Menyentuh yang Tak Tersentuh
Dua perupa beda zaman memamerkan karya yang dikemas bertemakan ”Untouchables” atau ”Tak Tersentuh”. Di antara lukisan mereka memang ada pemahaman terdalam yang nyaris atau bahkan tak tersentuh.
Nunung WS (69) menghadirkan 30 lukisan abstrak serta Natisa Jones (30) menghadirkan 38 lukisan bercorak ekspresionisme. Karya-karya mereka disajikan dalam Pameran Program Seni Ciptadana 2019 pada 22 November-13 Desember 2019 di Jakarta.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2FPameran-Lukisan-Untouchables_85353798_1575130302.jpg)
Pameran lukisan ”Untouchables” karya Nunung WS dan Nasita Jones di Ciptadana Center, Jakarta, Rabu (27/11/2019).
Kurator pameran Emmo Italiander menyebutkan, ketaktersentuhan itu sendiri merupakan esensi dunia kreativitas seni. Seniman memutarbalikkan ketaktersentuhan itu hingga masuk ke dalam jangkauan kita
Ada jawaban menarik ketika ditanyakan karya lukisan abstraknya yang paling penting di pameran itu menurut Nunung WS sendiri. Perempuan kelahiran Lawang, Malang, Jawa Timur, yang menempuh studi Akademi Seni Rupa Surabaya itu menunjuk sebuah lukisan yang diberi judul, Meditasi dalam Hitam (2014). Lukisannya didominasi warna hitam dengan media cat akrilik di atas kanvas berukuran 150 x 150 sentimeter.
Ada sedikit warna lain di tiga sisinya. Di pinggir kanan ada sepotong persegi panjang. Bentuknya memanjang dari ujung sisi atas ke bawah hingga sekitar tiga perempat bagian. Persegi panjang itu berwarna coklat. Di bawahnya seperti ditopang bentuk persegi panjang tipis berwarna putih.
Di pinggir kiri ada persegi panjang kecil hingga seperempat bagian saja. Warnanya biru tua. Lalu, di sisi bawah terdapat persegi panjang yang tipis memanjang berwarna merah menyala.
”Ketika kita bermeditasi, warna apa yang muncul? Hitam, kan?” ujar Nunung, Jumat (22/11/2019).
Pada lukisan tersebut juga muncul warna lain, seperti coklat, putih, merah, dan biru tua. Bagi Nunung, itu warna sinar-sinar yang dilihat oleh hati ketika bermeditasi. Di dalam meditasi yang dilihat mata kita sebagian besar hitam, tetapi hati kita tetap mampu melihat warna lain.
Nunung yang pernah menjadi dosen tamu untuk Academie Minerva Groningen, Belanda, itu sengaja tidak melanjutkan uraiannya. Ia ingin menyerahkan penafsiran antara warna hitam dan warna-warna lainnya secara bebas.
Mungkin ini yang dimaksud dunia pemahaman Nunung yang tak tersentuh. Atau mungkin bisa nyaris menyentuhnya ketika menafsir warna selain hitam adalah daya hidup yang harus dihargai.
Daya hidup itu adalah daya keberagaman yang tidak semestinya menghablur luluh menjadi doa atau meditasi dalam hitam. ”Warna putih dan lainnya selain hitam itu sebagai cahaya yang akan ada selamanya di hati kita,” ujarnya.
Nunung enggan berpanjang lebar lagi. Ia kemudian bertanya, apakah sudah menikmati lukisannya yang dipasang di depan lobi. ”Saya melukis Borobudur,” kata Nunung.
Ketika melihat lukisan itu, sama sekali jauh dari bayangan bentuk Borobudur sesuai aslinya. Itu sebuah lukisan abstrak geometrikal yang didominasi bentuk persegi panjang berwarna-warni.
Itu lukisannya yang terbesar yang dipamerkan kali ini. Lukisan itu sepanjang 10,5 meter dengan tujuh panel. Setiap panel berukuran 150 x 150 sentimeter dengan media cat akrilik di atas kanvas dan diberi judul Verzon-Vertikal Horizontal (2009).
Borobudur mengapa dilukis abstrak sedemikian rupa? Nunung mengambil pena dan secarik kertas untuk menjelaskannya. ”Pertama kali saya melihat Borobudur itu berbentuk segitiga, lalu melihat sebagai garis-garis horizontal yang bertumpuk-tumpuk dan mengerucut membentuk segitiga lagi,” kata Nunung.
Sekarang, cara pandangnya terhadap Borobudur sudah berubah sebagai garis horizon. Di tengahnya tegak lurus berdiri garis vertikal. ”Seperti itulah abstraksi bentuk Borobudur saya yang terakhir,” kata Nunung.
