Kasur pasir ibarat ibu kandung yang selalu memberi kenyamanan kepada anaknya. Begitulah yang dirasakan warga Desa Legung Timur, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Madura, ketika tidur di atas kasur pasir.
Oleh
Mohammad Hilmi Faiq
·4 menit baca
Suryani (58) mengambil ayak, sejenis tapis selebar kertas folio. Mata tapis ini lembut selembut penyaring teh di kedai-kedai. Dia yang semula duduk di lantai rumah, lalu turun ke halaman. Di sana terhampar pasir dari sudut ke sudut. Permukaannya tak beraturan karena bekas diinjak-injak banyak orang.
Suryani lalu menyerok pasir dengan tapis tadi dan mengayaknya sambil duduk ngesot. Perlahan bergeser mengitari seluruh halaman rumah yang lebarnya sekitar 20 meter persegi itu di Desa Legung Timur, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Madura. Pada tapis tadi kadang ia menemukan kerikil agak besar atau binatang kecil yang dia sebut bilis-bilis.
Ia rajin menapis pasir itu sehari sekali, terutama menjelang tidur. Selang 15 menit kemudian, permukaan pasir itu bersih dan rata. Permukaannya sangat lembut dan ada sensasi empuk ketika diinjak.
Di atas pasir itu, di halaman rumahnya, Suryani biasa mengajak serta anak dan cucunya untuk tidur. Selepas isya, dia mulai bersiap menata bantal di atas pasir. Lalu dia akan mendongeng pendek atau bercerita tentang apa saja yang menyenangkan cucunya. “Tadi malam kami baru tidur jam 10-an karena asyik bercerita sambil menikmati cahaya bulan,” kata Suryani, Selasa (10/12).
Kebetulan cahaya bulan cukup terang meskipun belum bulat sempurna menjelang purnama. Langit hanya sesekali mendung tetapi lebih banyak terangnya karena musim hujan telat datang. Kondisi ini di satu sisi meresahkan warga karena udara menjadi panas, namun di sisi lain menyenangkan, karena mereka bisa menikmati cahaya bulan.
Suryani memilih tidur di halaman lantaran udaranya lebih sejuk. Kadang mereka diterpa angin sepoi-sepoi dari laut yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya. Bunyi ombak yang ritmis dan repetitif ikut meninabobokan mereka.
Kampung tempat tinggal Suryani mendapat julukan kampung kasur pasir. Sebab, terdapat ribuan warga yang menggunakan pasir sebagai kasur. “Jumlahnya sekitar 1.500 rumah yang memakai kasur pasir di kampung ini,” kata Ketaua RT 02 RW 06, Asy\'ari.
Selain halaman berlapis pasir, mereka juga mempunyai kasur pasir di dalam kamar. Bentuknya mirip kolam seukuran tempat tidur yang diisi pasir hingga setebal 20 centi meter. Pasir ini lembut sekali bahkan kadang lebih lembut dari yang ada di halaman.
Ida (38), warga RT 3 RW 4 Desa Legung Timur menceritakan, pasir itu diambil dari tepi pantai Lombang, sekitar 4 kilometer dari Legung Timur. Warga biasanya menggali sampai kedalaman satu meter untuk mengambil pasir tersebut. Mereka percaya bahwa pasir di kedalaman itu lebih bersih dan halus. Pasir lalu dibilas air tawar dan dijemur sampai kering sebelum dijadikan kasur.
Tidak ada data sejak kapan warga menggunakan pasir sebagai kasur. Sejak lahir, mereka sudah mengenal kasur pasir. Bahkan tidak sedikit warga yang dilahirkan dan melahirkan di atas kasur pasir. Benar, kasur ini berfungsi selayaknya kasur pada umumnya. Segala aktivitas yang biasa dilakukan di atas kasur pegas atau kapas juga dilakukan di kasur pasir, termasuk melahirkan.
Ida mengisahkan, ketika melahirkan anak pertamanya, Ahmad Zainuri 13 tahun lalu di klinik, dia sangat tersiksa. Badan pegal-pegal dan lemas. Dia bahkan menyimpan trauma sampai sempat terpikir untuk tidak hamil lagi. Namun Tuhan berkehendak lain. Sekitar tujuh tahun lalu dia hamil tua. Atas saran banyak orang, dia mencoba melahirkan di atas kasur pasir dengan bantuan dukun yang biasa membantu perempuan melahirkan.
“Sama sekali tidak sakit. Lancar. Badan juga tidak lemas. Mungkin karena semua badan saya ‘dipegang’ pasir,” ungkapnya.
Saat merebahkan diri di atas kasur pasir itu, seluruh berat badan ditopang pasir. Seperti dipeluk pasir. Seluruh beban di badan diambil alih pasir. Ketika bangun, pasir menyisakan cetakan bentuk badan.
Cara kerja itu, menurut pengguna kasur pasir, dapat mengurangi beragam keluhan kesehatan. Rematik, pegal-pegal, sampai linu-linu berkurang, bahkan hilang ketika bangun tidur. Pengalaman warga itu menguatkan mereka bahwa kasur pasir memang terbaik. Banyak orang menilai, kasur pasir tak tergantikan. Bahkan sampai ada warga Legung Timur yang pindah ke Jakarta pun membawa serta puluhan kilogram pasir dari kampung untuk dijadikan kasur.
“Kasur pasir bisa mengerti kita. Ketika musim panas, dia sejuk. Kalau musim hujan, dia hangat,” kata Suryani menjelaskan. Dia pernah mencoba tidur di atas kasur pegas. Hasilnya, tidak bisa tidur. Baginya, kasur pasir itu seperti seorang ibu yang selalu memberi kenyamanan.
Suryani masih terus mengayak pasir. Dia berencana kembali mengajak anak cucunya tidur di sana. Dipeluk kasur pasir bersama-sama.