Menyesap ”Kaa” di Toraja
Kopi Toraja atau disebut kaa oleh orang Toraja telah lama kondang tentang mutu dan rasanya. Namun, menyesap kopi legendaris itu di tanah asalnya adalah kenikmatan yang sungguh istimewa. Mau coba sensasi ngopi tubruk? Atau bahkan ala barista? Toraja punya.
Sebuah nampan kayu berukiran motif tongkonan (rumah adat Toraja) berisi dua wadah french press dan empat cangkir diletakkan di meja. Ada pula satu piring berisi kue-kue kering berwarna coklat tua dengan taburan wijen di atasnya. Hujan rintik-rintik di luar kian melecut hasrat untuk segera menikmati sajian itu.
Dua wadah itu berisi seduhan kopi Awan dan Sapan, kopi arabika Toraja. Kedua kopi ini berasal dari gugusan Pegunungan Sesean di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Di pegunungan ini petani menanam kopi pada ketinggian 1.300-2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Pada kopi Awan, umumnya tingkat keasamannya rendah dan rasa pahit lebih terasa. Sebaliknya, pada kopi Sapan, pahitnya terasa lebih lembut dengan rasa asam buah lebih terasa.
Pagi itu, Kamis (18/7/2019), kami ditemani Suleman Miting (70), pelaku usaha kopi sekaligus pemilik Kaa Toraja Coffee, tempat kami mencicipi suguhan kopi di kawasan di mana biji kopi itu sendiri ditanam.
”Gigit dulu sepotong kue, lalu seruput kopinya,” katanya.
Kami pun menyantap kue bernama deppa tori’ itu. Setelah agak lumer di mulut, menyusul kopi diseruput. Ada sensasi tersendiri saat manis dan gurih dari kue bercampur dengan kopi yang tak terlalu pahit dan menyisakan sedikit rasa asam. Rasanya bikin ketagihan.
Cara minum kopi seperti itu sudah menjadi ciri khas di kafe milik Suleman. Setiap kopi yang tersaji akan ditemani penganan deppa tori’.
”Sebenarnya kopi bisa ditemani singkong, ubi, pisang, atau kue apa pun. Tapi, karena lebih mudah mendapatkan deppa tori’, saya pakai kue ini sebagai teman minum kopi. Rasanya juga lebih pas,” kata Suleman.
Deppa tori’ terbuat dari campuran tepung beras, gula merah, serta bahan lain yang digoreng. Rasanya gurih dan manis, sangat cocok untuk teman menyeruput kopi.
Kopi Awan dan Sapan tadi disangrai dengan tingkat kematangan medium dan diseduh tanpa gula dalam bentuk kopi tubruk. Ada keseimbangan antara pahit, asam, dan sedikit rasa manis. Saat panas, rasa pahit kopi lebih menonjol. Namun, begitu dingin, rasa asam mulai muncul dan lebih mendominasi.
Setelah tandas dua cangkir kopi, kami mencoba kopi lain, yakni Pulu’-pulu’. Kopi ini lebih menonjol pahitnya ketimbang kopi Awan dengan tingkat keasaman rendah. Tentu saja tetap nikmat dengan penganan deppa tori’. Kopi ini ditanam pada ketinggian 1.800-2.000 mdpl.
Bagi penikmat kopi yang ingin merasakan sensasi pahit dan aroma yang kuat, kopi Pulu’-pulu’ adalah pilihan tepat. Beberapa tahun terakhir, perburuan kopi jenis ini gencar. Harganya pun lebih mahal ketimbang Awan dan Sapan.
Kuali tanah
Di tempat Suleman kopi memang hanya disajikan dalam bentuk kopi tubruk, pilihan kopinya saja yang berbeda-beda. Selain Sapan, Awan, dan Pulu’-pulu’, ada pula kopi biji tunggal yang juga dikenal dengan sebutan kopi lanang. Suleman juga menyediakan kopi robusta dengan kualitas premium sehingga berbeda dengan robusta kebanyakan.
