Yang Tersisa dari DWP 2019, “Jakarta, Let’s Make Some Noise!”
Pesta telah usai. Kendati singkat, ribuan orang senang karena bisa menunjukkan sisi dirinya yang “liar”, sisi yang mungkin “tabu” buat publik. Inilah sebagian yang tersisa dari gelaran Djakarta Warehouse Project 2019.
Nyaris semua disc jockey mengucapkannya. Kalimat “make some noise!” jadi mantra paling manjur buat mengisi ulang semangat ribuan penonton yang sempat menguap bersama peluh. Bagai tersihir, mereka larut dalam “titah” sang DJ.
Mantra itu membuat penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) 2019 berseru riuh. Terserah saja apa yang mau diserukan. Teriak sambil lompat-lompat dan joget juga boleh. Pokoknya, tidak ada gaya yang dilarang di festival musik dansa elektronik (electronic dance music/EDM) tahunan itu.
Kebebasan yang sama juga berlaku buat gaya berbusana. Banyak penonton perempuan datang dengan paduan celana pendek dengan tank top atau bralette. Ada pula yang bergaya eksentrik ala unicorn dengan liltan lampu dekorasi. Para lelaki juga ada yang bertelanjang dada.
Barangkali, gaya busana ini jadi salah satu pemicu organisasi masyarakat berdemo menolak DWP. Kata mereka, ini ajang maksiat. Mereka menuntut Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk mencabut izin penyelenggaraan DWP. Demo seperti ini ada saban tahun.
“Dulu, ormas juga demo di 2017. Saya ada di sana saat mereka demo di area parkir Jakarta International Expo. Mereka bawa mobil yang ada speaker besar. Tapi, speaker mereka kalah keras dengan speaker-nya DWP,” kata salah satu pengunjung DWP 2019, Ilham (24).
DWP 2019 diadakan di Jakarta International Expo (JIExpo) pada 13-15 Desember 2019. Ini adalah pelaksanaan kesebelas sejak pertama kali diadakan pada 2008. Ada ribuan orang yang datang. Warga negara asing juga hadir sambil membawa bendera negaranya, antara lain Malaysia, Palestina, Jepang, Korea Selatan, Vietnam, dan Bangladesh.
Baca juga : Potensi Pajak Tinggi, DWP 2019 Tetap Digelar
Dentuman keras musik “dubs-dubs” mengaburkan perbedaan yang ada. Semua lebur dalam semangat PLUR (peace, love, unity, dan respect). Protes dan stigma negatif dari publik tidak lagi jadi soal di tempat ini. DWP seakan jadi safe space (tempat aman) buat mereka yang “berbeda” dari konstruksi sosial.
Dahulu ilegal
Pada tahun 1980-an, komunitas rave menggelar pesta yang identik dengan musik EDM di Inggris. Pesta itu ilegal dan rahasia. Menurut sosiolog Tammy L Anderson, gudang (warehouse) umumnya jadi tempat ideal untuk berpesta (Kompas, 22/12/2013).
Komunitas rave dan musik EDM digolongkan sebagai deviasi di masa lampau. Keduanya adalah produk subculture yang bersimpangan dengan tatanan sosial. Raver hidup terpisah dari siklus kehidupan yang dipandang mapan dan hidup dengan menabrak inhibisi.
Menurut Fiona Buckland dalam buku Impossible Dance: Club Culture and Queer World-Making, EDM bukan sekadar musik. EDM adalah pelarian sementara dari kesengsaraan publik marjinal.
Pesta komunitas rave juga dirahasiakan di Amerika Serikat. Pesta tersebut bahkan lekat dengan stigma negatif dari publik dan pemerintah. Pasalnya, obat terlarang kerap ada di pesta itu. Pemerintah pun punya justifikasi untuk melarang pesta rave beserta EDM.
Seiring berjalannya waktu, publik ingin menggelar pesta yang legal. Beberapa orang berpendapat bahwa EDM layak dipandang secara objektif. Sebab, pada dasarnya, EDM adalah musik. Festival musik EDM pun dilegalkan.
