkan berpindah negara, dan berkarya dengan mengembuskan napas integrasi, napas peleburan.
”Banyak yang mempertanyakan, karya saya yang hanya tulisan-tulisan di lembar kertas itu mengapa menjadi sebuah karya seni rupa yang harus dipamerkan. Banyak yang belum bisa memahami karya seni rupa kontemporer itu bisa apa saja,” ujar perupa Himbar Andriyani dalam diskusi Artist Talk untuk Pameran Integrasi, Jumat (10/1/2020), di Bentara Budaya Jakarta (BBJ).
Pameran seni rupa kontemporer bertajuk Integrasi ini digagas sebagai pameran bersama lima seniman nomadik. Para perupa itu meliputi Lili Voight asal Jerman, yang kemudian tergerak berkarya di Bali.
Empat seniman lainnya berasal dari Indonesia, yang sejak beberapa dekade menetap di sejumlah negara sampai sekarang. Seniman Andriyani pada posisi terakhirnya sekarang lebih banyak menetap di Belanda. Selanjutnya, seniman Ito Joyoatmojo yang menetap di Swiss, Yudi Noor di Jerman, serta Daniel Kho yang kerap bolak-balik antara Bali, Jerman, dan Spanyol.
Karya-karya mereka dipamerkan di BBJ, 10-15 Januari 2020. Para seniman itu menampilkan karya-karya artistik mereka yang terbilang beda.
Seperti Andriyani, menuliskan pedoman-pedoman hidup bersosialisasi di Belanda di belasan lembar kertas samson berukuran plano. Tulisan-tulisan itu berbahasa Belanda. Andriyani menulis tentang etiket sebagai warga baru ketika mulai menetap di Belanda. Di antaranya, ia menulis sebagai warga baru, siapa yang harus memulai untuk berkenalan dengan tetangga di sekitarnya.
”Saya menuliskan sebuah percakapan, apakah warga baru itu yang menunggu tetangga untuk mendatangi mereka. Atau, mereka yang harus duluan mendatangi tetangga,” kata Andriyani.
Tulisan berikutnya, Andriyani menjelaskan tentang etiket hidup di Belanda. Dia menulis etiket tentang pentingnya membawa bingkisan kecil untuk dibagikan kepada orang lain. Bingkisan kecil itu lalu diwujudkan Andriyani menjadi karya lain di pameran kali ini.
Andriyani mencetak karya-karya fotografinya dan dikemas di lembar akrilik berukuran kecil. Setiap pengunjung diperkenankan mengambil bingkisan itu dan secara sukarela bisa memberikan uangnya.
Satu lagi karya Andriyani berupa video yang diambil di tempat tinggalnya di kota Arnhem, awal tahun 2020 ini. Ia mengambil video perjalanan dengan mengendarai sepeda, bus, dan trem di kota itu sewaktu musim dingin dengan suhu mencapai minus 1 derajat celsius. Dari video itu menampakkan kota Arnhem yang lengang.
Bagi sebagian pengunjung, karya Andriyani mungkin dirasakan berada di luar pagar konvensional pameran seni rupa kita. Catatan etiket warga baru, bingkisan kecil, dan video perjalanan dalam keseharian, sebagai gagasan sederhana yang tidak terduga untuk sebuah karya seni rupa kontemporer.
Seni rupa kontemporer panglimanya adalah gagasan kontekstual, visual menjadi nomor dua. Dalam hal ini, Andriyani mengunggah gagasan kontekstual, yaitu toleransi.
Pseudodemokrasi
Dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), Asmudjo Jono Irianto, hadir sebagai moderator diskusi Artist Talk tersebut. Terkait tema Integrasi, Asmudjo mengungkap, toleransi merupakan dasar dari proses integrasi. ”Di Indonesia, masalah toleransi ini masih semu. Ini menjadikan pseudodemokrasi kita,” ujarnya.
Asmudjo mengutip persoalan yang belakangan muncul di Yogyakarta. Seorang seniman berbeda keyakinan di salah satu wilayah di Yogyakarta dikenai aturan intoleransi. Berikut pula dalam konteks bernegara masih dirasakan ketiadaan toleransi secara rasial yang terus dipermaklumkan. Ini bentuk pseudodemokrasi kita, demokrasi yang semu.
”Integrasi menjadi mantra penting. Lewat karya-karya seni rupa kontemporer ini bisa menjadi advokasi terhadap situasi intoleransi dan ketidakadilan,” kata Asmudjo.
Lewat karya-karya instalasi Daniel Kho, advokasi terhadap situasi terkini terkait toleransi dipaparkan. Ia menggunakan metafora bentuk alien atau makhluk asing warna-warni.
Karya instalasi Daniel yang diberi judul ”Jalan Menuju Nirwana” cukup menarik. Metafora makhluk alien itu berkumpul di sebuah pangkal kain terbentang menjulang landai ke atas. Kain menjulang ke atas itu ibarat jalan menuju surga. Ada satu potong makhluk alien yang terpisah dari kerumunan itu. Menurut Daniel, yang satu terpisah itu justru yang bisa naik ke surga dengan jalannya yang lain.
”Banyak orang hanya menyuruh orang lain untuk menempuh jalan ke surga, tetapi tidak mau terlebih dahulu menempuh jalan itu,” ujar Daniel.
Lili Voight menawarkan satire menarik. Dunia spiritual mengalami reduksi makin menuju keduniawian. Ia membuat olah data digital yang dituangkan menjadi visual rupa patung emas sosok Buddha. Di sekujur tubuh patung mudra itu tertuliskan permohonan doa manusia tentang harapan kekayaan atau kesuksesan duniawi.
Dari tiga bentuk visual, dua patung menunjukkan posisi mudra atau posisi tangan Buddha bermeditasi. Namun, pada patung ketiga itu Lili menggambarkan hal berbeda. Posisi kepala patung itu menoleh. Posisi tangannya pun tak lagi mudra, tetapi dengan posisi mengangkat jari tengah.
Lili menunjukkan tulisan tangannya. ”God will say: I don’t want your praying anymore. Stop praying!”
Tulisan itu bermakna, doa manusia makin banyak yang memohon kekuasaan duniawi. Berhentilah berdoa seperti itu.
Berbeda dengan Ito Joyoatmojo yang menempuh jalur konvensional dengan menghadirkan karya-karya lukisan realismenya. Subyek lukisannya berupa bahan-bahan untuk dimasak. ”Memasak bagi saya itu sama seperti melukis,” ujarnya.
Ito pun menceritakan aktivitas di Swiss yang selalu memasak. ”Sayur dan lauk-pauk hasil masakan saya sering saya bagikan kepada pemilik warung di dekat tempat tinggal. Kami kemudian sering makan bersama,” ujar Ito.
Kesamaan memasak dan melukis menjadi sebuah metafora gagasan seni rupa kontemporer. Memasak tidak mengenal pembenahan atas sebuah ketelanjuran. Ibarat memasak nasi yang telah menjadi bubur. Maka bubur itu tidak dapat dikembalikan menjadi nasi.
Begitu pula, berbagai jenis sayur dan makanan lain yang telah masuk tungku tidak bisa ditarik lagi dan disegarkan kembali seperti sediakala. Ini metafora tentang kehidupan yang linier tak berulang.
Kerap kali perbuatan sebagai kesalahan. Perbuatan salah tidak dapat ditarik kembali. Gagasan ini tampak sederhana dan mewarnai geliat seni rupa kontemporer. Geliat yang makin menjadi fenomena kebudayaan global.