Kuliner Sepanjang Masa
Kini, hampir segala hajat masyarakat urban bisa ditunaikan lewat gawai di tangan. Tak terkecuali untuk urusan mengisi perut, tinggal pesan lewat aplikasi. Namun, sejumlah rumah makan tua tetap bertahan dengan berpegang pada tradisi. Interaksi dengan pembeli dipelihara di ruang makan.
Melalui berbagai program pemesanan berbasis aplikasi sekarang orang bisa dengan mudah memilih, memilah, dan memesan nyaris apa pun kuliner lezat yang mereka sukai. Menu-menu makanan enak pembuat nyaman (comfort food) bertebaran di gawai siap dipesan dan diantarkan.
Harga yang sedikit dinaikkan untuk ongkos jasa penyedia aplikasi dan kurir pengantar makanan sepertinya tak jadi soal. Asalkan makanan bisa datang langsung ke depan rumah atau lewat meja resepsionis kantor, tanpa perlu bersusah payah menempuh perjalanan jauh dan juga kemacetan.
Tak sedikit pengusaha makanan dan minuman diuntungkan lewat sistem pemesanan seperti itu. Menurut pakar kuliner, William Wongso, bahkan saat ini sudah bertebaran pengusaha-pengusaha makanan nyaman yang hanya punya dapur pengolahan.
”Bisnis kuliner jenis comfort food sudah sejak lama sangat menjanjikan. Apalagi basic market-nya sangat besar di Indonesia dengan jenis makanan yang sangat beragam,” ujar William saat ditemui di Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Sebut saja mulai dari nasi atau mi goreng, nasi campur, berbagai jenis sate dan soto. Juga ada rawon, sop, olahan penyetan, pecel, beragam jajanan pasar, serta masih banyak lagi varian makanan nyaman lezat nan menggoda lainnya.
Beberapa penjual makanan nyaman legendaris sekarang juga punya akun media sosial. Setidaknya untuk memajang kuliner dagangan unggulan mereka.
Namun begitu, masih banyak dari mereka yang juga tetap mempertahankan cara penjualan konvensional. Pembeli datang, memesan, dan memakan langsung di warung atau rumah makan. Pedagang dan pembeli pun berinteraksi.
Semua itu menjadi bagian dari tradisi dan prosesi berkuliner itu sendiri. Bagi para penjual yang terbilang konvensional ini, omzet terutama bergantung pada pelayanan yang mereka sajikan langsung di rumah makan, bukan lewat pemesanan daring.
Porsi atau kuantitas makanan yang mereka jual pun tetap sesuai kemampuan produksi mereka per harinya. Mereka, dalam istilah William, menolak dan tak mau ngoyo atau kemaruk mencari untung besar.
”Macam gudeg Mbah Lindu di Yogyakarta. Beliau berjualan pagi. Setelah itu pulang, istirahat, lalu siangnya masak lagi untuk jualan besok. Pokoknya kalau sudah habis ya orang seperti Mbah Lindu cuma bilang, Yo wis, cukup. Wis entek. Sesok meneh (Ya, sudah, cukup. Sudah habis. Besok lagi),” ujar William.
Tak buka cabang
Para pedagang makanan nyaman legendaris juga diketahui enggan membuka cabang selain tempat mereka pertama kali mendirikan bisnis mereka itu. Sebut saja Gado-gado Taman Sari di wilayah Kota Tua Jakarta. Begitu pun halnya rumah makan tua di Jakarta dengan hidangan otentik Hakka, Wong Fu Kie, yang berada dalam gang di kawasan Pasar Pagi Lama, Jakarta Barat.
Kedua rumah makan ini sama-sama bertahan tak membuka cabang. Alasan mereka, cabang baru membutuhkan dapur dan juru masak tambahan. Kualitas rasanya tak bisa dijamin sama dengan yang sudah ada. Akibatnya, mereka bukan tak mungkin bisa kehilangan pelanggan setia.
”Tidak mau keluar (tidak buka cabang) karena mempertahankan histori. Sesuai tradisi China, kalau akar, enggak boleh dimatiin. Harus tetap di sini,” ujar Tjokro Indrawirawan, salah satu generasi pewaris Wong Fu Kie.
Baik Wong Fu Kie maupun Gado-gado Taman Sari juga tak memasang papan nama yang sebetulnya dapat memudahkan pelanggan baru untuk mencari tempat mereka.
Arahan peta di aplikasi Google pun kerap meleset dari lokasi sebenarnya. Namun, tak urung pelanggan setia tetap memadati rumah makan mereka.