Christopher T Conner dalam tulisan berjudul Electronic Dance Music: From Deviant Subculture to Culture Industry menyatakan, ada harga yang harus dibayar dari legalisasi festival EDM. Lokasi festival harus diungkap ke publik dan pengunjung harus memiliki tiket. Beberapa wilayah bahkan mengenakan pajak dari festival EDM, salah satunya DKI Jakarta.
Legalisasi itu membawa EDM dari klub bawah tanah dan gudang ke klub malam yang legal. Pergeseran ini terjadi sekitar tahun 2000-an.
Meriah
DWP 2019 berlangsung meriah. Ada tiga panggung berbeda yang bisa dijajal penonton. Adapun DJ yang tampil di panggung itu berbeda-beda. Panggung paling besar, Garuda Land, ada di lapangan. Panggung ini megah dengan dekorasi menyerupai burung garuda raksasa.
Dentuman musik langsung terdengar kala pengunjung lolos dari pemeriksaan petugas keamanan. Musik ini seakan jadi pemanasan sebelum pesta yang sesungguhnya dimulai. Sementara itu, cahaya lampu sorot sudah lebih dulu menari-nari dari beragam penjuru. Bagi yang tidak terbiasa, pusing adalah keniscayaan.
Malam semakin larut, tapi jumlah pengunjung malah semakin banyak. Energi mereka juga semakin tinggi. Para DJ pun tak henti memompa adrenalin penonton dengan kalimat ”Let me hear you scream!” dan “One, two, one, two, three, jump!” Dalam penampilan selama 1,5 jam, seorang DJ bisa menyerukan ini lebih dari lima kali.
Waktu sudah lewat tengah malam saat Zedd naik ke panggung. Ia tidak membuang waktu dan langsung memainkan musik racikannya yang bikin orang berjingkrak. Sederet lagunya yang populer pun dimainkan, seperti “Beautiful Now”, “Clarity”, “Stay the Night”, dan “The Middle”.
Penonton berkali-kali ikut bernyanyi bak paduan suara, melompat-lompat sesuai irama, dan bertepuk tangan. Zedd berkali-kali mengabadikan momen itu di ponsel pintarnya. Ia bahkan mengunggah keriuhan penonton di Instagram Story miliknya lengkap dengan emoji hati.
Penampilan Zedd dianjutkan dengan DJ nomor dua dunia versi djmag.com, Martin Garrix. Salah satu lagu yang membuat massa bernyanyi bersama adalah “In the Name of Love”, “Scared To Be Lonely”, dan “Like I Do”.
Di hari ketiga, giliran Calvin Harris yang jadi bintang paling ditunggu. Massa merapat ke panggung menjelang penampilan sang DJ. Penonton harap-harap cemas ketika petugas membawa dua menara besar yang mengapit podium DJ di pangung. Mereka tahu bahwa ini akan jadi penampilan yang epik.
Musik yang dimainkan Harris langsung mengentak. Lampu-lampu sorot dimainkan dengan lebih intens—bahkan paling intens dibandingkan semua penampil di Garuda Land. Kembang api berkali-kali meluncur dan meledak di langit yang gelap. Semburan api dan konfeti pun membuat penonton berdecak kagum.
“Dari semua DJ, saya paling menantikan Calvin Harris. Saya suka sekali dengan EDM hingga rela ke Indonesia. Soalnya, kami tidak punya acara seperti ini di Malaysia,” kata Luqman (23) yang berasal dari Malaysia.
Calvin Harris tidak tampil mengecewakan malam itu. Ia menyatukan penonton yang bernyanyi, “we found love in a hopeless place. We found love in a hopeless place.” Seperti lirik lagunya, para penonton berbagi energi positif di dunia yang mungkin tidak benar-benar memahami mereka.
DWP 2019 selesai jam 3 subuh. Ribuan penonton yang lelah kembali sumringah saat puluhan panitia berjejer menyambut mereka di gerbang keluar. “Gila, gokil banget. Tahun depan lagi, ya!” kata seorang pengunjung.
Pesta telah usai. Kendati singkat, ribuan orang senang karena bisa menunjukkan sisi dirinya yang “liar”, sisi yang mungkin “tabu” buat publik. Harapan untuk berpesta lagi tahun depan mereka simpan dalam hati. Sebab, sorot mata penuh penghakiman dan cibiran (mungkin) akan mereka dapati lagi ketika melangkah keluar dari gerbang.