Imajinasi sungguh tak mengenal batas. Seni berbasis teknologi virtual reality atau realitas rekaan ikut andil mengingatkan kita agar tak lengah menjaga lingkungan.
Oleh
NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
Seni media baru membuka ruang imajinasi tak terbatas, termasuk menghadirkan satwa yang belum lama dinyatakan punah, muncul seperti hidup kembali. Seni berbasis teknologi virtual reality atau realitas rekaan ini ikut andil mengingatkan kita agar tak lengah menjaga lingkungan.
Paulina Bebecka dari Postmasters Roma, Italia, Kamis (19/12/2019), mewakili rekannya, Jakob Kudsk Steensen. Ia menerangkan karya ”Re-Animated” yang ditampilkan dalam festival seni berbasis teknologi Wave of Tomorrow (WoT) di The Tribrata, Jakarta. Festival ini berlangsung pada 20-29 Desember 2019.
Jakob adalah seniman asal Denmark yang kini menetap dan berkarya di New York, Amerika Serikat. Jakob fokus dalam pengembangan karya seni berbasis teknologi digital yang bertalian erat dengan ekologi.
Kali ini ia menghadirkan realitas rekaan sebuah hutan yang ada di sebuah pulau di Kepulauan Hawaii. Pengunjung dapat menikmati realitas rekaan itu dengan kacamata okulus. Ini sebuah peranti yang memungkinkan sudut pandang penglihatan mencapai 360 derajat.
Tidak sekadar isi hutan tropis berupa pepohonan. Menurut Paulina, di situ dihadirkan kembali burung endemik yang baru-baru ini dinyatakan punah.
Burung itu dengan sebutan lokal, Kaua’i oo. Jakob menjumpai jenis burung itu di kanal Youtube yang sebelumnya direkam seorang periset pada 1980. Kemudian, Jakob menghadirkan rekaman video burung di Youtube itu ke dalam video realitas rekaannya.
”Ini sebenarnya sebuah pesan konservasi atau penyelamatan lingkungan yang ingin disampaikan Jakob,” ujar Paulina.
Burung Kaua’i oo di hutan dengan pepohonan tinggi ataupun rendah yang menghias lantai hutan itu dapat dinikmati. Jakob juga menampilkan ilustrasi gumpalan kabut hasil semburan karbon dioksida dari napas kita. Jakob ingin menunjukkan kondisi hutan itu masih dipenuhi kandungan oksigen.
Wave of Tomorrow kali ini diselenggarakan untuk yang kedua kalinya. Ada 14 karya yang ditampilkan oleh 13 seniman kolektif. Mereka dari Tanah Air meliputi Rubi Reosli/Biroe, Sembilan Matahari, Kinara Darma x Modulight, Maika, UVisual, Ricky Janitra, Motionbeast, Notanlab, dan Farhanaz Rupaidha.
Selanjutnya, dari negara lain meliputi Nonotak, Tundra, Ouchhh, dan Jakob Kudsk Steensen. Kurator Wave of Tomorrow, Mona Liem, membingkai pameran ini dengan tema ”Transformasi”. Mona membagi ke dalam tiga subtema, yaitu masa lalu, sekarang, dan masa depan.
Kepunahan burung Kaua’i oo karya Jakob masuk bingkai masa lalu. Akan tetapi, ini mengentak kesadaran manusia sekarang.
Warna psikologis
Notanlab menghadirkan karya ”Colo (ur)” dengan mengemas gabungan isu ekologi, seni lukis, dan psikologi. Dengan peranti telepon seluler tablet, pengunjung diajak berinteraksi mewarnai sketsa satwa endemik Tanah Air yang meliputi burung maleo, enggang, komodo, kasuari, badak bercula satu, dan orangutan.
Hasil karya pengunjung ditampilkan di layar. Kemudian, ketika karya itu dicetak, akan menampilkan karakter warna psikologis yang bersangkutan.
”Karya ini menunjukkan hasil analisis komposisi warna yang kita buat. Dari situ akan diketahui karakter psikologisnya,” ujar Maulinda dari
Notanlab.
Notanlab juga menghadirkan karya ”Capt (ur)e”. Ada lintasan yang bisa dilalui pengunjung. Di sisi kiri dan kanannya dipasang belasan telepon pintar yang bergerak. Ini mengilustrasikan kebiasaan swafoto kita.
Di luar ruang dipasang layar yang menangkap gerak orang yang melintas. Maulinda mengatakan, pesan dari karya ini terkait pentingnya kontrol diri. Adakalanya kita sama sekali tidak mampu mengontrol diri sendiri. Justru diri kita dikontrol orang lain.
Glee Ananda dari Maika menceritakan karya Rhyme yang terinspirasi Candi Borobudur. Ia membangun bentuk stupa besar dengan struktur kerangka bambu yang dilengkungkan.
Isi stupa ini berupa instalasi lampu dan cermin yang berputar di sumbunya. Putaran cermin merespons gerak manusia di sekitarnya seiring arah jarum jam.
Ananda mengisahkan tiga fase untuk mengenal manusia satu sama lain. Fase itu meliputi fase kulit, daging dan tulang, serta jiwa dan pikiran. Ini seperti di Candi Borobudur yang membagi tiga fase kehidupan sebagai Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu.
Arsitektural
Bertitik tolak dari nilai seni arsitektural, Rubi Roesli menyusun karya instalasi ”Ruang dan Batas”. Komposisi tali dibentuk seperti bidang yang bisa menangkap garis sinar.
”Jika sepotong tali hanya menangkap satu titik sinar, ketika dalam jumlah banyak dan diatur komposisinya akan bisa membentuk bidang,” tutur Rubi.
Bidang yang terbentuk dari cahaya dan komposisi tali itu hanya terlihat pada malam hari. Saat terang, seperti siang, akan terlihat transparan.
Ada pula Nonotak, duo kolaborasi ilustrator asal Perancis, Noemi Schipfer, dan musisi sekaligus arsitek asal Jepang, Takami Nakamoto. Nonotak menampilkan karya ”Leap V.3” berupa instalasi lampu di lantai dengan pengaturan nyala yang merespons musik. Mungkin juga, sebaliknya. Karya Nonotak ini serasa lampu yang menyala bergantian menyerupai alat musik yang menghasilkan nada. Ada sensasi cahaya berbaur musik.
Tundra dari kolektif seniman asal St Petersburg Rusia menampilkan karya ”The Day We Left Field”. Ini seperti menghadirkan lukisan surealis yang bergerak di langit-langit ruang. Tundra memasang batang-batang rumput artifisial di langit-langit. Dari seputar dinding ruang ditembakkan sinar beraneka warna.
Ujung batang rumput artifisial itu menangkap warna-warna dari sinar tersebut. Kemudian, memantulkan kembali secara masif dan bergerak menimbulkan kesan gelombang warna.
Ouchhh sebagai kolektif seniman berbasis di Istanbul, Turki, dan Los Angeles, Amerika Serikat, menampilkan karya ”Data Gate”. Karya ini mengeksplorasi luar angkasa dengan data penelitian astronomi Kepler milik NASA.
Pengunjung diajak berfantasi mengamati eksoplanet atau planet-planet yang mengorbit bintang yang lain. Di situ ada harapan menjadi titik astronomi yang memberikan peluang ruang hidup baru bagi manusia.