Kisah Para Pemenang Kehidupan
Mereka merengkuh persahabatan tanpa sekat penglihatan, dan menyemai toleransi tanpa dibatasi segala atribut diri. Mereka sesungguhnya adalah para pemenang kehidupan.
Mereka sekumpulan orang dengan keterbatasan, tetapi memiliki hati tak berbatas. Mereka merengkuh persahabatan tanpa sekat penglihatan, dan menyemai toleransi tanpa dibatasi segala atribut diri. Mereka sesungguhnya adalah para pemenang kehidupan.
Setiap Jumat siang, seperti biasa, Sugeng Wahyudi (32), yang lahir di Blitar, mendorong kursi roda yang digunakan oleh sahabatnya, Agung Widiantoko (29), pemuda asal Yogyakarta, menuju masjid berjarak 60 meter dari rumah kontrakan mereka. Hari itu, Agung akan beribadah shalat Jumat, kewajibannya sebagai seorang Muslim.
Agung adalah penyandang disabilitas daksa, kedua kakinya tidak tumbuh normal. Hal itu membatasi gerak langkahnya jika tanpa kursi roda. Tugas Sugeng Wahyudi biasa dipanggil Yudi adalah menjadi ”kaki” bagi Agung.
Yudi, yang menyandang disabilitas netra, dengan pelan mendorong kursi roda yang dinaiki Agung. Sesekali, dari kursi rodanya, Agung berteriak mengarahkan kiri dan kanan. Langkah mereka lamban karena Yudi harus menyesuaikan dengan penglihatannya yang tak sempurna.
Kami di sini memang saling bantu, saling melengkapi.
Meski begitu, dengan berjalan kaki, Yudi siap pergi ke mana pun bersama temannya itu. Mereka bahkan tak jarang berjualan kerupuk hingga Blitar dengan berjalan kaki (berjarak sekitar 60 kilometer dari Malang).
Sesampainya di masjid, Yudi tidak ikut masuk. Ia tidak shalat Jumat karena beragama Katolik. Ia menunggu di halaman atau di bangunan luar masjid selama lebih kurang satu jam, menanti sahabatnya beribadah.
”Kami di sini memang saling bantu, saling melengkapi. Saya disabilitas daksa, maka Yudi menjadi ’kaki’ saya. Begitu pula Yudi, dia disabilitas netra. Maka saya jadi ’mata’-nya,” kata Agung, Selasa (17/12/2019), di rumah kontrakan mereka, di Jalan Bandulan Barat 294, Kota Malang, Jawa Timur.
Saking setianya Yudi mengantar sahabatnya untuk shalat Jumat, seorang anggota jemaah masjid pernah memberikan baju koko kepada Yudi. ”Ini baju untuk temanmu, kasihkan kepadanya,” kata Agung menirukan seorang anggota jemaah yang memberikan baju koko karena melihat Yudi hanya menanti di luar masjid. Ia mengira Yudi malu masuk ke masjid karena hanya mengenakan kaus oblong.
Kisah menarik lain juga dirasakan keduanya setiap hari Minggu. Saat itu, ganti Agung yang mengantarkan Yudi untuk mengikuti ibadah misa Minggu. Mereka akan berangkat dari rumah saat lalu lintas masih lengang. Yudi biasanya mengikuti misa pukul 06.00-07.30. Biasanya pula Agung menunggu Yudi dengan berjualan kerupuk di halaman gereja.
”Saya, kalau tidak ada Mas Agung, ya, tidak akan sampai gereja. Begitu juga Mas Agung. Ini semua kami lakukan karena kami saling melengkapi. Minta tolong kepada orang seagama juga belum tentu mereka mau,” kata Yudi.
Nyata
Kisah persahabatan yang saling menggenapi antara Yudi dan Agung adalah salah satu sumbangsih teman penyandang disabilitas di Komunitas Rumah Sahabat terhadap Indonesia. Mereka memberikan contoh nyata tentang sikap toleran, tolong-menolong, serta kerja keras, sebagaimana digemakan dalam ruang-ruang seminar dan kelas perkuliahan oleh para pejabat negeri ini.
”Bagi kami, cinta Pancasila dan NKRI tidak usah dengan banyak omong. Kami lakukan yang kami bisa, ya dengan seperti ini,” kata Akhiles Alokako, pendiri Komunitas Rumah Sahabat.
Akhiles sebelumnya adalah guru musik di beberapa sekolah. Setelah mengalami kecelakaan, kakinya tak lagi selincah dulu. Ia akhirnya fokus bermusik bersama sahabat disabilitas lain.
Akhiles senang karena di kampung tempat mereka tinggal setidaknya ada yang mulai mencontoh toleransi mereka dalam beragama. ”Saya lihat ada ibu-ibu berjilbab mengantar kerabat pergi ke gereja. Hal ini sudah membuat kami sangat senang karena kami merasa ada gunanya hidup di dunia ini,” tutur Akhiles.
