Dalam pandangan Pierre Hardy, desainer sepatu asal Perancis, sepatu bukan semata alas kaki. Sepatu masih menjadi aksesori utama dan ada suatu alasan yang jelas kenapa seseorang memilih tipe sepatu tertentu.
Oleh
FRANSISCA ROMANA NINIK
·4 menit baca
Sepatu adalah sebuah pernyataan. Kini orang acap kali memilih baju untuk menyesuaikan tampilan sepatu, bukan sebaliknya, memilih sepatu untuk menyesuaikan baju.
Setidaknya demikian pandangan Pierre Hardy, desainer sepatu asal Perancis. Bagaimanapun sepatu kini bukan semata alas kaki. ”(Sepatu) masih aksesori utama, tetapi saya kira sudah lebih dari itu. It’s a statement. Ada suatu alasan yang jelas kenapa seseorang memilih tipe sepatu tertentu,” ujarnya, Selasa (12/11/2019).
Hardy tengah berada di Jakarta dalam rangkaian tur di Asia untuk memperingati 20 tahun ia berkarya. Dia meluncurkan koleksi The 20 Years Capsule di gerai On Pedder di Plaza Indonesia, Jakarta, berupa kumpulan sepatu yang dipilihnya.
Sepanjang kariernya, Hardy telah mendesain sepatu mewah dari butik-butik ternama di dunia. Tahun 1990, dia mulai berkolaborasi dengan Hermès sebagai direktur kreatif koleksi sepatu. Pada periode 2001- 2012, dia bekerja bersama Nicolas Ghesquière untuk koleksi sepatu Balenciaga.
Tahun 1999, Hardy mendirikan jenama sendiri, Pierre Hardy, dengan butik yang berada di Paris, New York, dan Tokyo.
Ada 14 sepatu dengan beragam model dan desain dalam koleksi kapsul tersebut. Tidak ada alasan khusus, mengapa dia memilih model 14 sepatu itu. Tidak ada logika, tidak menurut tahun, tidak kronologis. ”Benar-benar sepatu yang saya sukai saja,” tutur Hardy, sembari tertawa.
Di antara koleksi The 20 Years Capsule terdapat model sepatu dari koleksi pertamanya, yakni The Blade, untuk musim panas tahun 1999. Sepatu itu berwarna hitam dengan heels tinggi berbentuk persegi. Inspirasinya dari stiletto klasik, hanya berbeda pada bagian tumit tinggi yang tidak runcing sehingga tampak modern. Dari bahan kulit premium, warna hitam yang berkilat menampilkan kesan sangat elegan.
Hardy menjelaskan, The Blade bagaikan dunia pertamanya. ”Saya menginginkannya sangat radikal. The Blade adalah referensi dan pemikiran ulang atas stiletto. Tajam, ramping, seimbang, tetapi dalam cara baru,” paparnya.
Setelah The Blade, sepatu rancangan Hardy menjadi lebih berwarna, lebih melengkung, lebih manis, dan lebih ceria sebagai tanda bahwa dia semakin matang dalam berkarya. Bagi dia, perkembangan rancangan sepatu itu menandai kemampuannya untuk keluar dari zona nyaman setelah sekian lama mengerjakan apa yang dia sukai.
Ini tampak di antaranya dalam rancangan sepatu yang diberi nama The Sottsass (2013). Sepatu itu berbentuk gelombang pada bagian sisi penutup kaki dan di sepanjang sisi belakang tumit yang kokoh. Warnanya pun broken pink dengan pinggiran hitam.
Beberapa model sepatu bot juga dimasukkan dalam koleksi The 20 Years Capsule, seperti The Marfa (2015), The Ace (2015), dan The Illusion (2016) dalam warna hitam dan putih. Ada pula boots dengan pipa panjang dengan warna ungu, biru tua, kuning pada dasar hitam yang dinamai The Machina (2017).
Tak ketinggalan pula sneakers, di antaranya The Lilyrama (2015). Hardy bercerita, rancangan sepatu sneakers itu datang belakangan, tetapi kisahnya tetap paralel. The Lilyrama berwarna dasar putih dengan hiasan bunga lili besar pada bagian belakang.
”Saya memilih (model) ini karena sebenarnya sangat feminin. Itu karena bunganya. Saya sering meletakkan bunga pada (rancangan) sepatu. Tetapi, saya mencoba untuk membuatnya grafis dan berseni, tidak seperti bunga di gaun couture. Lebih mirip lukisan,” ucap Hardy.
Sepatu rancangan Hardy banyak mengambil referensi artistik, struktural, dan tekstural. Dia secara rutin menggambar desain arsitektur dan grafis untuk menciptakan model yang spektakuler. Volume dan bentuk menjadi inti dari identitas visual jenama Pierre Hardy.
Dia bermain warna monokrom yang klasik dan anggun. Namun, dia juga menerapkan blok-blok warna yang saling berpadu pada sepatu rancangannya. Warnanya kadang bold dan mengentak, tetapi kadang juga lembut.
Inspirasinya bisa datang dari mana saja. Hardy membandingkan pencarian idenya seperti kerja arkeologi. Semakin dalam menggali ke dalam tanah, semakin banyak temuan yang didapatkan. Hasilnya kadang-kadang juga bisa bertolak belakang. Dia mencontohkan suatu desain sepatu bisa simpel dan bersih, sementara desain sepatu lainnya bisa sangat rumit.
Tantangannya kemudian adalah mewujudkan ide tersebut menjadi sepasang sepatu. Kadang kala dia ditantang untuk menerjemahkan gagasan itu dalam batas waktu satu musim. Begitulah kerja di dunia mode, kata dia, terlambat sebentar saja sudah basi. Waktu tersebut terhitung sempit untuk merancang 40-50 tampilan sepatu.
Kenyamanan adalah hal terpenting karena jika tidak nyaman, namanya bukan sepatu.
Namun, kecintaannya pada dunia sepatu tidak membuat hal itu terasa berat. ”Sebenarnya awalnya saya tidak berpikir akan menjadi desainer sepatu. Proposal mode pertama yang datang pada saya adalah menggambar koleksi sepatu. Saya suka, saya senang, berhasil, lalu orang lain meminta yang kedua, dan seterusnya, dan tiba-tiba saya adalah seorang desainer sepatu,” katanya, terkekeh.
Secara teknis, dia mengakui, membuat sepatu paling menantang adalah bagian heels. Pasalnya, bagian tersebut harus aman dan nyaman.
”Kenyamanan adalah hal terpenting karena jika tidak nyaman, namanya bukan sepatu,” tegas Hardy.
Bagi Hardy, 20 tahun berlalu terlalu cepat. Seperti dua tahun saja, ujarnya. Dia berharap untuk bisa terus merancang sepatu, membantu para pencinta sepatu menyampaikan pernyataan mereka masing-masing.