Faktor ”X” Seniman
Lini masa perjalanan hidup serta jejak karya seorang seniman dalam suatu pameran sudah sering ditampilkan. Kini, menyertakan peta pemikiran sebagai ”faktor X” seniman juga sudah dilakukan.
Ada sebuah kutipan, ”Painting is not penicillin” Kemudian ada lainnya, ”Secara ide, apa yang saya tulis, saya buat sketsa dan saya riset juga. Mereka kadang tidak dipakai, tapi kadang kemudian dipakai di masa depan.”
Tulisan-tulisan itu dirangkaikan ke dalam mind mapping atau pemetaan pemikiran seniman Agus Suwage (60) untuk pameran Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD) ke-10 di Hotel Grand Kemang, Jakarta. Pameran bertajuk ”ICAD X: Faktor X” ini berlangsung 16 Oktober sampai 24 November 2019.
Huruf ”X” pada ICAD X memiliki pengertian sebagai angka Romawi untuk tahun ke-10. Tetapi, huruf X itu berbeda makna ketika diletakkan setelah kata ”faktor”. Huruf X di sini memiliki pengertian sesuatu yang tersembunyi.
Kurator pameran, Hafiz Rancajale, menyebutkan, faktor X adalah selubung yang membuat sesuatu di dalamnya tertutup atau tidak tampak. Ketika selubung itu disingkap, akan hadir pengetahuan bersama yang tentu diharapkan bermanfaat bagi publik.
Faktor X seniman adalah selubung untuk disingkap demi menghasilkan pengetahuan yang bermanfaat bagi publik. ”Painting is not penicillin” ini contoh ungkapan dari hasil pemikiran Agus Suwage yang memberikan pengetahuan bahwa dunia melukis bukan sekadar ”obat”. Melukis itu jauh lebih daripada sekadar obat.
Pemetaan pemikiran secara otomatis sekaligus menyentuh lini masa seniman. Peristiwa ataupun jejak karya pada lini masa itu mewakili perjalanan proses dan pemikiran seniman.
Hafiz mengambil titik tolak pemetaan pemikiran ini dari teori Tony Buzan asal Inggris yang sudah diperkenalkan sejak 1974. Tony Buzan mengembangkan teori itu dari hasil pengamatan perkembangan ilmu komputer sejak 1971.
Teori ini kemudian dikembangkan di berbagai bidang, terutama pengembangan sumber daya manusia. Metodenya dengan memaksimalkan potensi pikiran dari otak kanan dan otak kiri.
Menelanjangi
Proses pemetaan pemikiran seniman bukan hal mudah. Ada proses panjang yang diawali riset tekstual, kemudian dilengkapi wawancara mendalam. Berikutnya merancang desain peta pemikiran tersebut. ”Menyuguhkan pemetaan pemikiran seniman ibarat menelanjanginya,” tutur Ketua Yayasan Design + Art Indonesia Harry Purwanto, salah satu perintis penyelenggaraan pameran ICAD sejak 2009.
Menyuguhkan pemetaan pemikiran seniman ibarat menelanjanginya.
Menelanjangi seniman dalam hal ini dilakukan untuk mengerti keseluruhan nilai sang seniman yang memberikan makna positif, baik bagi seniman maupun publik.
Seniman berkarya penuh dengan pemikiran atau dunia gagasan. Acap kali seolah mengalir begitu saja, tanpa menyadari di balik proses mencipta karya itu ada landasan pemikiran yang dapat menjadi pengetahuan menarik.
Karya visual yang tercipta dapat diraba jejaknya. Akan tetapi, proses atau perjalanan pemikiran yang tidak didokumentasikan itu mudah berlalu dan hilang.
”Gagasan awalnya, kami sepakat tidak akan menampilkan karya seniman saja. Tetapi, juga proses jauh sebelum karya itu dibuat,” kata Itjuk, Direktur Artistik ICAD X.
Diskusi ini terus berkembang, hingga hasil akhirnya menjadi pemetaan pemikiran seniman kelompok pertama dengan 10 seniman terpilih. Pameran ICAD X menampilkan tiga kelompok partisipan.