Komunitas Rumah Sahabat didirikan untuk mengajak penyandang disabilitas berkarya melalui musik. Mereka membentuk grup musik Netra Laras dan grup musik RJY (Rofi, Joko, Yudi). Jenis musik yang dimainkan meliputi karawitan dan pop. Meski begitu, mereka juga bisa bermusik dangdut.
Rata-rata anggota komunitas adalah orang dewasa dan remaja usia lepas sekolah, yang tak tahu lagi akan berbuat apa selepas sekolah. Agung (penyandang disabilitas daksa) memainkan drum, Yudi (penyandang disabilitas netra) bermain gitar melodi dan menjadi vokalis, Rofi (penyandang disabilitas netra) pemain bas, Joko (low vision) bermain kibor, dan Akhiles meminkan kibor 2.
Selain menerima panggilan pentas bermusik di beberapa acara atau hajatan, mereka mengisi waktu dengan berjualan kerupuk dan ngamen. Sekali berjualan kerupuk, Agung dan Yudi baru bisa kembali ke rumah empat hari kemudian. Hal ini terjadi karena mereka berjalan kaki hingga luar kota. Keduanya tidur di area pompa bensin, mushala, atau mereka tidur di rumah kenalan.
”Yang kami butuhkan bukan bantuan uang. Yang dibutuhkan kawan-kawan disabilitas adalah ruang dan kesempatan. Kemampuan mereka tak kalah dari orang normal. Hanya saja, mereka terkadang tak memiliki ruang dan kesempatan sehingga kemampuan mereka tak diketahui banyak orang. Jika diberi kesempatan, mereka bisa melebihi capaian orang normal,” kata Akhiles.
Mereka kini juga mulai memanfaatkan kemajuan teknologi dengan mengunggah beberapa video saat mengamen dengan akun Youtube Netra Laras Music. Harapannya semakin banyak orang mengenal kemampuan mereka.
”Kami sudah pernah rekaman dan tidak mencantumkan tentang kondisi fisik kami di album. Kami tak ingin dikasihani dan dilihat karena fisik. Hanya memang ada kesalahan dalam produksinya hingga VCD itu tak bisa dipasarkan secara luas,” kata Akhiles.
Neneng (50), tetangga Akhiles dan teman-temannya, merasa kehadiran penyandang disabilitas di lingkungannya memberikan contoh baik. ”Meski memiliki keterbatasan, mereka bertetangga dengan baik. Mereka tetap bekerja keras dan tidak minta dikasihani. Mereka menunjukkan toleransi beragama yang baik,” katanya.
Agung, Yudi, Akhiles, dan kelompoknya adalah orang-orang dengan keterbatasan fisik, tetapi memiliki hati dan pemikiran tak berbatas. Mereka menempatkan persahabatan di atas segala sekat perbedaan.
Kebudayaan
Di tempat berbeda, seni budaya juga mengikat warga Dusun Sebaluh, Pandesari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, dalam toleransi dan kekeluargaan. Dusun berpenduduk 2.900 jiwa itu dikenal sebagai salah satu dusun toleran di Malang.
Masyarakatnya cukup beragam, baik dari sisi agama maupun mata pencarian. Ada warga yang memeluk Islam, Hindu, Nasrani, dan aliran kepercayaan Sapta Darma. Masyarakat dengan beragam agama dan kepercayaan itu tetap lebur menjadi satu dalam setiap kegiatan desa, seperti bersih desa dan kegiatan budaya lain.
”Di sini semua bergotong royong membangun desa. Membangun tempat ibadah seperti pura dan masjid pun bersama-sama. Soal kepercayaan itu masing-masing. Namun, soal membangun dan memajukan desa adalah kewajiban bersama,” kata Imam Bashori, Kepala Dusun Sebaluh.
Salah satu pusat kegiatan masyarakat berada di punden dusun. Punden ini pada Agustus 2019 oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang disebut Rumah Kebhinekaan karena menampung semua golongan dan kegiatan desa.
Seluruh kegiatan dusun seperti selamatan desa dan perayaan tahun baru Jawa (1 Sura) selama ini dipusatkan di sana. Di setiap kegiatan dusun selalu dibuka dengan doa dari setiap agama dan aliran kepercayaan.
”Itu merupakan hal biasa, seperti setelah selawatan, kami langsung karawitan, ha-ha-ha,” kata Joko Umbar, warga RT 018 Dusun Sebaluh. Joko adalah pemain karawitan.
Menurut dia, selama ini sikap kekeluargaan antarwarga terjalin berkat seni budaya. Bermacam seni budaya, seperti leang leong, jaranan, dan selawatan, tumbuh subur di desanya.
Bagi warga Dusun Sebaluh, kebersamaan dan toleransi terbangun dengan perantaraan seni budaya.