Suluh Imajinasi Gandari
Pentas opera kontemporer Gandari menyuguhkan puisi, iringan musik ”baru”, dan visualisasi tata gerak ketubuhan teatrikal.
Pentas opera kontemporer Gandari menyuguhkan puisi, iringan musik ”baru”, dan visualisasi tata gerak ketubuhan teatrikal. Ditambah pencahayaan dan citra layar, opera ini menghadirkan suluh imajinasi berspektrum luas tentang sosok seorang perempuan dan ibu para Kurawa dari epos Mahabharata.
Christine Hakim dalam naungan cahaya yang memancarkan kewibawaan anggun di ketinggian panggung lantang mendaras puisi Gandari karya sastrawan Goenawan Mohamad di tahun 2013 itu. Sesekali soprano Bernadeta Astari melantunkan sepenggal bait puisi itu menjadi nyanyian yang diiringi tata gerak teatrikal para pementas lain.
Puisi Gandari menjadi suluh yang menerangi imajinasi penikmat. Bahkan, sutradara opera Melati Suryodarmo menabal puisi itu tidak sedang berkisah, tetapi sedang membangkitkan imajinasi pemeluknya.
”Katakan kepada saya, apakah yang paling menyakitkan dari perang? Kekalahan? Atau kebencian?”
Demikian satu petikan di bagian akhir puisi tentang batin Gandari yang bertanya dan tak terjawab hingga pungkas. Goenawan Mohamad berhasil membangkitkan imajinasi untuk meraih jawaban-jawaban yang serba mungkin itu.
Garapan musikalisasi opera ini digarap komponis Tony Prabowo. Ia menyebutnya sebagai musik ”baru”. Warna musiknya memang berbeda dan jarang ditemui. Ada warna musik opera ala Barat, tetapi Tony jauh lebih memperkayanya.
Ia melibatkan 25 ensambel atau kombinasi alat musik dengan konduktor atau pengaba Peter Veale yang datang dari Musikfabrik Jerman. Paduan suaranya dibawakan Batavia Madrigal Singers yang dipandu Avip Priatna.
Penata panggung dan perancang artistik Jay Subiyakto melibatkan Joonas Tikkanen asal Finlandia untuk penataan cahaya pentas. Citra layar dengan video dimainkan Taba Sanchabakhtiar.
Opera Gandari di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ini dipentaskan pada Sabtu (14/12/2019) dan Minggu keesokan harinya.
Kebencian, kekalahan
Christine Hakim bertindak sebagai narator. Ia membacakan puisi di sekujur pentas opera ini. Di dalam puisinya itu Goenawan Mohamad menerbitkan sebuah pertanyaan menarik yang tersimpan di dalam batin Gandari.
Apa yang paling menyakitkan dari perang? Kekalahan atau kebencian? Beberapa waktu sebelum pementasan, dalam obrolan ringan Christine Hakim menuturkan perihal ini.
”Kebencian itu yang membuat kekalahan,” ujar Christine.
Ia tidak bisa membuat justifikasi mana yang paling menyakitkan di antara dua hal, kekalahan atau kebencian. Kekalahan dan kebencian itu berpasangan.
Christine mengatakan, begitu pula Goenawan Mohamad yang tidak ingin membuat justifikasi terhadap sosok Gandari dalam puisinya. Christine mengaku, telah berulang menanyakan perihal puisi itu kepada Goenawan.
Ujung pemahamannya bahwa perempuan tidak bisa menolak untuk diberi peran dan posisi masing-masing. ”Gandari menjadi sosok yang pasrah. Sosok yang setia mendampingi suaminya, Destarastra yang buta, kemudian juga membutakan diri menutup matanya dengan kain,” kata Christine.
Gandari, layaknya manusia biasa yang kadang-kadang tidak memahami sesuatu yang sedang terjadi. Hal yang jamak, ketika manusia mungkin baru bisa memahami suatu peristiwa di kemudian hari setelah peristiwa berlangsung.
Pesan dari itu semua, hidup manusia itu berproses. Hidup manusia jangan membatasi diri, tetapi terus-menerus berproses untuk mengembangkan diri. ”Dalam hidup ini, kita harus melangkah ke depan,” ujar Christine.
