Panggung Ensiklopedia Musik Indonesia
Lebih dari 100 musisi lintas generasi dan lintas genre dalam negeri tampil di perhelatan Synchronize Festival 2019. Inilah panggung ”ensiklopedia” musik Indonesia. Semakin bertumbuh jumlah penampil, semakin beragam pula sisi genre yang disuguhkan mewakili banyak selera musik Tanah Air.
Synchronize Festival 2019 yang digelar 4-6 Oktober 2019 di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta, membuat kawasan itu terus ”panas” hingga menjelang dini hari oleh aksi band-band indie populer Tanah Air.
Di antara jajaran penampil pada hari pertama terdapat Gugun Blues Shelter, Tulus, Kelompok Penerbang Roket, Navicula, Efek Rumah Kaca, NDX AKA, Seringai, dan Feel Koplo.
Kehadiran band-band mainstream, seperti Nidji, juga turut memeriahkan panggung Synchronize. Begitu juga band GIGI yang kini memilih jalur mandiri. Tampil pula Dialog Dini Hari, duo lawas Humania, Tashoora, Fourtwnty, Superglad, Orkes Sinten Remen, Frau, dan The Panturas.
Di hari kedua, Sabtu malam, aksi The Brandlas yang keras ingar bingar memanaskan panggung. Band rock asal Ibu Kota yang tahun lalu merilis singel terbaru ”Retorika” ini tampil dengan amunisi penuh di hadapan penonton yang memadati tempat mereka tampil.
Lagu-lagu seperti ”Obsesi Musik Kota”, ”Belum Padam” dan ”City Boy” menggempur panggung, membuat ratusan penonton berjingkrak lepas mengikuti lagu. Malam itu mereka tampil total. Lagu-lagu disuguhkan cepat, membakar adrenalin penonton.
”Terima kasih kepada Synchronize Festival yang telah membuka ekosistem baru untuk band lokal dan independen. Mudah-mudahan Synchronize terus berlangsung,” ujar vokalis The Brandals, Eka Annash, dari atas panggung.
Di panggung sebelah, penonton tak kalah riuh menyaksikan tampilan Chrisye Live by Erwin Gutawa. Sajian Erwin kali ini unik karena menghadirkan lagu-lagu Chrisye dengan sentuhan orkestra.
Sosok almarhum Chrisye ditampilkan melalui layar besar di panggung. Musiknya dimainkan secara live. Sosok Chrisye seolah hadir nyata, bernyanyi di depan penonton. Hebatnya, penonton yang rata-rata milenial hafal semua lagu Chrisye. Mereka menyanyi bersama dengan antusias saat lagu-lagu Chrisye dimainkan. Lagu ”Anak Sekolah”, ”Nona Lisa” hingga ”Kala Cinta Menggoda” mengalir deras. Ini membuktikan bahwa lagu bagus tak lekang oleh zaman. Begitu juga dengan sosok legenda seperti Chrisye.
Dari panggung lain, grup band beraliran keras grindcore asal Bandung, ”Mesin Tempur”, juga tampil. Mereka membawakan 12 lagu, yang kebanyakan bertema ringan dan berdurasi pendek, tak lebih dari dua atau tiga menit.
Sejumlah lagu yang dibawakan mempertanyakan atau menggugat hal-hal terkesan remeh, seperti ”Mana Tukang Indomie?”, ”Sopir Angkot Goblok”, atau berceloteh tentang becak yang terguling di lagu ”Becak Tiguling”.
Teknik permainan musik para personel dan vokalis band ini sebetulnya terbilang bagus. Sayangnya lagu-lagu yang mereka bawakan tidak hanya pendek, tetapi juga kerap terinterupsi percakapan, bercandaan, serta cacian di antara para personel ataupun dengan para penonton.
Penampilan pada Jumat malam tak kalah menggelegar. Endah N Rhesa, Raisa, Scaller, Silampukau, Burgerkill, Elepant Kind, Kunto Aji, Monita Tahalea, Bara Suara, Komunal, Jamrud, hingga Lord of Broken Heart Didi Kempot menyedot penonton. Mereka bernyanyi, berjoget mengikuti lagu tanpa ragu dan sungkan.
Bara Suara tampil beririsan dengan Komunal. Keduanya sama-sama tampil maksimal. Mereka membawakan lagu-lagu yang kuat dengan permainan musik rapi.