Satu hal lain yang membuat kopi di kafe milik Sulaeman berbeda, proses sangrainya menggunakan kuali berbahan tanah liat. Untuk membuat panas tetap konsisten saat menyangrai, seperangkat alat sederhana dipasang yang menghubungkan kuali dengan komputer dan pengukur suhu. Kopi pun akan matang sempurna sesuai yang diinginkan.
”Bagi saya, kopi yang nikmat itu yang sederhana dan hanya diseduh dengan air
panas. Itu tak menghilangkan aroma dan rasa kopi yang sesungguhnya,” kata Suleman.
Kafe milik Suleman terletak di tepi jalan poros Enrekang-Toraja, masuk dalam wilayah Kabupaten Toraja Utara. Kafe yang berdiri tahun 2014 itu adalah cikal bakal berdirinya kafe-kafe atau warung tempat minum kopi di Toraja, sesuatu yang sebelumnya justru sulit ditemui dan menjadi keluhan sebagian wisatawan.
Sejak dahulu, di Toraja, kopi adalah tradisi yang disajikan di setiap rumah pada pagi hari atau saat menerima tamu di atas tikar di pelataran alang (lumbung padi). Pada sejumlah ritual adat seperti Rambu Solo’ atau berbagai jenis syukuran, kopi disajikan di lantang (bilik-bilik).
Itulah mengapa tak banyak yang berpikir membuat kafe sebagai tempat para pengunjung atau wisatawan bisa menikmati kopi Toraja. Setelah Kaa Toraja Coffee berjalan, sejumlah kafe lain pun bermunculan.
Salah satunya adalah Jak Koffie yang dikelola Micha Rainer Pali (30). Bersama rekannya, Leo, anak muda Toraja itu membuka kafe di Jalan Monginsidi, Toraja Utara, pada 2016. Sebelumnya, mereka telah aktif memasarkan kopi secara daring sejak 2014.
Bermacam racikan
Di Jak Koffie, kopi disajikan ala barista. Segala bentuk penyajian dan racikan bisa dinikmati di kafe yang berada tak jauh dari Lapangan Bakti, Rantepao, ibu kota Toraja Utara.
Kafe mungil dengan tampilan interior gaya retro berpadu vintage ini suasananya sangat asyik. Pengunjung kebanyakan kalangan milenial atau orang-orang yang ingin menikmati kopi dengan beragam sajian.
Cafe latte, cappuccino, kopi dengan pemanis gula aren, dan lainnya adalah beberapa bentuk penyajian dan racikan. Kopi bisa dinikmati panas ataupun dingin. Peralatan pun beragam, mulai dari french press, v60, moka pot, hingga rok presso untuk membuat espresso.
Micha juga membagi kopinya berdasarkan daerah asal ataupun proses pengeringan. Pengunjung juga bisa menikmati kopi wine yang diperoleh dari hasil fermentasi yang cukup lama. Proses ini membuat rasa kopi sedikit asam dengan aroma khas yang timbul dari proses fermentasi yang bersenyawa dengan aroma kopi.
Selebihnya adalah kopi yang dihasilkan dari tiga jenis proses paling umum di dunia, yakni natural, basah, hingga madu atau yang dikenal dengan istilah honey process. Ini adalah kopi yang dijemur bersama lapisan mucilage hingga semua rasa dan aroma benar-benar meresap ke biji kopi saat proses pengeringan matahari.
”Saya memilih sendiri kopi yang akan disajikan. Tentu saja kami hanya menyajikan yang terbaik,” ujar Micha.
Micha senang berekspresi dengan beragam kopi. Maka, di tempatnya, menikmati kopi menjadi sesuatu yang berbeda dan menarik. Kopi yang sama bisa diracik dan diseduh dengan beragam cara sehingga melahirkan kekayaan rasa yang berbeda-beda.
Apalagi, ditambah dengan hawa sejuk Toraja, kenikmatan menyesap kopi pun jadi berlipat ganda. Ah....