Belum selesai mencerna antara lukisan dan paparan abstraksinya yang berbeda jauh itu, Nunung kembali bercerita. ”Cara menikmatinya seperti kaligrafis, mulai dari belakang sini,” ujar Nunung, seraya menunjuk potongan persegi panjang di pojok kanan bawah berwarna merah.
Itulah Borobudur dalam ketaktersentuhan Nunung. Lewat karya-karya abstrak yang ditekuni Nunung selama ini, beberapa penghargaan sempat diraih Nunung, di antaranya penghargaan Ford Foundation’s Indonesia Women Artist’s Program di Amerika Serikat (1992).
Kemudian Menteri Negara Urusan Peranan Wanita pada 1994 pernah menganugerahkan penghargaan karya terbaik Krida Wanadya.
Nunung saat ini sebagai pelukis perempuan bercorak abstrak yang dianggap penting di Indonesia. Spiritualisme menjadi pokok tumpuan karya Nunung.
Pada pameran ini, beberapa karya abstrak ada yang menggunakan teknik lipat kolase kain putih temaram. Putih bagi Nunung merupakan simbolisasi hati yang bersih selalu menangkap cahaya putih sekecil apa pun di dunia kehidupan paling gelap sekalipun.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2FPameran-Lukisan-Untouchables_85353803_1575130337.jpg)
Pameran lukisan ”Untouchables” karya Nunung WS dan Nasita Jones di Ciptadana Center, Jakarta, Rabu (27/11/2019).
Suasana hati
Sementara itu, Natisa Jones menyuguhkan ketaktersentuhan lain lewat karya-karya ekspresionisme yang menggambarkan suasana hati dalam kesehariannya. Ia mengaku menyukai mazhab art brut atau outsider art.
Setidaknya, hal yang sama dengan art brut dilakukan seperti melukis secara spontan. Lewat karya-karyanya, sebagian suasana hatinya terlacak.
Sebuah lukisan Natisa diberi judul, Ugly But Certain (2019). Ia melukis dua individu di posisi tengah, atas, dan bawah di samping kanan menggunakan cat akrilik dan tinta di atas kertas berukuran 77 x 57 sentimeter.
Natisa menggambar bola-bola mata ada di antara kedua orang tersebut. Ia pun bercerita tentang kegelisahan diri yang memiliki hidup pesek, tetapi tetap harus memiliki kepercayaan diri.
Dalam penuturannya, Natisa bercerita tentang perjalanan hidup bersama seorang kekasih asal Perancis selama lebih dari 12 tahun. Kemudian, satu setengah tahun silam mereka resmi menikah dan lebih banyak tinggal di Amsterdam, Belanda, sampai sekarang.
Ketika di Indonesia, mereka memilih tinggal di Sanur, Bali. Natisa lahir di Jakarta dan menyelesaikan studi seni rupa di Bachelor of Fine Art Painting dari Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT), Australia, pada 2011.
Di antara beberapa lukisan Natisa itu menggambarkan individu tunggal yang memiliki kekhasan tatapan mata yang penuh, tetapi terasa sunyi. Lukisannya yang berjudul When It Means Nothing (Ketika Tak Berarti Apa-apa) atau Heaven is Mine (Surga Milikku) menyuguhkan tatapan mata yang bulat tetapi nanar, terasa sunyi.
Natisa selama ini belum tergerak melukiskan individu penuh dengan citra kebahagiaan. Mungkinkah Natisa juga merasakan hal sama, tidak bahagia?
Sepintas, Natisa memberikan jawaban yang tidak mudah juga untuk dipahami. ”Kalau sudah bahagia, mengapa juga saya harus melukis?” ujar Natisa.
Natisa menyuguhkan ketaktersentuhan dari suasana hatinya yang mendalam.
Dunia introspeksi
Emmo memaparkan, seniman memiliki pendekatan yang berakar dalam dunia introspeksinya. Mereka menjalani meditasi dan observasi. Kemudian melahirkan pembicaraan batin dan dunia persepsi yang diwujudkan menjadi karya.
”Kadang kala proses kreatif mereka bersifat metafisik dan harus dipelajari mendalam,” ujar Emmo.
Pada kesempatan tertentu, proses kreatif tersebut seperti tiba-tiba terjadi retakan dan menghasilkan energi yang tertangkap. Kemudian diwujudkan seketika menjadi karya seni.
Dalam tema pameran, ”Untouchables”, karya Nunung dan Natisa itu menjadi bagian dialog bermakna. Menyentuh bagian yang tak tersentuh menjadi esensi.