”Terima kasih kepada Synchronize yang sudah menjadi wadah untuk musisi Indonesia. Di sini ada musisi dari Sabang sampai Merauke. Semua band. Ini adalah ensiklopedia musik Indonesia,” kata vokalis Bara Suara, Iga Massardi.
Etalase musik
Surya Fikri Asshdiq, pemain drum The Panturas menuturkan, Synchronize adalah momen selebrasi atau merayakan musik Indonesia. Di Synchronize, tidak hanya penonton, musisi seperti mereka juga bersenang-senang karena berkumpul dengan banyak musisi/band dari berbagai genre.
”Di sini, di satu tempat terkoneksi semua. The Panturas bisa main di sini, memungkinkan untuk memperluas pendengar kita. Ada pengalaman baru juga dari Panturas ketika jadi penonton,” tambah Surya.
Di mata The Panturas yang mengusung genre rock surf, Synchronize juga dapat dikategorikan sebagai festival paling merakyat. ”Kalau festival lain, kan, selalu narik massanya lewat band luar, kalau Synchronize, kan, band dalam negeri semua,” ujar Abyan Zaki Nabilio, vokalis The Panturas.
Sebagai musisi, The Panturas memandang musik Indonesia saat ini lebih baik. Tidak ada lagi dikotomi antara musisi indie dan non indie. Selain karena internet, salah satunya juga berkat kehadiran Synchronize. Mereka juga lebih percaya diri dengan karyanya.
”Banyak musisi yang sudah mulai bisa nembus market yang lebih besar. Cuma mungkin secara materi belum begitu dihargai. Salah satunya dari sisi hak cipta,” kata Surya.
Penggagas sekaligus Direktur Festival Synchronize David Karto menegaskan, ”Di Synchronize sebelumnya kami mengundang musisi berbagai genre, seperti Rhoma Irama yang ternyata juga bisa disambut baik. Tahun ini ada Godfather of Broken Heart Didi Kempot.”
Tak kalah penting, Synchronize memberi banyak kesempatan kepada musisi baru untuk juga tampil bersama musisi lain yang sudah jauh lebih tenar. Walau tampil di panggung yang lebih kecil, para musisi pendatang baru beragam aliran itu juga cukup menyedot perhatian pengunjung.
Salah satunya kuartet rock Zigi Zaga yang bermain di area indoor panggung Gigs. Puluhan penonton di situ asyik berjingkrak dan ikut bernyanyi di hadapan band rock idola mereka itu. Jarak yang dekat membuat konser di ruangan ini terasa sangat intim.
Ingar bingar suara kocokan gitar dan dentuman drum juga terdengar memekakkan telinga, keluar dari kotak-kotak soundsystem yang ditumpuk di samping panggung. Walau para penonton terlihat antusias, mereka tetap menjaga ritme sehingga tak terjadi keributan.
Di salah satu sudut panggung XYZ, Nica (24) berjoget bersama temannya. Dengan asyik dia menikmati lantunan lagu-lagu lawas yang dimainkan Muhammad Fajrinto, pemilik nama panggung Pemuda Sinarmas, seorang cassette jockey asal Jakarta.
Nica, karyawan yang berdomisili di Balikpapan, Kalimantan Timur, sengaja cuti kerja jauh-jauh hari dan terbang ke Jakarta demi menonton Synchronize. Tahun ini, untuk ketiga kalinya dia hadir di festival musik lintas genre itu. Kali ini, Nica mengincar Pemuda Sinarmas yang Jumat malam membawakan lagu lawas macam ”Singkong dan Keju” Bill & Brod, ”Bento” grup Swami, dan ”Jemu” band Koes Plus.
”Saya senang (Pemuda Sinarmas) karena memang suka lagu-lagu lama. Apalagi dibawain-nya unik begitu. Atraksi panggungnya juga lucu. Ini baru pertama nonton langsung. Biasanya lihat dari Youtube,” ujar Nica. Keseruan serupa juga berlanjut di panggung XYZ saat Klub Dangdut Racun tampil. Seluruh penonton berjoget, menggila tanpa ampun.
Hari Minggu, helatan Synchronize 2019 masih akan dimeriahkan oleh banyak penampil. Sejumlah band mainstream akan tampil pada hari terakhir perhelatan ini, di antaranya Noah, Kahitna, dan Sheila on 7 yang kini memilih jalur mandiri.
Musisi dan band-band indie kelas berat pun turun di hari terakhir Synchronize, mulai dari Jason Ranti, Danilla, NTRL, BIP, The Adams, Bottlesmoker, hingga Stars and Rabbit.