Sebanyak 10 seniman kelompok pertama selain Agus Suwage, meliputi Adi Purnomo (arsitek, Jakarta), Dolorosa Sinaga (pematung, Jakarta), FX Harsono (perupa, Yogyakarta), Studio Hendra Hadiprana (studio desain arsitektural dan interior, Jakarta), Hardiman Radjab (perupa, Jakarta), Nirwan Dewanto (penulis, Jakarta), Rinaldy A Yunardi (desainer aksesori, Jakarta), Syahrizal Pahlevi (perupa, Yogyakarta), dan Tisna Sanjaya (perupa, Bandung).
Pemetaan pemikiran dari 10 seniman ini melengkapi karya-karya visual masing-masing. Seperti Agus Suwage, membuat instalasi lampu neon membentuk tulisan, ”Zona Bebas Hipokrit” yang ditempelkan pada beton semen pemisah jalur jalan raya.
Pemetaan pemikiran tak kalah menarik datang dari seorang desainer aksesori Rinaldy Yunardi. Dari metode berkarya Rinaldy, ada kutipan inspiratif, ”Meskipun banyak yang mencemooh, saya senang karena memang tujuannya hanya untuk mengekspresikan diri….”
Rinaldy menunjukkan proses pemikiran yang tak kenal putus asa. Kini, karya-karyanya banyak menuai penghargaan. Di pameran ini Rinaldy menampilkan karya aksesori kepala yang dikombinasi lampu. Ketika riasan kepala itu dikenakan, ada saklar lampu yang tersentuh. Bola lampu di atasnya kemudian menyala. Itu menyiratkan dunia ide Rinaldy yang selalu tumbuh.
Kedisiplinan
Adapun Tisna Sanjaya menuangkan pemetaan pemikirannya, antara lain, dalam metode berkarya. Pada proses berkarya, ia ketat dengan mental kedisiplinan dalam seni grafis.
Gambar-menggambar adalah cara menyadarkan diri bahwa saya selalu menjadi seorang pemula di dunia sastra.
Tisna memang mengawali sepak terjang di dunia seni rupa melalui seni grafis. Ia juga menyebutkan, berkarya tidak hanya sebagai rutinitas, tetapi jadi sikap spiritual. Kegiatan menoreh seperti sedang berzikir.
Pemetaan pemikiran penulis Nirwan Dewanto pun cukup unik. Ia bersinggungan pula dengan melukis. Sebagian lukisan abstraknya turut dipamerkan. ”Gambar-menggambar adalah cara menyadarkan diri bahwa saya selalu menjadi seorang pemula di dunia sastra,” tulis Nirwan.
Lainnya, ”Potret diri saya adalah ejekan buat si penulis sendiri, upaya untuk ’membunuh si pengarang’ (supaya si narator mengambil alih tempatnya), sedangkan gambar-gambar topeng ialah supaya saya menemukan kembali tokoh-tokoh saya, misalnya Bhimasena atau Kiai Semar.”
Begitulah pameran ICAD menyuguhkan pemetaan pemikiran yang menyingkap faktor X para seniman, desainer, dan penulis.
Kurator Hafiz mengemukakan, usaha pemetaan pemikiran seniman ini masih jauh dari kelengkapan ideal. Namun, ini usaha awal untuk memberikan ruang produksi pengetahuan yang dapat diakses publik.
Dua kelompok seniman lainnya dikategorikan sebagai kelompok yang mempunyai kecenderungan berkarya dengan metode mind mapping. Di antaranya meliputi Achmad Krisgatha, Aliansyah Chaniago, Bandu Dharmawan, Benny Wicaksono, Maryanto, Denny Priyatna, Mulyana ”The Mogus”, Lenny Weichert, Paul Kadarisman, Pingkan Pola, Suvi Wahyudianto, Tommy Ambiyo, Wimo Ambala Bayang, dan Yaya Sung.
ICAD X juga menampilkan karya seniman yang dipilih dari hasil undangan terbuka. Mereka meliputi Aditya Tri Suwito, Agnes Hansella, Dea Yuliana Kombaitan, Dhanurendra Pandji, Izal Batubara, Taufiqurrahman dan Maria Deandra, The Distillery Asia, dan Marten Bayuaji.
Pameran ICAD X: Faktor X secara umum memang tak jauh berbeda dengan pameran seni rupa dan desain lainnya. Namun, racikan pemikiran 10 seniman ternama itu memberikan sisi kebaruan penyajian.