Sejatinya, kehidupan kita dilakukan dalam dua masa yang bersambungan, yaitu saat matahari terbit dan masa setelah matahari terbenam. Dunia gelap-terang itulah yang menjadi teman kita
Oleh
Yuniadhi Agung
·4 menit baca
Setiap hari adalah istimewa. Banyak misteri yang akan terjadi sejak kita bangun tidur hingga kembali memejamkan mata. Grup musik pop rock asal Inggris, Coldplay, membawa pencinta musik mengarungi hari melalui album terbaru mereka, Everyday Life.
Coldplay adalah band kesayangan. Sejak merilis debut album Parachutes (2000), Coldplay menjadi fenomena dunia. Musik mereka yang sederhana dan enak didengar bisa diterima lintas genre, mulai dari penggemar jazz hingga penggemar musik elektronik. Coldplay kini menjadi band dengan jumlah penonton konser terbanyak, di sisi bumi mana pun mereka menggelar konser.
Everyday Life adalah album dobel pertama yang dibuat Coldplay. Materinya berisi 16 lagu dan dibagi dalam dua bagian, ”Sunrise” dan ”Sunset”. Peluncuran album Everyday Life pada 22 November 2019 dikemas dalam acara yang sangat keren.
Coldplay membuat konser di reruntuhan bangunan yang berada di bukit dengan latar pemandangan kota tua Amman, Jordania. Personel Coldplay, Chris Martin (vokal, gitar, piano), Johnny Buckland (gitar), Guy Berryman (bas), dan Will Champion (drum), menggelar konser yang disiarkan secara langsung melalui Youtube.
Coldplay tampil dua kali. Konser pertama diawali saat matahari terbit dengan membawakan delapan lagu di sisi ”Sunrise”. Konser kedua, sisi ”Sunset”, berakhir saat matahari menyentuh cakrawala.
Konser tersebut dibuat dengan sempurna dan sederhana sehingga Coldplay terlihat seperti sedang menggelar pertunjukan di sekitar kita. Para penonton streaming langsung dari berbagai belahan waktu, mulai dari Santiago, Chile, hingga Cilacap, Jawa Tengah, dapat menonton dalam waktu bersamaan dan berbagi kesan di kolom komentar.
Bagi penggemar Coldplay, konser Everyday Life di Jordania tersebut menjadi kesempatan untuk mendengarkan semua lagu di album tersebut.
Album Everyday Life adalah narasi tentang rutinitas manusia. Jika pada album-album sebelumnya Coldplay meliarkan gagasannya, di album ini mereka mencoba mengeksplorasi sesuatu yang sangat personal, yaitu keseharian manusia.
Dalam sebuah wawancara dengan radio BBC dan dikutip oleh NME.com, Chris Martin mengatakan bahwa hidup itu ada pasang surutnya. ”Ada hari-harinya yang menyenangkan, ada pula yang hari-harinya buruk,” kata Chris.
Chris mengatakan, lirik dalam lagu-lagu di album Everyday Life beberapa di antaranya adalah pengalaman pribadinya. Sebagian lain adalah pandangan terhadap apa yang terjadi.
Everyday Life banyak menyinggung tentang kesetaraan, kerinduan, keyakinan, kesedihan, ketidakadilan, persahabatan, kekerasan akibat senjata api, dan kehancuran akibat peperangan. Semua itu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita atau paling tidak apa yang kita lihat di media.
Untuk dapat memahami album Everyday Life, kita harus mendengarkan album ini secara utuh dan berurutan, mulai lagu pembuka hingga penutup. Sama seperti hari kita, diawali saat membuka mata dan berakhir ketika kita memejamkan mata.
Bagi yang terbiasa mendengarkan Coldplay secara sepotong-sepotong dan hanya memilih beberapa lagu favorit, mungkin mereka akan kesulitan menikmati album Everyday Life. Coldplay merancang album ini menjadi sebuah rute yang seluruhnya harus dilalui. Kita tidak bisa memilih langsung menuju malam, tetapi kita harus melintasi siang.
Album Everyday Life dibuka dengan lagu ”Sunrise”, sebuah instrumental string orkestra megah yang meski indah, tetapi menyiratkan sedikit keraguan. Musik ini begitu membius sekaligus memberikan pertanyaan, apa yang akan kita hadapi hari ini?
Tujuh lagu lanjutan di sisi ”Sunrise”, yaitu ”Church”, ”Trouble in Town”, ”BrokEn”, ”Daddy”, ”WOTW/POTP”, ”Arabesque”, dan ”When I Need a Friend” menarasikan perjalanan hari dengan kisahnya masing-masing.
Lewat lagu ”Trouble in Town”, Coldplay menjelaskan bahwa rasisme itu masih ada hingga saat ini. ”Trouble in town/ Because they hung my Brother Brown/ Because their system just keep you down” adalah syair yang mewakilinya. Cahaya yang selalu ada setelah fajar bukan jaminan hari kita bersinar terang. Ada kalanya, sebuah kilasan masa lalu akan membuat mendung.
Lagu ”Daddy”, salah satu lagu terbaik di album Everyday Life, menceritakan rasa rindu mendalam pada sosok ayah. Lagu ini dimainkan oleh Chris Martin dengan pelan dan lirih, seolah sedang memanggil-manggil sang ayah yang jauh di sana. Setelah mendengarkan ”Daddy”, para pencinta Coldplay dijamin akan meleleh dan ingin segera memeluk sang ayah. ”Daddy” terkesan sebagai lagu yang tulus.
Sisi ”Sunset” justru tidak kelam seperti malam. Irama lagu di sisi ini terasa dinamis, lebih enak didengar. Coldplay seperti mengatakan bahwa sepahit-pahitnya siangmu, masih ada malam yang bisa menawarkannya. Sisi ini lebih kepada refleksi kehidupan.
Lagu ”Bani Adam” (di album ditulis dengan huruf Arab) adalah inti dari album Everyday Life. Chris Martin mengawalinya dengan memainkan piano dengan gaya piano klasik kemudian diikuti dengan narasi tentang ketuhanan dari tiga budaya yang berbeda. ”Bani Adam” atau anak-anak Adam membiarkan kita untuk memaknai bahwa sebenarnya semua manusia adalah sama.
Lagu penutup album ini, yaitu ”Everyday Life”, adalah rangkuman perjalanan hidup seseorang. Bagaimana setiap manusia memaknai hidup mereka. Jawabannya, mereka sendiri yang menjalani dan menentukan alur ceritanya.
”What in the world are we going to do?/ Look at what everybody’s going through/ What kind of world do you want it to be?/ Am I the future or the history? ”
Itulah kisah sehari bersama Coldplay. Memang tidak mudah mendengarkan album Everyday Life. Tetapi, bukankah tidak mudah juga bagi kita untuk menjalani hari?