Panggung Semangat Anak Rusun
Anak-anak rusun unjuk kebolehan bermain operet dengan penuh semangat. Pertunjukan Operet Aku Anak Rusun-Selendang Arimbi yang berdurasi sekitar dua jam itu sarat dengan pesan bijak.
Pengunjung mulai berdatangan menuju Ciputra Artpreneur, Jakarta, Jumat (15/11/2019) sekitar pukul 14.30, untuk menonton geladi resik Operet Aku Anak Rusun-Selendang Arimbi. Anak dan orangtua lantas berkerumun di luar ruang pertunjukan itu.
Mereka berswafoto, mencari stopkontak untuk mengisi baterai ponsel dan mengatur kelompoknya agar masuk dengan tertib. Hari itu, keluarga para pemain operet ini berkesempatan menikmati penampilan kerabat cilik mereka di ruang yang sejuk, berkursi empuk, dan megah. Mereka pun masuk ruang tersebut dengan teratur.
Lawrence Tjandra, anggota Kemitraan dan Komunikasi Event Coordination Aku Anak Rusun Team, maju ke panggung untuk menyampaikan pengumuman singkat. ”Operet Aku Anak Rusun yang diadakan kedua kalinya ini melanjutkan kesuksesan pertunjukan tahun 2017,” ujarnya disambut riuh tepuk tangan penonton.
Sekitar pukul 15.30, lampu dimatikan dan layar terbuka. Set panggung menunjukkan perumahan kumuh di bantaran sungai. Operet diawali konflik kelompok berseragam dan bertameng dengan warga berpakaian lusuh. Musik berderap kencang. Pertikaian usai menyisakan tanya dalam benak seorang bocah perempuan.
”Bu, kenapa kita enggak boleh tinggal di pinggir sungai lagi. Om-om itu kok suruh kita pindah ke rusun,” ujar anak yang bernama Arimbi itu. Sang ibu, Shinta, menjelaskan dengan lembut bahwa warga harus pindah ke rusun agar tidak kebanjiran.
Beberapa tahun kemudian, Arimbi beranjak remaja. Gadis ceria yang baik hati itu bersahabat dengan Coki, Meimei, Lela, dan Tohirin. Arimbi punya minat yang besar terhadap tari-menari. Ia ingin jadi penari profesional dan bergabung dengan sanggar elite Atnihs Ibmira. Ia sungguh berbakat hingga pelatihnya, Ani, menunjuk Arimbi sebagai penari utama. Perjalanan Arimbi menggapai cita-citanya tak berjalan mulus.
Bu, kenapa kita enggak boleh tinggal di pinggir sungai lagi. Om-om itu kok suruh kita pindah ke rusun.
Ibunya, Shinta, yang sudah uzur butuh uang untuk membayar dokter dan obat. Sang ayah sudah meninggal karena sakit paru-paru saat Arimbi masih kecil. Arimbi harus membantu Shinta membuat selendang dan menjualnya.
Sementara, Selena, sesama penari, iri kepada Arimbi. Anak manajer sanggar itu ingin menjadi penari utama. Selena dengan tiga teman se-gengnya yang nakal kerap mengganggu dan memfitnah Arimbi hingga dikejar-kejar petugas keamanan.
Kegigihan Arimbi
Operet itu mengisahkan kegigihan Arimbi meraih impian di tengah berbagai rintangan yang menghadang. Di sela-sela berlatih menari, ia pun masih memperhatikan ibunya. ”Egois sekali aku hanya memikirkan tarian. Aku harus membantu Ibu supaya kembali sehat,” ujarnya.
Pertunjukan itu juga mengetengahkan kesetiakawanan. Sahabat-sahabat Arimbi rela membantunya menjual selendang hingga habis. Mereka pun tak lupa mengingatkan Arimbi untuk tetap rajin sekolah meski ia sangat letih karena harus membuat selendang.
Operet itu juga mengedukasi anak-anak mengenai kebinekaan. Coki berasal dari Sumatera Utara, Meimei bersuku Tionghoa, Lela adalah remaja Betawi, dan Tohirin kerap berbicara dengan logat Tegal yang kental.