Gandari menyuguhkan pengetahuan tersendiri. Lewat catatan Goenawan Mohamad per 29 Desember 2018 di portal media sosial Facebooknya, pengetahuan itu tersibak gamblang.
Goenawan mengawali, ”Seorang ibu yang tak pernah dimuliakan adalah Gandari. Ia berada di pihak yang kalah dan dibenci.”
Ibu para Kurawa itu dikisahkan sebagai perempuan yang tak hendak mendidik anak-anaknya. Pencerita dan penontonnya tidak pernah memperlihatkan simpati kepada Gandari. Sosok Gandari sebenarnya penting. Ia perempuan teguh yang memperlihatkan bahwa Mahabharata adalah sebuah tragedi. Ini epos kepahlawanan Mahabharata yang menunjukkan destruksi dan kemerosotan.
Goenawan Mohamad memberi tautan alur kisah yang panjang setelah Bharatayudha. Tetapi, ada hal menarik terkait Gandari. Ia menceritakan Gandari yang melabrak Kresna, karena sebagai titisan Dewa Wisnu yang semestinya bisa mencegah peperangan, tetapi ia tidak mau melakukannya.
Goenawan kemudian mengutip Nietzsche juga untuk melihat hidup bergerak karena hasrat akan kuasa, dalam der Wille zur Macht. ”Sering kulihat hasrat memerintah sebagai tanda kelemahan batin: mereka takut akan jiwa budak dalam diri mereka sendiri, dan menutupinya dengan jubah kerajaan”.
Disebutkan Goenawan, manusia tidak menjadi budak jika menganggap kekuasaan tidak penting. Gandari, sosok perempuan di dalam keteguhannya ini masih melihat kekuasaan adalah sesuatu yang penting.
Gandari memiliki kekhawatiran masa depan akan takhta suaminya yang harus diserahkan kepada Pandawa, bukan kepada anak keturunannya, Kurawa. Kekuasaan bagi Gandari itu yang utama dan justru ia kemudian terkalahkan.
Menyikapi epik kuno
Sutradara Melati Suryodarmo dalam memanggungkan opera Gandari ini mengungkap tujuan yang menarik. Melati ingin mengajak kaum milenial untuk menyikapi epik kuno lewat sepenggal kisah Gandari dari Mahabharata.
”Dalam mengangkat kisah Gandari, ini saya kira menjadi tugas yang sangat berat,” ujar Melati.
Teks puisi Gandari mengangkat suasana hati dari suatu peristiwa peperangan Bharatayudha. Melati menyebutnya sebagai fluktuasi ruang atau naik-turunnya suasana hati seorang ibu, yang juga perempuan biasa dalam menghadapi peperangan.
Dalam konteks kehidupan sosial politik kita belakangan ini, tidak mengherankan ada istilah ”emak-emak” yang turut larut dalam gemuruh pukau penentuan pemegang takhta presiden atau kepala daerah lewat pemilu. Tidak hanya Gandari, emak-emak atau para ibu dalam menghadapi situasi nyata perebutan kekuasaan itu ternyata juga memiliki fluktuasi ruang.
Ada peran seorang ibu yang seolah-olah menjadi korban kekerasan pihak lawan. Ternyata memiliki wajah lebam sebagai korban dirinya sendiri yang menempuh operasi plastik.
Ada peran seorang ibu lain yang penuh gereget dan emosional memutarbalikkan logika tentang surga. Incarannya tak lebih dari mendulang suara dukungan.
Gandari dari epik kuno. Tetapi, detak jantung dan sengal napasnya seolah masih terdengar sampai sekarang. Seperti kata Christine. Kebencian selalu menerbitkan kekalahan dalam suatu peperangan.
Para milenial bisa memetik pesan sederhana ini dari opera Gandari yang dirajut memiliki keindahan puitik, nyanyian, musik, pendaran warna citra layar, dan sebagainya.
Seperti ketika indahnya panggung itu bak lukisan abstrak memerah. Tetapi, memerah itu untuk mendramatisasi merah darahnya Dursasana yang terburai. Merah darah Dursasana yang diminta Drupadi untuk mengeramasi rambutnya yang dibiarkan lepas tergerai usai dijamah Dursasana dengan penuh nista.