Sarang yang Memanusiakan
Angin musim kemarau panjang berembus kencang, Kamis (26/9/2019) siang, di taman rindang nan luas di halaman rumah Ossiatzki (52). Pepohonan seperti berderit ramai, bersimfoni dengan desau dedaunan dan gemercik air dari dua kolam ikan di pelataran dan samping rumah.
Suasana siang terasa sejuk dan khidmat di rumah di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan, itu. Beragam jenis pepohonan tinggi di pelataran rumah itu sangat perkasa menolak terik matahari, yang sudah nyaris berada tepat di atas kepala.
Beberapa pohon, seperti cemara angin, jacaranda berbunga warna indigo, tabebuya, dan pohon kamboja, berdiri tegak menjulang. Selain itu, Oki, begitu sang pemilik rumah akrab disapa, menanami halaman rumah dan kluster sekitar rumahnya dengan beberapa jenis pohon beraroma atau berbunga wangi. Salah satunya arum dalu alias ”si ratu malam” atau disebut juga ”night blooming jasmine”.
Oki menceritakan semua itu sambil mengajak duduk-duduk di salah satu sudut taman. Di sudut itu, ada kursi dan meja kayu buatan tangannya sendiri.
Selain berprofesi sebagai desainer produk dan konsultan pembuatan rumah, Oki memiliki keahlian sebagai tukang kayu. Dia membuat sendiri sejumlah furnitur di dalam rumah. Ia juga mengoleksi beberapa barang antik, termasuk kursi periksa yang biasa dipakai para dokter gigi di era tahun 1970-an atau 1980-an.
Dengan keahlian perkayuan itu, Oki fasih bercerita tentang beragam jenis dan sifat-sifat kayu, terutama kayu-kayu yang dia gunakan untuk membangun rumahnya atau menjadi bagian dari rumah itu. Beberapa jenis kayu dia pakai, mulai dari kayu ulin, merbau, sonokeling, hingga jati.
Setelah sedikit intermezo soal kayu, Oki kembali bercerita tentang rumahnya.
”Waktu pertama kali gue beli, lahan ini terbengkalai. Hanya ditumbuhi belukar, rerumputan liar, dan pisang. Selain jadi tempat pembuangan sampah liar selama bertahun-tahun, beberapa warga juga menaruh gerobak-gerobak berjualan mereka di sini,” ujar Oki.
Sebelum membangun rumah, dia menata lahannya. Dia membuang serta membersihkan berangkal dan sampah, menggemburkan lahan, lalu menanaminya dengan pohon-pohon keras untuk mengembalikan kesuburan lahan. Baru sekitar setahun dua tahun kemudian, setelah beberapa pohon tumbuh kuat, Oki mulai membangun rumah.
Luas lahan yang dibeli Oki di akhir tahun 1990-an itu awalnya sekitar 3.000 meter persegi. Sekitar 300 meter persegi dari lahan itu dia hibahkan ke masyarakat untuk saluran air.
Bentuk lahannya berupa kantong. Dari pinggir jalan raya hanya tampak lorong jalan selebar mobil dengan ujung tertutup pintu gerbang. Ketika pintu gerbang dibuka, barulah tampak area luas tadi.
Di lahan itu, ada 3 rumah tinggal, 1 bangunan kantor, dan 1 bangunan pabrik kecil usaha es krim gelato milik Oki. Di awal tahun 2000-an Oki merasa cukup puas tinggal sendiri di lahan itu. Namun, beberapa waktu kemudian, dia berubah pikiran dan merasa perlu untuk punya tetangga di dalam klusternya.
Mulailah kemudian dia ”berburu” tetangga baru dengan cara beriklan di surat kabar menjual beberapa kavling dari lahan itu untuk rumah. Sayangnya, Oki tak menemukan kecocokan pada beberapa calon pembeli yang datang.
Buat Oki, tinggal bersama di satu kluster bukan perkara main-main. Jika memungkinkan, bertetangga adalah untuk seumur hidup. Dengan begitu, kecocokan adalah kunci.