Hal sama juga dilakukan Rumah Makan Medan Melayu ”Pagi Sore” yang berada di salah satu gang kecil di kawasan Bendungan Hilir Raya. Sejak dibuka 36 tahun lalu, bangunan tempat Ahmad Fauzi (75) dan putri sulungnya, Ferrawaty (47), berjualan ini tampak semakin kusam tak terurus.
Namun, dari ketiga tempat tadi ada garis merah yang sama terlihat. Format pengaturan meja dan kursi serta cara pelayanan yang diberikan sama-sama menempatkan
penjual dan pembeli menjadi tidak berjarak. Penjual dapat selalu berinteraksi dan berkomunikasi dengan para pelanggannya sambil melayani mereka.
Saking lepas dan akrabnya mereka dengan pelanggan, Iing, pemilik generasi kedua Gado-gado Taman Sari, bahkan mengenali kalau ada
banyak pembeli anak muda yang ternyata anak atau
cucu dari pelanggan setia mereka.
Kisah sama juga diceritakan Mufti Maulana (26), generasi ketiga penerus usaha rumah makan Soto Betawi H Ma’ruf. Sekali waktu seorang pembeli yang berdomisili di Singapura datang memborong beberapa porsi soto untuk dibawa pulang.
Kepada Mufti, dia bercerita waktu kecil sering diajak makan di rumah makan Soto Betawi H Ma’ruf saat masih berlokasi di Taman Ismail Marzuki. Kini kedua orangtua pelanggan itu sudah tiada. Kunjungannya ke rumah makan itu terutama untuk mengenang dan merasakan kembali memori keberadaan mendiang kedua orangtua si pembeli.
”Saya sampai ikut sedih dan terharu. Ternyata ada ya dan bisa seperti itu kisahnya,” ujar Mufti saat ditemui di rumah makannya, yang sekarang pindah di kawasan Jalan Pramuka Raya sejak setahun terakhir.
Dilema pembeli milenial
Walau sama-sama mempertahankan cara lama untuk memasarkan produk masing-masing, para pengusaha kuliner legendaris ini tak lantas menghindari metode pemasaran kekinian berbasis aplikasi.
”Memang ada rumah atau warung makan yang pemiliknya sudah enggak kepingin ngapa-ngapain lagi. Mereka sudah cukup puas dengan cara berjualan selama ini, yang toh sudah membuat mereka sangat dikenal dan bertahan puluhan tahun. Namun, pada satu sisi, mereka juga mengakui tengah menghadapi dilema,” ujar pegiat gastronomi dan penulis buku kuliner, Kevindra Soemantri.
Dilema terutama dalam menghadapi para calon pembeli kalangan milenial, yang selama ini sudah terbiasa hidup dimudahkan dengan teknologi dan pemakaian gawai di tangan. Tak hanya dapat dengan mudah mencoba, pengalaman cita rasa mereka terhadap beragam kuliner juga menciptakan standar semacam baru.
Jika anak-anak era 1990-an dan 2000-an standar cita rasa mereka terhadap kuliner masih dipengaruhi dan ditentukan setiap orangtua, anak-anak sekarang, kata Kevindra, jauh lebih punya banyak referensi rasa. Dengan mudah mereka bisa memilih dan membeli beragam jenis kuliner lewat gawai dan aplikasi yang ada.
Akibatnya seperti dialami sendiri oleh Mufti, yang satu ketika sempat sedikit ”galau”. Pasalnya, dia terpikir perlukah rumah makan warisan orangtuanya itu juga ikut menyajikan pilihan menu baru, yang memang tengah hype dan kekinian. Hal itu demi memikat minat kalangan pembeli milenial seusianya.
Mufti memisalkan, kritik beberapa pembeli muda yang membandingkan produk mereka dengan soto sejenis di tempat lain. Mereka menanyakan mengapa soto di tempat H Ma’ruf tak segurih atau tak menggunakan bahan irisan kentang atau tomat di dalam kuahnya seperti di tempat lain.
”Mereka tidak tahu kalau kakek saya berjualan sejak tahun 1940-an dan yang namanya soto Betawi ya isinya
cuma daging. Rasanya pun memang seperti sekarang kami sajikan lantaran sejak awal tak pernah memakai MSG,” ujar Mufti.
Akhirnya, Mufti sendiri sepakat dengan wejangan sang ayah, yang juga didapat dari mendiang kakeknya. Buat mereka, cita rasa soto Betawi yang orisinal dan otentik adalah yang memang disajikan dan dapat dengan mudah ditemukan di sajian rumah makan milik mereka.
”Jadi, jika memang mau cari soto Betawi yang rasanya enak dan orisinal, ya datanglah kemari,” ujar Mufti sedikit berpromosi.
(WISNU DEWABRATA/DWI BAYU RADIUS/MAWAR KUSUMA)