Tak lupa, humor acap kali diselipkan di sela-sela operet. Gaya bicara Tohirin, misalnya, terdengar kocak. Pikap yang didorong dengan kaki membuat penonton terkikik-kikik saat sopirnya mengemudi kendaraan itu seperti mobil Flintstone. Selain itu, Coki salah menyebutkan nama Lela menjadi Lele. ”Lu kira gue pecel lele. Coba sebutin nama gue yang bener,” ujar Lela yang mengundang tawa penonton.
Di belakang panggung, penonton bisa melihat aksi para pemusik dengan alat-alat setara orkestra, lengkap dengan konduktornya.
Lagu anak-anak meramaikan operet ini, seperti ”Abang Tukang Bakso”, ”Kodok Ngorek”, ”Nona Manis Siapa yang Punya”, ”Naik Delman”, ”Anak Kambing Saya”, ”Persahabatan”, ”Cublak-cublak Suweng”, dan ”Soleram”.
Beberapa lagu Koes Plus, seperti ”Kolam Susu”, ”Bujangan”, dan ”Andaikan Kau Datang”, serta lagu gubahan Guruh Soekarnoputra, ”Lenggang Puspita”, juga diputar dengan lirik disesuaikan untuk anak-anak.
Penonton tak jemu karena di sela-sela operet, mereka dihibur enam penari berkostum robot yang beratraksi dalam gelap. Para penari mengenakan pakaian yang dipasangi lampu. Permainan lampu sorot ungu, kuning, dan biru yang apik dengan embusan asap ikut memeriahkan ini.
Melawan kanker
Di balik penampilan anak-anak rusun yang memukau, perjuangan sutradara Operet Aku Anak Rusun-Selendang Arimbi, Rita Dewi Saleh, dapat dijadikan teladan. Rita melatih mereka sambil melawan kanker. Ia harus takluk pada penyakit itu dan mengembuskan napas terakhir pada 29 Oktober 2019.
Tubuh Rita menyerah, tetapi tidak dengan semangatnya. Itikad Rita memanggungkan kepiawaian anak-anak rusun tetap terpatri dalam benak mereka. Hasilnya, para pemain operet berakting dan menari dengan luwes dalam dua hari pertunjukan, Jumat dan Sabtu (15-16/11).
Pada video yang diputar sebelum geladi resik Operet Aku Anak Rusun-Selendang Arimbi dimulai, terlihat wajah Rita yang kuyu. Tubuh Rita kurus dan lengannya diinfus. Beberapa pemain operet berlatih di pinggir tempat tidur Rita. Setelah meninggal, posisi Rita tak digantikan karena jadwal operet sudah di ambang pintu dan anak-anak tinggal menyempurnakan latihannya.
Mereka penurut, tetapi bisa juga berantem dan sikut-sikutan. Sesudah selesai latihan, anak-anak itu bersalaman.
Penggagas Operet Aku Anak Rusun-Selendang Arimbi, Veronica Tan, mengungkapkan pengalamannya melatih para pemain operet ini. Anak-anak masih polos, tetapi bukan berarti mereka demikian mudah diatur. ”Susah tetapi senang. Mereka penurut, tetapi bisa juga berantem dan sikut-sikutan. Sesudah selesai latihan, anak-anak itu bersalaman,” ujarnya.
Veronica turut ambil bagian dalam operet tersebut dengan bermain selo diiringi permainan gamelan. Pendiri Yayasan Waroeng Imaji itu memainkan lagu ”Dancing Queen”. Ia juga ikut berakting dengan membantu Arimbi menyiapkan lagu-lagu yang akan dimainkan dan menyediakan tempat untuk para penari berlatih.
Produser dan direktur artistik operet ini, Dovieke Angsana, mengatakan, para pemain sudah berlatih sejak September 2019. Mereka tak hanya latihan, tetapi juga belajar disiplin, membangun karakter, dan bekerja sebagai tim.
Menurut penata musik operet ini, Andre Lizt, para musisi antara lain memainkan piano, gitar, drum, terompet, saksofon, suling, biola, timpani, hingga trombon. ”Ada 46 alat musik yang dimainkan. Kalau suara musik, asli dari alat-alat itu. Para musisi tergabung dalam kelompok Soundkestra,” ujarnya.