Penting bagi Oki memiliki tetangga yang sepaham, seumuran, sepemikiran, dan berkondisi lebih kurang sama dengan dirinya. Kini, satu kavling ditinggali orangtua teman sekolah salah satu dari tiga anaknya. Kavling kedua dibeli dan ditinggali adik iparnya.
Ramah manusia
Kavling lahan Oki sendiri kini memiliki luas sekitar 500 meter persegi. Di atasnya dia bangun rumah dua tingkat total seluas 250 meter persegi. Rumah baginya seperti layaknya ”sarang”. Tempat tinggal perlu menjadi tempat berlindung yang aman, nyaman, dan terutama memanusiakan.
Semua itu dia terjemahkan ke dalam rancangan bangunan, pengaturan ruangan, dan desain interior yang berpatokan pada prinsip ergonomi. Rumah yang ergonomis, menurut dia, lebih dari sekadar estetis. Rumah itu harus nyaman, ramah manusia, sehingga kemudian juga bisa memanusiakan.
”Setiap binatang hanya akan membuat sarang yang memang pas dan cocok untuk mereka. Sarang burung terbang rendah berbeda dengan yang terbang tinggi macam elang. Begitu juga bahan pembuatnya,” ujar Oki. ”Saya yakin, ketika rumah ramah untuk manusia, otomatis dia juga akan ramah kepada lingkungannya. Semua itu adalah akibat dari suatu sebab.”
Bangunan rumah Oki sendiri semula menghadap arah barat. Namun, dia merasa arah barat punya pengaruh dan energi buruk, serba menghancurkan. Cahaya matahari siang terutama menjelang tenggelam di arah barat mengandung pancaran ultraviolet sangat kuat. Bahkan, material bangunan pun tergerus olehnya.
Oki kemudian mengubah halaman depan rumahnya ke sisi timur. Sisi barat hampir sepenuhnya ditutup dengan dinding beton, hanya sedikit menyisakan dua jendela horizontal kecil di lantai dua.
Di sisi timur, nyaris seluruh bagian dinding rumah justru diisi jendela dan pintu kaca besar. Baik tepat di depan maupun di sisi utara dan selatan rumah. Kaca-kaca jendela dan pintu besar itu dibingkai kayu merbau yang sangat kuat dan berat.
Dengan jendela dan pintu yang besar ditambah ruang dalam berbentuk mezanin berlangit-langit tinggi sekitar 6 meter, sirkulasi udara dan cahaya sangat berlimpah. Penggunaan listrik juga bisa sangat dihemat lantaran rumah Oki sama sekali tak memerlukan penyejuk ruangan. Lampu pun hanya dinyalakan saat hari mulai gelap.
Oki juga merancang area utama rumahnya tak bersekat, terutama di antara ruang keluarga, ruang makan, dan pantri. Dengan begitu, pandangan ke segala arah tak terhalang. Ketiga ruang utama tak bersekat itu diibaratkan Oki sebagai jantung rumahnya.
Pada bagian penting itu, Oki juga menempatkan meja makan besar dan panjang terbuat dari satu batang kayu solid hasil olahannya. Meja itu terinspirasi meja makan di rumah ibunya saat Oki dan kakak-kakaknya tinggal semasa kecil.
Di masa itu, setiap malam, usai makan, mereka akan duduk bersama di area meja makan itu. Oki dan kakak-kakaknya belajar mengerjakan pekerjaan rumah diawasi ibu mereka, yang seorang guru.
”Saya sangat ingin hal sama dilakukan di rumah saya sekarang. Bahkan, sampai dewasa saya masih kangen pulang ke rumah ibu untuk berkumpul bersama lagi di meja makan. Sekarang hal itu juga saya terapkan ke anak-anak saya,” ujar Oki.
Lebih lanjut, rumah Oki memiliki tiga kamar tidur, masing-masing dengan kamar mandi yang berdesain serupa. Kamar mandi itu tanpa pintu dengan langit-langit transparan (skylight) dan lantai berlapis batu koral sebagai pengganti ubin konvensional. Kamar tidur utama yang ditempati Oki juga memiliki skylight dan lantai mezanin sebagai area ruang kerjanya.